Assalamu'alaikum ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  Nurisfm Network
Naskah tentang Ilmu Agama Islam dalam media ini diambil dan disusun dari berbagai sumber. Tidak tercantumnya sumber dan penulis, bermaksud untuk penyajian ilmu yang 'netral' semata. Mudah-mudahan menjadikan amal baik bagi penulisnya dan mendatangkan kebaikan bagi sesama. Kelemahan dan kekurangan serta segala yang kurang berkenan dihati mohon dimaafkan. Apabila ada pihak yang keberatan atau merasa dirugikan dimohonkan menghubungi Admin (Abu Azka). Dan untuk naskah-naskah ilmu pengetahuan umum, Insya Allah akan dicantumkan sumber dan atau penulisnya. Mohon Maaf sebelumnya, sekian dan terima kasih ^-^

PERSPKETIF KESEDERHANAAN

Written By Rudianto on Minggu, 28 November 2010 | 16.06

Salah satu implikasi gempuran ideologi kapitalisme terhadap kehidupan manusia sekarang ini ialah hilangnya segala sifat-sifat kemanusiaan yang memandu perjalanan hidupnya. Misalnya, sifat sederhana. Akibatnya, perspektif kesederhanaan menjadi tidak populer, kalau tidak dikatakan hilang entah kemana.

Dalam kehidupan spiritualitas Islam, istilah zuhud (kesederhanaan) diartikan sebagai pengendalian diri terhadap hawa nafsu dengan jalan menjauhkan diri dari nafsu rendah demi mencapai kebahagiaan yang dicita-citakan. Pengendalian diri seperti itu merupakan suatu keharusan bagi orang yang ingin menjaga keseimbangan hidup pribadi dan masyarakatnya. Pengendalian diri dari memperturutkan hawa nafsu atau dari berbagai hasrat duniawi yang meluap-luap, melalui sikap zuhud terhadapnya, merupakan langkah yang memastikan seseorang atau suatu bangsa/masyarakat mencapai ketenangan. Sementara, ketenangan itu sendiri merupakan indikator utama adanya keseimbangan hidup.

Dalam tradisi Barat, zuhud disebut asketisme, kata yang berasal dari bahasa Yunani asketikos. Secara bahasa berarti seseorang yang berlatih. Dalam tradisi kaum muslimin, asketisme yang dikenal dengan istilah zuhud ini berasal dari akar kata زهد (zahada) yang berarti menahan, menjauhkan diri, meninggalkan, menarik diri, menolak memiliki sesuatu, dan meninggalkan kesenangan duniawi. Makna generik asketisme dalam Islam menunjuk pada pandangan bahwa manusia harus mengendalikan hasrat-hasratnya atau nafsu-nafsunya sendiri agar bersesuaian dengan kehendak Allah swt yang luhur.

Selanjutnya, kehendak nafsunya ditekan agar terkendali dan tidak menjadi liar serta tidak menguasai dirinya dan melampaui kehendak Allah swt. Hal itu dilakukan agar sang diri mampu mencapai kemajuan spiritual, meraih tingkat moral yang luhur, dan membentuk ideal keagamaannya.

Dengan demikian, zuhud merupakan energi diri yang mampu mengendalikan berbagai tuntutan jiwa, sekaligus menjadi benteng yang mampu menahan serbuan gelombang hasrat duniawi yang di zaman kita sekarang ini semakin menghebat dan tidak mudah untuk dibendung. Gempuran materialisme terhadap seluruh aspek kehidupan menyebabkan banyak orang merasa kesulitan menahan godaannya, sehingga tidak sedikit yang jkemudian tenggelam dalam kerakusan yang menindas kesadaran, menenggelamkan spiritualitas, dan membentuk orientasi yang sarwa duniawi. Akibatnya, seseorang, sebuah masyarakat atau bangsa, akan menjadi serakah, rakus, dan tidak bersyukur. Celakanya, sifat-sifat buruk tersebut kemudian mengkristalkan budaya sombong, tidak sabar, dan sangat mencintai (dan mengikuti) nafsu duniawi. Semua itu kemudian diwariskan ke generasi-generasi berikutnya.”

Zuhud adalah energi diri yang mampu membangkitkan situasi kemanusiaan dan individu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kebendaan dan berbagai atribut keduniaan. Selain itu zuhud juga dapat membangun sikap mental positif terhadap berbagai ujian kehidupan yang posisinya sebagai ketentuan Allah yang berlaku pasti atas hamba-hamba-Nya.

Fudhail menagatakan, “Pokok (esensi) zuhud adalah ridha Allah. Orang yang menerima apa adanya, dialah orang yang zuhud dan dialah yang patut dikatakan orang kaya.” Sedangkan al-Ghazali mengungkapkan bahwa zuhud mengandung tiga pengertian, yaitu (1) meninggalkan sesuatu karena ingin sesuatu yang lebih baik darinya, (2) meninggalkan keduniaan karena mengharap sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan (3) meninggalkan segala sesuatu selain Allah Swt karena mencintai-Nya.

Sementara itu, moral zuhud hanya akan efektif bagi kehidupan dan kemajuan spiritualitas manusia apabila ia tidak berhenti hanya menjadi moral individu, melainkan juga menjadi moral masyarakat. Dalam konteks masyarakat, zuhud akan menimbulkan rasa ikhlas, pengorbanan, dan solidaritas sosial yang tinggi pada setiap orang. Dengan demikian, individu-individu yang telah menegakkan moral zuhud dalam skala pribadinya, perlu memperluas ruang lingkup ketaatatan pada tata aturan moral keagamaan pada lingkup sosial (masyarakatnya). Wallau A’lam.

Oleh: Ust Abu Ridho

0 komentar:

Posting Komentar