Assalamu'alaikum ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  Nurisfm Network
Naskah tentang Ilmu Agama Islam dalam media ini diambil dan disusun dari berbagai sumber. Tidak tercantumnya sumber dan penulis, bermaksud untuk penyajian ilmu yang 'netral' semata. Mudah-mudahan menjadikan amal baik bagi penulisnya dan mendatangkan kebaikan bagi sesama. Kelemahan dan kekurangan serta segala yang kurang berkenan dihati mohon dimaafkan. Apabila ada pihak yang keberatan atau merasa dirugikan dimohonkan menghubungi Admin (Abu Azka). Dan untuk naskah-naskah ilmu pengetahuan umum, Insya Allah akan dicantumkan sumber dan atau penulisnya. Mohon Maaf sebelumnya, sekian dan terima kasih ^-^

INI AKU ATAU BUKAN

Written By Rudianto on Kamis, 01 Desember 2016 | 21.55

Imam Suyuthi dalam Buku beliau, Luqath Al Marjan Fil Ahkam Al Jan (hal.178, terjemahan), mengutip sebuah kisah unik. Tentang seorang penyair yang sedang menempuh safar.

Ditengah perjalanan tersebut, tiba-tiba hujan turun, mata beliau tertuju pada sebuah tenda. Beliau melangkah dan mendekati tenda tersebut. Ternyata ada seorang kakek yang berteduh dalam tenda tersebut.

Terjadilah dialog diantara mereka berdoa, sang penyair dan sang kakek.

Kakek itu berkata     : “ Kemana tujuan perjalananmu?”

Penyair            : “Aku hendak menemui Qais bin Ma’di Karib.”

Kakek        : “ Aku tahu, bahwa engkau telah memujinya dengan syair yang engkau buat.”

Penyair        : “Betul”

Kakek            : “ Bacakanlah syairmu itu”

Penyair            : “Samiyah pergi di waktu pagi dengan membawa bebannya, kemarahanku atas     kamu, maka apa yang akan kamu katakan?”

Kakek            : “ Cukup. Apakah bait ini engkau yang telah menyusunya?”

Penyair            : “Iya, dan aku tidak pernah membuat syair lagi kecuali 1 bait”

Kakek            : “ Siapakah Samiyah yang engkau maksud dalam syair itu?”

Penyair            : “ Aku tidak tahu, akan tetapi nama itu yang terlontar dalam ketakutanku, dan aku menganggapnya baik dan tepat untuk syair ini.”

Kakek            : “ Wahai Samiyah, keluarlah kamu.”

Maka keluarlah seorang pembantu wanita buruk rupa dan dia berkata : “apa yang engkau inginkan wahai Tuan?.”

Kakek tsb menjawab, : “ Samiyah bacakanlah syair yang kubuat dimana aku memuji Qais bin Ma’di Karib, dan aku nisbahkan kepada namamu.”

Lalu Samiyah membacakan syair yang isinya sama persis dengan syair yang telah dibuat sang Penyair, tanpa ditambahkan atau dikurangi.

Diakhir cerita itu, sang kakek memperkenalkan dirinya dengan kalimat :”
Aku Bashir, aku adalah temanmu yang telah memberikan syair kepadamu melalui lidah kamu.

Imam Suyuthi meletakkan kisah ini di bab Syetan Membuat Syair Melalui Lidah Penyair



Dalam riwayat yang lengkap, dalam Syarh Diiwaan Al A’syaa karangan Al-Ahdy, dia berkata, meriwayatkan dari Al-A’syaa, bahwa dia berkata, “Aku pergi untuk menemui Qais bin Ma’di Yarkib di Hadhramaut. Tak seberapa jauh memasuki wilayah Yaman, aku tersesat jalan. Pada saat bersamaan turun hujan. Kuedarkan pandangan kesana-kemari, dan mataku tertuju ke sebuah kemah dari kain wool. Maka aku menghampirinya. Aku berhadapan dengan lelaki tua di pintu kemah. Aku mengucapkan salam dan dia menjawab salamku. Aku memasukan untaku ke salah satu bilik di dalam kemah, tak jauh dari pintu tempat duduknya Ielaki tua itu.

"Tambatkan untamu dan beristirahatlah," kata pak tua itu.

Aku menambatkan untaku dan dia menyodorkan sesuatu sebagai tempat dudukku. Satelah aku duduk, dia bertanya, “Dari mana asalmu dan hendak ke mana engkau pergi?‘

Aku menjawab, "Namaku Al-A’sya."

“Semoga Allah memberikan panjang umur kepadamu"’ katanya.

“Aku hendak pergi menemui Qais bin Ma'di Yakrib," kataku.

Dia berkata, "Kukira engkau akan memujinya dengan syair.‘

"Memang begitu" kataku.

“Kalau begitu Iantunkanlah,’ katanya.

Maka aku mulai melantunkan,
Sumayah pergi pada pagi hari memanggul bawaan berupa amarahku kepadamu dan kau tak kuasa menggantinya .

“Cukup. Apakah ini merupakan syair ciptaanmu sendiri?" kata pak tua.

'Ya dan hanya satu bait itulah  syair yang kulantunkan.” kataku.

“Siapa Sumayah yang engkau sebutkan?”

“Aku juga  tidak mengenalnya siapa dia. Tapi itu merupakan nama yang amat berkesan dihatiku dan Aku menganggapnya baik, sehingga Aku menisbatkan katanya."

Maka keluarlah seorang gadis dan berdiri dipintu, Seraya bertanya, "Ada apa ayah?"

Lantunkan bait syair  bagi pamanmu ini, bagaimana engkau memuji Qais bin Ma'di Yarkib. Sebagaimana engkau  telah menisbatkan bagian awalnnya  kepada disini."

Gadis itu berdiri tegak dan melantunkan syair dari awal hingga akhir tanpa ada satu huruf pun yang terlewatkan. Setelah menyelesaikannya, Pak tua berkata, “Sekarang kembalilah.” Maka dia pun kembali lagi. ‘

“Adakah hal lain yang dapat engkau katakan?” tanya pak tua kepadaku.

“Ya ada. Dulu aku dan anak pamanku suka menyindir. Suatu hari dia menyerangku, lalu aku ganti menyerangnya,” kataku.

“Lalu apa yang engkau katakan?” tanya pak tua.

“Aku mengucapkan bait syair yang bagian awalnya,
Tinggalkan Hurairah karena unta telah berIaIu
tapi apakah engkau mampu mengucap kata perpisahan?

“Cukup,” kata pak tua. Lalu dia berkata lagi, “Siapakah Hurairah yang engkau nasabkan itu?”

“Aku tidak tahu. Kurasakan seperti yang kurasakan ketika menyebut nama Sumayyah,” kataku.

Pak tua berseru, “Wahai Hurairah.”

Maka keluarlah seorang gadis yang umurnya sebaya dengan gadis pertama. Pak tua berkata, “Lantunkan bait syair bagi pamanmu ini, yang dengannya engkau menyerang Abu Tsabit Yazid bin Mahar.”

Maka gadis itu melantunkan syair dari awal hingga akhir, tanpa ada satu huruf pun yang tercecer. Tiba-tiba tanganku menjadi lemas dan aku hampir pingsan oleh sambaran petir. Ketika melihat keadaanku, pak tua berkata, “Tunggu sampai engkau sadar kernbali. Aku adalah Hasik Mishak bin Utsatsah, jin yang membuat lisanmu melantunkan syair tadi. Setelah keadaanku normal kembali dan hujan sudah berhenti, aku bertanya, “Tunjukkan aku jalan yang harus kulalui.”

Maka pak tua menunjukkan jalan yang harus kulewati. Dia berkata, “Janganlah engkau menyimpang ke kanan atau ke kiri hingga engkau bertemu kampung yang dihuni Qais.”

Waki’ mentakhrij di dalam AI-Ghurur dari Jarir bin Abdullah Al-Bajly, dia berkata, “Semasa Jahiliyah aku melakukan perjalanan jauh. Suatu malam aku menghampiri untaku untuk memberinya minum. Aku menuntunnya, tapi ia tidak mau mengayunkan kaki. Karena sudah dekat dengan mata air, aku mengikatnya, lalu aku berjalan ke mata air. Ternyata di sana ada beberapa orang yang buruk rupanya berada di mata air. Aku duduk menunggu. Saat itu ada seseorang yang rupanya lebih buruk dari mereka, datang kearah mereka. Mereka pun berkata, “Dia adalah seorang penyair.” Lalu mereka berkata kepadanya, “Hai Fulan, lantunkan syair kepada orang ini, karena dia seorang tamu.”
Maka orang itu melantunkan syair, Tiggalkan Hurairah setelah air berjalan Iancar yang tidak jatuh ke salah satu rumah pun yang ada.

Aku bertanya, “Siapa yang menciptakan syair ini?” Orang itu menjawab, “Aku sendiri.”

Aku berkata, “Sekiranya engkau tidak mengatakannya sekarang ini, aku juga akan mengabarkan kepadamu bahwa awal tahun ini A'sya bin Qais bin Tsa’labah pernah mengucapkannya di Najran.”

“Engkau benar, karena akulah yang meletakkan syair ini di atas lidahnya. Namaku Mishak. Syair yang pernah diucapkan seorang penyair di hadapan Maimun bin Qais tidak akan hilang begitu saja.”

Di dalam Mushannaf Abdurrazzaq bin Ma’mar disebutkan dari seseorang yang pemah mendengar Al-Hasan berkata, “Sesungguhnya jika seseorang sedang berdiri ketika shalat lalu dia menoleh, maka syetanlah yang telah menggerakkan lehernya.”

Di dalam An-Nihaayah karangan Ibnu Al-Atsiir disebutkan bahwa Al-Khaita’ur adalah nama syetan.

Di dalam majmu’ yang berjudul AI-Mukhtaar disebutkan perkataan Abu Hidrisy, “Al-Khaita’ur adalah salah satu dari Bani Asy-Syaishaban. Ada yang berkata, ia termasuk jin yang bertempat tinggal di muka bumi bersama anak Adam dan juga beriman kepada Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Al-Hakim mentakhrij di dalam Nawaadir Al-Ushuul, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Setiap jiwa didampingi syetan yang bemama Al-Lahwu. Syetan ini membuat jiwa membayangkan dirinya naik ke langit, lalu bembah menjadi mimpi yang dibenarkan.” (As-Suyuthy menyebutkannya di dalam AI-Jaami ' Al-Kabiir, 1/871, dan At-Tirmidzy Menisbatkannya kepada Al-Hakim sebagai hadits mursal).

Ibnu Jarir mentakhrij dari Ubaid, dia berkata, .“Adh-Dhahhak pemah ditanya, “Apakah syetan itu mempunyai sayap?” Maka dia menjawab,

"Bagaimana mereka dapat terbang ke langit jika mereka tidak punya sayap?

Dari kisah ini bisa kita ambil pelajaran, benar lah firman Alloh dalam surah al An’am : 112

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيٰطِيْنَ الْاِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِيْ بَعْضُهُمْ اِلٰى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا    ؕ  وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُوْنَ
Dan demikianlah untuk setiap Nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. Dan kalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka bersama apa (kebohongan) yang mereka ada-adakan. [QS. Al-An'am: Ayat 112]

Syetan membisikan sesuatu dalam diri manusia. Dengan bisikan itu, jin itu terlibat dalam kehidupan manusia.

Bisikan itu tidak hanya berupa was-was tetapi ide, gagasan, inspirasi, cara bersikap, cara mengambil keputusan dan lain-lain. Mereka berusaha melibatkan diri didalamnya.

Apa tujuannya?
Tidak lain agar kita terjerumus dalam kesalahan dan dosa.

Oleh Karena itu mari kita perhatikan dengan seksama lintasan hati kita, kalimat yang terlontar dari lisan dan  sikap kita pada orang lain, keputusan-keputusan penting dalam diri kita, tindakan-tindakan yang kita ambil. Dan seterusnya.

Karena mungkin pada sebagiannya, jin terlibat dalam pembicaraan dan sikap tsb. Atau memberikan ide ttg ucapan atau sikap yang akan kita lakukan.

Dengan demikain, akhirnya kita bisa memahami, mengapa orang bisa bertindak diluar nalar, dan susah mengendalikan diri.

Karena tanpa kita sadari syetan terlibat dalam aktivitas kita dan telah nimbrung tanpa kita sadari.

Solusinya ??
  • Kendalikan diri
  • Kenali diri dengan lebih baik
  • Luangkan waktu untuk muhasabah diri dan mentaubati sisi yang berlebihan dan tidak pada tempatnya
  • Dan selalu mohon taufiq

Semoga Alloh limpahkan kebaikan dan perlindungan pada kita semua.

Baarakallohu fiikum

Oleh: M. Nadhif Khalyani – RLC dengan penambahan oleh Abu Azka

0 komentar:

Posting Komentar