Rasulullah juga menyatakan kepada Abu Dzar bahwa
kepemimpinan itu adalah sebuah amanah. Karena memang kepemimpinan itu memiliki
dua rukun,kekuatan dan amanah, hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah dengan dalil:
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَئْجَرَْتَ اَلْقَوِيُّ
الأَمِيْنُ
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash:
26)
"Aku tidak pantas menduduki jabatan ini", kata
ulama besar itu kepada menteri yang membawa perintah untuknya. Wajah lelaki
shalih itu menyiratkan keberatan bersamaan dengan kata-kata penolakannya.
Menteri yang bernama Ar-Rabi' bin Yunus itu bersikeras meminta agar sang ulama
mau memenuhi permintaan khalifah. "Apakah engkau tidak mengetahui bahwa
Amirul Mukminin telah bersumpah untuk mengangkatmu sebagai qadhi?"
Mendengar pertanyaan memaksa itu, sang ulama terbayang
seperti apa pribadi Abu Ja'far al-Manshur yang telah mengucapkan sumpahnya.
Dengan penuh kepastian ia menjawab : "Amirul mukminin lebih mampu
menunaikan kaffarah yamin (denda akibat melanggar sumpah) daripadaku."
Jawaban ini bukan saja mengecewakan khalifah. Jawaban ini
dianggap pembangkangan dan merendahkan. Maka ulama kharismatik itu pun
ditangkap. Ia dipindahkan dari majlis ilmunya yang biasa dihadiri banyak kaum
muslimin ke dalam penjara pengap. Beberapa hari lamanya. Hingga khalifah
memanggilnya.
"Maukah engkau mengikuti keinginan kami?" tanya
khalifah dengan nada mengancam.
"Semoga Allah memberikan kebaikan kepada Amirul
Mukminin. Sungguh aku tidak bisa menduduki jabatan qadhi." Jawab ulama
yang telah menjadi imam tersebut dengan tenang.
"Engkau berbohong!" khalifah geram mendengar
jawaban ini. Emosinya memuncak. Harusnya tidak ada orang yang berani
membangkang perintahnya, apalagi saat berhadapan langsung semacam ini. Tapi
lelaki macam apa yang dihadapinya kini.
"Wahai Amirul mukimin," sang ulama mulai
menjelaskan alasannya, "Aku telah memutuskan bahwa aku tidak bisa
menduduki jabatan qadhi, karena jabatan itu menyebabkan aku menjadi seorang
pendusta. Jika aku benar pendusta, maka aku tidak pantas menjabatnya. Jika aku
manusia jujur, aku telah menjelaskan kepadamu bahwa aku tidak pantas menduduki
jabatan itu."
Kini kemarahan Abu Ja'far tidak bisa dibendung lagi. Luapan
emosinya segera berubah menjadi perintah. Sang ulama pun dicambuk hingga 130
kali dalam penjara yang tidak manusiawi untuk ulama suci yang tidak lain adalah
Imam Abu Hanifah itu. Imam yang di kemudian hari dikenal luas sebagai salah
satu pendiri madzhab fiqih itu baru dilepaskan saat Abdurrahman, paman
khalifah, memperingatkan: Kamu telah menghunus 100 ribu pedang yang mengancam
jiwamu. Laki-laki ini adalah ulama fiqih penduduk negeri bagian timur, dia
telah dicambuk tanpa dosa. Tidakkah kamu takut akan siksaan yang datang dari
langit.!"
Imam Abu Hanifah akhirnya dibebaskan dari penjara. Namun ia
telah lebih dahulu membebaskan dirinya dari kesalahan dan mengajarkan kepada
kaum muslimin untuk membebaskan diri dari dosa.
Jabatan qadhi adalah jabatan prestisius saat itu. Ada banyak
fasilitas. Ada gaji besar. Kedudukan menjadi terhormat dan popularitas
meningkat. Namun semuanya ditolak Abu Hanifah. Penolakannya bukan karena ia
tidak tahu bahwa jabatan qadhi bisa memberikan maslahat kepada umat dengan tegaknya
keadilan karena keputusan-keputusannya. Sebaliknya, justru karena pada saat itu
keadilan hukum Islam yang telah dipahami Abu Hanifah tidak bisa ditegakkan
meskipun ia yang jadi qadhi. Khalifah yang zalim telah mengintervensi
putusan-putusan peradilan sehingga hukum mengikuti hawa nafsu penguasa. Abu
Hanifah tidak mau jika ia menjadi qadhi sementara ia justru dipaksa membuat
keputusan zalim yang bertentangan dengan hukum Islam dan hati nuraninya. Maka
Abu Hanifah lebih memilih siksaan itu. Biarlah cambuk dan penjara dunia
dirasakannya asal bukan cambukan malaikat dan pedihnya siksa neraka.
Abu Hanifah juga mengajarkan kepada kita. Jika jabatan
justru membawa kerusakan agama kita, menolaknya lebih utama. Jika jabatan
justru membawa ke neraka, maka meninggalkannya adalah pilihan pertama dan
satu-satunya. Jika jabatan tidak mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin,
menceburkan diri ke dalamnya hanya menambah dosa.
Di tengah zaman haus kekuasaan seperti sekarang, rasanya
sulit menemukan orang-orang shalih yang tangguh menolak jabatan dengan logika
Abu Hanifah. Yang banyak dijumpai justru langkah-langkah ambisius mendapatkan
jabatan. Tujuan yang buruk telah mendahului langkah-langkah buruk. Tidak jarang
dalam menghalalkan segala cara meraih jabatan masih sempat orang-orang ambisius
memproklamirkan alasannya kepada dunia: "Demi kebaikan rakyat",
"Demi kemaslahatan umat", Rakyat yang mana? Umat yang mana?
setuju banget gan kita harus amanah sama jabatan yang kita pegang
BalasHapus