Tema "Kemuliaan Bulan Dzulhijjah dan kekeliruan Ummat"
Bersama Ust. KH Teungku Zulkarnain
Bulan Dzulhijjah adalah salah satu bulan yang istimewa dalam Islam. Dari dua belas bulan yang ada paling tidak bulan Dzulhijjah ini termasuk salah satu dari bulan bulan haji. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Ibadah haji itu adalah pada bulan-bulan tertentu”. (QS. Al Baqarah ayat: 197)
Sudah maklum dan tertulis dalam banyak hadis hadis nabi bahwa bulan-bulan haji adalah : Syawal, Dzulqai’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Artinya, jika seseorang keluar dari rumahnya untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah pada bulan Syawal. Kemudian dia menunaikan ibadah haji dengan dengan memilih haji tamattu’, dan mengerjakan umrah di bulan Syawal itu secara sempurna dan lengkap dengan ditutup tahallul. Kemudian pada tanggal 8 Dzulhijjah orang itu berihram lagi untuk ibadah haji, lalu mencukur rambutnya setelah melakukan jumrah Aqobah pada tanggal 10 Dzulhijjah, untuk mendapatkan tahallul awal. Dan, baru mengerjakan thawaf ifadhah nya pada bulan Muharram sebagai tahallul tsani (tahallul kedua), maka sah lah haji orang itu. Sebab, seluruh rangkaian ibadah hajinya masih dilakukan pada bulan-bulan haji itu.
Selain termasuk salah satu dari bulan bulan haji, Dzulhijjah juga termasuk salah satu dari Bulan-Bulan Haram. Terdapat dalam hadis : Bulan bulan Haram adalah tiga berturut-turut, dan satu terpisah. Yang berturut-turut adalah Dzulqa’idah, Dzulhijjah dan Muharram. Sedangkan yang terpisah adalah Bulan Rajab.
Ada banyak amalan sunat yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada kaum muslimin untuk dilaksanakan di bulan Dzulhijjah ini, di antaranya adalah :
1. Berpuasa
Disunatkan berpuasa pada bulan Dzulhijjah ini, terutama sepuluh hari di awal bulan. Hal ini sesuai dengan perintah nabi : “Tiada hari-hari yang mana jika seseorang beramal pada hari-hari tertentu yang lebih afdhal dan lebih dicintai Allah Azza wa Jalla, dibandingkan beramal pada sepuluh hari Dzulhijjah. Sesungguhnya puasa sehari dari salah satu hari yang sepuluh itu menyamai pahalanya dengan puasa setahun. Dan sholat malam pada satu malam daripadanya menyamai pahala sholat di malam “Lailatul Qadar””. (HR Ibnu Majah dan Turmidzi).
Hadis di atas menjelaskan kepada kita bahwa berpuasa sunat di sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah adalah amalan yang bernilai tinggi. Bandingan pahala sehari berpuasa pada salah satu hari yang sepuluh itu, serupa dengan pahala puasa setahun penuh. Sedangkan sholat malam pada salah satu malamnya saja serupa dengan sholat malam di malam “Lailatul Qadar”. Tidak terbayangkan pahala yang akan diperoleh jika keseluruhan siang dan malam dari sepuluh hari pertama Dzulhijjah itu diisi dengan puasa di siang hari dan ibadah sholat di malam harinya. Dalam hadis yang lain dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma: “ Tidak ada amal yang lebih afdhal dari amal yang dilakukan pada sepuluh hari bulan Dzulhijjah ini. Berkata Shahabat : “Apakah jihad juga kalah dengan amal di hari itu?” Rasul menjawab: “Walaupun jihad akan kalah dengan amalan di sepuluh hari itu, kecuali jika seseorang yang berjihad berjuang dengan diri dan hartanya sendiri, dan tidak kembali lagi ke rumahnya baik nyawa, harta, dan dirinya itu” (HR. Bukhari). Keterangan di atas dapat dilihat pada kitab Ihya’ Ulumuddin karangan Imam Ghadzali, jilid I, halaman 216.
Adapun berpuasa pada hari kesepuluh bulan Dzulhijjah hukumnya tetap sunat, hanya saja puasa itu dilakukan sampai selesai dilaksanakannya sholat Iedul Adha saja, yakni sampai waktu dhuha, bukan sepanjang harinya. Hal ini dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Buraidah Radhiyallahu ‘Anhu:
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak keluar untuk melaksanakan sholat Idul Fithri sebelum beliau makan terlebih dahulu. Dan pada hari Raya Iedul Adha beliau tidak makan sesuatu apapun sampai beliau kembali dari sholat Iedul Adha itu. Setelah pulang, beliau memakan daging korbannya” (HR. Ahmad, Turmidzi, Ibnu Majah, Daruqudni, dan Hakim. Dishohihkan oleh Imam Hakim).
Dari hadis hadis di atas jelaslah bagi kita bahwa melakukan amalan tertentu pada hari-hari tertentu pula, adalah amalan sunnah dalam Islam, dan bukan merupakan amalan bid’ah sebagaimana yang akhir- akhir ini sering dikumandangkan oleh segelintir orang yang anti beramal sholih.
2. Melakukan Sholat Idul Adha
Diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Abu Said al Khudri Radhiyallahu ‘Anhu: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam keluar dari rumahnya menuju tanah lapang pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha’ dan amal yang pertama beliau kerjakan adalah melaksanakan sholat“ (HR. Bukhari dan Muslim).
Sholat Idul Fitri maupun sholat Idul Adha sunat dilaksanakan secara berjamaah. Akan tetapi jika dilaksanakan sendirian memadai juga bagi yang melaksanakannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Al Muzani, dengan alasan sholat Hari Raya adalah sholat sunat. (lihat Majmu’ Syarah Muhadzdzab jilid VI halaman 87)
3. Menyembelih Hewan Korban
Allah berfirman dalam Al Qur’an Surat Al Hajj ayat 36 - 37:
Dan Telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan Telah terikat). Kemudian apabila Telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah kami Telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur.
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah Telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Diriwayatkan dari Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu ‘anhuma. Telah berkhutbah untuk kami baginda Rasul pada Hari Raya Kurban: ”Sesungguhnya pada hari kita ini amal yang pertama kali kita buat adalah melaksanakan sholat Idul Adha kemudian kembali ke rumah kita masing-masing dan menyembelih hewan kurban. Barang siapa yang melakukan hal seperti ini telah mengikuti sunah kami. Barang siapa yang menyembelih hewan kurban sebelum melaksanakan sholat Id sesungguhnya daging sembelihannya itu hanyalah sedekah untuk ahli keluarganya, dan bukan termasuk ibadah kurban sedikitpun“. (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: “Janganlah seseorang menyembelih hewan kurbannya sebelum melaksanakan sholatnya.” (HR. Muslim)
4. Bertakbir
Disunatkan bertakbir dengan suara keras pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha’, baik bersendirian atau secara berjamaah beramai-ramai. Hal ini penting ditekankan karena akhir-akhir ini ada segelintir umat islam yang bersuara nyaring menuduh bid’ah melakukan takbir dengan suara keras pada dua hari raya tersebut. Kami tidak mengerti apa maksud mereka sehingga begitu bernafsunya hendak memberangus amalan sunat kaum muslimin yang sudah dilaksanakan dan mashur sejak zaman Rasulullah, para sahabat, generasi Salafus Shalih, sampai kepada zaman kita sekarang ini. Semoga saja segelintir umat Islam ini tidak terkena ”racun” para musuh Islam yang ingin menghancurkan agama yang suci ini.
Telah diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Nafi’ bin Abdullah: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam keluar dari rumahnya pada dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) bersama dengan Fadhal bin Abbas, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, Ja’far bin Abi Thalib, Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Al Husain bin Ali bin Abi Thalib, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Aiman bin Ummi Aiman Radhiyallahu ‘anhum, mereka melakukan takbir dan tahlil dengan suara yang keras.”
Dalil dari Al Qur’an yang menunjukkan sunat bertakbir pada Hari Raya Idul Fitri adalah firman Allah Swt.
“...dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”(QS. Al Baqarah: 185)
Adapun dalil al Qur’an untuk melaksanakan takbir pada Hari Raya Idul Adha adalah firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 200:
“Apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah”
Di dalam hadis yang lain yang diriwayatkan dari Ummi ‘Athiyah Radhiyallahu ‘Anha: “Kami para wanita diperintahkan untuk membawa para wanita yang haid sekalipun ke tanah lapang untuk melaksanakan sholat Ied, dan kami para wanita ikut bertakbir dengan takbirnya para lelaki.” (HR. Bukhari dan Muslim). Pada riwayat yang lain: “Kami para wanita bertakbir bersama-sama dengan manusia yang bertakbir lainnya.” (HR Muslim).
Di dalam hadis yang lain diriwayatkan dari Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhum : “Adalah Rasulullah Saw. bertakbir setiap selesai melaksanakan sholat, dimulai sejak selesai sholat subuh di Padang Arafah, sampai selesai sholat Ashar pada hari Tasyriq terakhir yaitu tanggal 13 Dzulhijjah”.
Suatu hari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu ditanya orang saat itu beliau sedang berada di Mina menuju Padang Arafah: “Apa yang kamu semua perbuat bersama Rasulullah di saat seperti ini? Beliau menjawab: “Rasulullah bertahlil dan kami semua para sahabat mengikuti bertahlil juga, dan beliau bertakbir, maka kami pun para sahabat bertakbir juga. Dan tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatan kami itu.” (HR. Bukhari Muslim)
Keseluruhan hadis yang kami kemukakan di atas adalah hadis-hadis shohih belaka. Kami tidak mempermasalahkan jika ada orang yang tidak mau bertakbir pada dua hari raya tersebut, sebab ada juga riwayat yang mengatakan tidak sunat bertakbir. Akan tetapi yang menjadi masalah jika kemudian ada segelintir umat Islam yang menuduh bertakbir pada dua hari raya adalah perbuatan bid’ah. Sementara mereka sangat meyakini bahwa semua bid’ah adalah sesat dan akan dicampakkan ke dalam neraka seluruh pelakunya. Alangkah berbahayanya pendapat dan tuduhan ini……!
Lafazh takbir ada bermacam-macam jenisnya. Imam Syafi’i memilihkan lafazh takbir:
Allah Maha Besar! Allah Maha Besar! Allah Maha Besar!
Tiada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar!
Allah Maha Besar, dan milikNya segala puji.
Dan, ada beberapa lagi lafazh-lafazh lain yang masyhur.
5. Tidak mencukur rambut dan memotong kuku.
jika seseorang sudah berniat hendak menyembelih hewan kurban pada Iedul Adha atau hari-hari Tasyriq yang ada, orang tersebut disunatkan untuk tidak mencukur rambut dan memotong kukunya, mulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai disembelihnya hewan kurban tersebut.
Wallahu A’lam
0 komentar:
Posting Komentar