Assalamu'alaikum ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  Nurisfm Network
Naskah tentang Ilmu Agama Islam dalam media ini diambil dan disusun dari berbagai sumber. Tidak tercantumnya sumber dan penulis, bermaksud untuk penyajian ilmu yang 'netral' semata. Mudah-mudahan menjadikan amal baik bagi penulisnya dan mendatangkan kebaikan bagi sesama. Kelemahan dan kekurangan serta segala yang kurang berkenan dihati mohon dimaafkan. Apabila ada pihak yang keberatan atau merasa dirugikan dimohonkan menghubungi Admin (Abu Azka). Dan untuk naskah-naskah ilmu pengetahuan umum, Insya Allah akan dicantumkan sumber dan atau penulisnya. Mohon Maaf sebelumnya, sekian dan terima kasih ^-^

Jihad Tanpa Amarah

Written By Rudianto on Senin, 17 Desember 2012 | 09.47

Dalam sebuah pertempuran para sahabat melawan kaum kafir musyrik, Ali bin Abi Thalib
berhasil merobohkan lawannya. Lawan yang sudah terjatuh itu tinggal ditebas dengan sabetan terakhir yang mematikan. Ali pun bersiap mengayunkan pedangnya.

Tiba-tiba, "Cuih!" orang musyrik itu memberikan perlawanan terakhir dengan meludahi wajah Ali. Sungguh penghinaan yang sangat menjijikkan. Semua orang pun menduga Ali akan memenggal leher lawannya dengan garang.

Antiklimaks terjadi. Alih-alih membunuh lawannya, Ali malah berbalik badan dan me-ninggalkan dia. Kesempatan pun diambil oleh musyrikin itu untuk mengambil pedangnya yang terjatuh. la lalu mengejar Ali, siap mem-babat menantu Rasulullah itu dari belakang. Pada saat itulah Ali yang selalu waspada nnengayunkan pedangnya. Serangan pengecut lawan pun berakhir dengan kematian si musyrik.
Para sahabat pun bertanya, mengapa tidak dari semula Ali menghabisi lawannya yang telah terjatuh. Apalagi sang lawan menghina Ali dengan meludahi wajahnya. All menjawab, "Sebenarnya aku sudah slap membunuh dia karena Allah. Tetapi amarahku timbul ketika is meludahi mukaku. Aku tak ingin membunuh dia karena amarah, maka is kutinggalkan."

Subhanallah. Sebuah teladan agung dari sahabat besar yang mengagumkan. Ali menyadari betul bahwa jihadnya adalah untuk meninggikan kalimat Allah. Bukan untuk melampiaskan dendam atau amarah kepada musuhnya.

Terkait amarah, Rasulullah SAW pernah berpesan kepada seorang sahabat, "Jangan marah!" Pesan itu beliau ulang tiga kali. Memastikan sahabat tadi bisa mengendalikan amarahnya. Amarah yang tak terkendali akan menghilangkan kejernihan berpikir, membuat amal apapun yang dikerjakan menjadi serampangan didorong nafsu dan emosi.

Memasak dengan marah beresiko gosong atau rasanya jadi berantakan. Mengendarai kendaraan saat diamuk amarah beresiko kecelakaan. Memaku diiringi amarah beresiko jempol sendiri terkena palu. Padahal semua pekerjaan tadi adalah kegiatan sehari-hari yang ringan dan tak memerlukan banyak pemikiran.
Lalu bagaimana jika mujahid menjalankan jihadnya dengan amarah dan dendam? Membalas tindakan lawan sesuai kadar kezhaliman mereka memanag diperbolehkan. Namun jihad fi sabilillah tak boleh dikendalikan oleh amarah dan dendam.

Strategi, taktik dan operasi yang disusun berdasarkan kemarahan cenderung akan berantakan. Apalagi menghadapi musuh yang tertata rapi dan bisa berpikir dingin. Belum lagi faktor perimbangan kekuatan yang tak seimbang. Bahkan Rasulullah menegur para sahabat yang marah dan ingin segera membalas kezhaliman musyrikin Quraisy sebelum turun perintah hijrah dan jihad.

Berkaca dari kehidupan salafush shalih di atas, rasanya mujahidin hari ini lebih pantas untuk mengendalikan amarahnya. Umat memang terzhalimi luar biasa, air mata dan amarah mudah untuk tertumpah. Namun perlawanan dan jihad memerlukan kepala dingin dan kesabaran.

Lalu bagaimana dengan sebagian pendukung jihad hari ini yang mudah marah? Jangankan kepada musuh yang zhalim, kepada sesama Muslim dan mujahid pun mudah marah. Mudah tersinggung dan tak bisa terima ketika di ingatkan dengan nasehat. Jika amaliyat selalu bisa dipatahkan musuh, bisa jadi kita memang belum bisa mengandalikan amarah. Wallahu a'lam.

0 komentar:

Posting Komentar