Assalamu'alaikum ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  Nurisfm Network
Naskah tentang Ilmu Agama Islam dalam media ini diambil dan disusun dari berbagai sumber. Tidak tercantumnya sumber dan penulis, bermaksud untuk penyajian ilmu yang 'netral' semata. Mudah-mudahan menjadikan amal baik bagi penulisnya dan mendatangkan kebaikan bagi sesama. Kelemahan dan kekurangan serta segala yang kurang berkenan dihati mohon dimaafkan. Apabila ada pihak yang keberatan atau merasa dirugikan dimohonkan menghubungi Admin (Abu Azka). Dan untuk naskah-naskah ilmu pengetahuan umum, Insya Allah akan dicantumkan sumber dan atau penulisnya. Mohon Maaf sebelumnya, sekian dan terima kasih ^-^

Serial Film Muhtar As Tsaqafi

Written By Rudianto on Sabtu, 30 Maret 2013 | 23.08

Hasan dan Husain, adalah Sayid (pemimpin) para pemuda di surga nanti, dan Allah swt telah meninggikan derajat mereka lewat ibtila’ (cobaan) yang menimpa mereka seperti pendahulu mereka; Hamzah, Ali, Ja’far, Umar, Utsman dan lainnya dengan syahadah. Sebagaimana sabda Nabi saw: “Al-Hasan dan Al-Husain adalah pemimpin para pemuda di surga”. (HR. At-Tirmidzi)
Dan bulan Ramadahan kemarin perusahaan perfilman di Timur Tengah, me-release film yang sangat kontroversial dalam sejarah Islam karena menayangkan detail fitnah terbesar dalam sejarah Islam antara Muawiyah, Hasan dan Husain. Film ini disutradari oleh Muhammad Alyasari, Muhammad Al-Hisyan dan Abdul Baari.
Pemilihan media film memang tepat karena media ini mengkombinasikan antara melihat dan mendengar menjadi satu, sehingga isi pesan mudah ditangkap dan tidak mudah dilupakan, kita dapat menikmati kejadian dalam waktu lama pada suatu proses atau peristiwa tertentu, selain itu pengaruh hebat film dapat membangun sikap, perbuatan dan membangkitkan emosi penonton.
Aktor dan bintang film terkenal Timur Tengah ikut meramaikan film tersebut di antara mereka; Rasyid Asyaf memerankan pribadi Muawiyah bin Abu Sufyan, ‘Ala’ Al-Qaasim sebagai Abdullah bin Zubair, Romi Wahbah sebagai Yazid bin Muawiyah, selainnya Thalahat Hamdi sebagai Zubair bin Awwam, Taaj Haidar sebagai Zainab binti Ali bin Abi Thalib, Zanaati Qudsiyyah sebagai Adi bin Hatim Attha’I, Muhammad Al Rasyi sebagai Qutaibah, Fathi Al-Hadawi sebagai Hurqush bin Zuhair As-Sa’di, Abdurrahmad Abul Qasim sebagai Abu Hurairah dan terakhir, dua pemuda asal Yordania, Khalid Maghwairi dan Muhammad Al-Majali memerankan pribadi Hasan dan Husain.
Alhamdulillah, ini adalah artikel ketiga yang membahas tentang film-film Islami yang banyak mengundang kontrofersi; tulisan sebelumnya tentang film Nabi Yusuf As-Shiddiq dan Sahabat Nabi, Khalid bin Walid. Dan seperti serial film sebelumnya, film ini ditayangkan selama bulan Ramadhan penuh, terdiri dari 30 serial yang tiap serialnya berdurasi sekitar satu jam penuh.
Dengan cepat film serial ini menjadi sangat terkenal, selain karena animo penonton parabola, situs dan blog yang besar, propaganda yang besar-besaran dan reaksi ulama atas film ini juga semakin menambah terkenalnya film ini dan banyak orang yang penasaran akan isi film ini.
Film ini berkisah tentang peri kehidupan dua imam; Hasan dan Husain dan fitnah kubra yang menimpa umat Islam selepas wafatnya Nabi Muhammad saw, peran keduanya dalam membela hak khalifah Utsman bin Affan dan peran keduanya sebagai pembantu Khalifah Ali bin Abi Thalib, ayah mereka. Ada juga kisah turunnya Hasan dari kekuasaan demi persatuan umat Islam, peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai ‘aamul jama’ah’ (tahun persatuan).
Selain itu, film tersebut juga menggambarkan sosok Abdullah bin Saba’ yang keberadaannya diperdebatkan dalam sejarah Islam, dan Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah sepeninggal ayahnya, Muawiyah bin Abu Sufyan. Dan tak ketinggalan peristiwa perang Jamal dan Shiffin.
Setelah beberapa tahun berada dalam proses produksi, tahun lalu, serial ini melakukan pengambilan gambar di Suriah, Yordania, Lebanon, Maroko, dan Emirat Arab. Tapi di tempat film ini dibuat yaitu Mesir, tidak dilakukan pengambilan gambar. Hmm…… Ini salah satu kelihaian dari sang sutradara.
Menurut rencana, film serial Muawiyyah, Hasan dan Husain ini akan ditayangkan oleh tujuh jaringan satelit Arab, yang tiga diantaranya merupakan televisi Mesir, yakni Al-Hayyat, An-Nahar dan Rotana Mesir.
Muhammad Anizi direktur perusahaan perfilman Meha, dalam sebuah wawancara dengan Aljazeera mengatakan bahwa serial ini telah menelan biaya sebesar 8 juta dolar. Sampai saat ini, serial ini adalah serial termahal yang pernah diproduksi di dunia Arab.
Dari sejak permulaan, sudah diprediksi bahwa serial dengan materi yang sangat sensitif ini akan menghadapi reaksi yang keras dari dunia Islam. Oleh karena itu, para produser serial film mencari jalan keluar untuk memperoleh kesepakatan para ulama Islam. Mereka berhasil menemui para ulama yang sejalan dengan garis keyakinan mereka di Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, dan Bahrain.
Lebih dari itu, direktur perusahaan perfilman Meha yang bertanggung jawab mengedit dan mengesahkan serial ini pernah berkomentar, “Sekelompok ahli senantiasa hadir di area pengambilan gambar dan mengontrol seluruh kandungan film sehingga seluruh isinya sejalan dengan keyakinan agama dan realita sejarah.”.
Sekalipun prolog pelicin ini telah mereka siapkan sematang mungkin, serial “Mu’awiyah, Hasan, dan Husain” tetap menuai protes, baik dari kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah, bahkan kalangan Syiah sangat vokal dan agresif untuk menghentikan penayangan film ini, kenapa?? apa yang tersembunyi dibalik serangan mereka terhadap film serial ini?? temukan jawabannya di bawah ini.
Sikap Ahlus Sunnah terhadap film Muawiyah, Hasan dan Husain
Pendirian Ahlus Sunnah tetap teguh bahwa membuat film tentang Nabi atau Sahabat hukumnya haram secara syariat. Berikut ini fatwa-fatwa ulama yang saya terjemahkan  langsung dari bukunya (kalau ada terjemahan yang kurang pas mohon koreksi dan pembetulan J)
Fatwa Majma’ Buhuts di Kairo dan Majlis Ulama Rabithah Alam Islami tahun 1397 H
Pada bulan Dzulqa’dh tahun 1397 H Majma’ Buhuts di Kairo telah mengeluarkan Taushiyyat bahwa mereka tidak setuju dengan pembuatan film “Muhammad Rasulullah” atau “Ar-Risalah” atau film lainnya yang menampakkan para Sahabat dan tidak boleh mengedarkannya demi menjaga kehormatan Nabi dan para Sahabat.
Fatwa di atas juga diikuti Majlis Rabithah yang kemudian menetapkan secara ijma’ keharaman untuk mengedarkan film “Muhammad Rasulullah” yang menampakkan Rasulullah atau Sahabat dalam banyak tayangan yang telah diharamkan secara ijma’.
Selanjutnya Majlis meminta kepada Rabithah untuk menyebarkan ketetapan tersebut ke semua elemen umat Islam; seperti Negara Islam, Perguruan Tinggi Islam, para Mentri, Ulama, Majami’ Ulama dan lainnya.
Fatwa Majma’ Buhuts di Saudi Arabia tahun 1393 H
Pada tanggal 16/04/1393 H, Haiah Kibarul Ulama di Saudi mendapat surat dari Thalal bin Syaikh Mahmud Al-Bashni Al-Makki, Direktur Umum PT. Luna Film dari Beirut, Libanon yang meminta izin untuk membuat film Bilal Muadzin Rasulullah saw. Setelah menyimak film tersebut mereka menetapkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Allah swt memuji sahabat dan menjelaskan posisi mereka yang mulia dan tinggi, dengan membuat film atau sinema tentang kehidupan mereka, telah menghilangkan pujian Allah tersebut dan menurunkan mereka dari posisi tinggi yang dengannya Allah jadikan mereka orang yang mulia.
  2. Membuat film salah seorang dari mereka akan menjadi tempat menghina dan mencela Sahabat, bukan untuk kebaikan, taqwa dan akhlaq Islam. Dan tujuan dari pembuat film hanya mereguk keuntungan materi semata. Akibat lain dari film tersebut adalah manusia menganggap film ini tidak berarti dan tidak penting sehingga menggoncangkan ke-tsiqahan Sahabat Nabi dan menyembunyikan kebesaran dan kemuliaan Sahabat di mata penonton muslim, membuka pintu keragu-raguan umat Islam pada agama mereka, membuka pintu perdebatan dan diskusi tentang Sahabat Nabi. Lebih dari itu, jika seorang aktor bermain sebagai Abu Jahal dan semisalnya lalu keluar dari lisannya celaan pada Bilal dan Rasulullah dan ajaran Islam, tidak ragu lagi ini adalah mungkar.
  3. Mereka mengatakan bahwa maslahatnya: Menampakkan akhlaq mulia, adab yang baik, menjaga hakikat sejarah, tidak melenceng sekalipun dan tetap menjaga ibrah dan nasehat di dalamnya. Ini hanya dugaan dan perkiraan belaka, karena yang mengetahui kehidupan bintang film akan mendapatkan hal yang menyelisihi kenyataan.
(Sumber: Fiqih Nawazil: Dirasah Ta’shiliyyah Tathbiqiyyah oleh; Dr. Muhammad Husain Al-Jaizarani, hal: 318  juz: 4 dalam bab Hukmu Tamtsil wa Tashwir Anbiya’ was Shahabah, cet I, Dar Ibnul Jauzi, 2005 M)
Fatwa Darul Ifta’ Al-Mishriyyah tahun 1404 H
Kesimpulannya:
  1. Kisah-kisah dalam Al-Quran turun untuk memperbaiki pemahaman-pemahaman yang salah.
  2. Para Nabi dan Rasul lebih agung lagi mulia untuk diperankan seseorang atau syaithan sekalipun.
  3. Penjagaan Allah (ishmah) kepada Nabi dan Rasul untuk diserupai syaithan menjadi penghalang (mani’) sekaligus larangan bagi manusia untuk menyerupai mereka, hal tersebut berlaku juga pada keturunan, istri dan sahabat Nabi saw.
(Sumber: Al-Fatawa Al-Islamiyyah Darul Ifta’ Al-Mishriyyah; jili 10, terbit cet I, tahun 1983 M/ 1404 H)
Syaikh Ali Abdul Baqi dalam program acara “Al-Hayatul Aan” menyebutkan bahwa fatwa Al-Azhar yang bersumber dari Majma’ Buhuts Islamiyyah, yang melarang penayangan serial Rasul, Nabi, Ahlul Bait dan ‘Asrah Mubasyirin bil Jannah tetap belaku dan tidak berubah.
“Al-Azhar dan badan ini berulang kali mengumumkan penentangannya terhadap penayangan gambar para nabi dan Ahlul Bait as di sinema dan televisi.” Demikian ditegaskan Syaikh Ali Abdul Baqi.
Sikap Syiah terhadap film Muawiyah, Hasan dan Husain
Bagi kalangan Syiah membuat film yang mempertontonkan pribadi Ahlul Bait dan Sahabat sebagai hal yang biasa sebagaimana point-point berikut:
  1. Ada fatwa dari senior ulama Syiah yang memperbolehkan menampilkan film Nabi, Ahlul Bait dan Sahabat, seperti fatwa Husain Fadhlullah dalam bukunya “Fiqhul Hayat” hal.166 dan Fatwa As-Sistani dalam bukunya “Alfiqhu Lilmughtaribin wifqa Fatawa Samahatul Imam As-Sistani” hal.343 masalah ke 595.
  2. Kita telah melihat realisasi dari fatwa tersebut dari serial para nabi yang dibuat produser Syiah seperti film serial Nabi Ibrahim, Nabi Sulaiman, Nabi Ya’qub, Nabi Yusuf, Nabi Zakaria, dan Nabi Isa alaihis salam dan penampilan tokoh seperti Maryam binti Imran dan malaikat Jibril alaihis salam !!!!! kebanyakan dari film serial ini banyak menampilkan kesalahan berkenaan hak-hak para nabi, tanpa meminta rekomendasi dari ulama atau marja’ Syiah terlebih dahulu dan film tersebut tersebar di TV dan situs-situs baik Syiah maupun bukan.
  3. Bahkan ada kabar bahwa sutradara Iran berenacana membuat film tentang pribadi Nabi Muhammad saw, dan anehnya maraji’ Syiah tidak ada yang menolak dan mengeluarkan fatwa boleh membuat film kehidupan Nabi Muhammad, sebagaimana fatwa dari As-Sisitani.
  4. Produser perfilm-an Iran telah banyak membuat film tentang peri kehidupan Ahlul Bait seperti film; “Imam Ali”, “Fatimah Al-Madhlumah”, “Imam Husain”, “Bilal Al-Habsyi”, dan serial “Mukhtar Ats-Tsaqafi”, yang disiarkan oleh TV Al-Manar dan Al-Kautsar, dalam film serial tersebut tidak jarang terdapat celaan-celaan terhadap kemuliaan para sahabat, seperti dalam serial film “Mukhtar Ats-Tsaqafi”.
  5. Tiap tahun pada hari-hari Asyura, Syiah membuat teater sandiwara yang dikenal dengan “At-Tasyaabih” yang bercerita tentang kisah terbunuhnya Imam Husain. Pribadi Husain, anak dan saudaranya ditampakkan secara jelas, tapi di daerah Iraq seperti Qathif dan Ihsa’, orang yang yang berperan sebagai Imam Husain ditutup dengan kain.

Lalu ada satu pertanyaan kenapa Syiah getol menyiarkan larangan penayangan film serial ini? Seorang marja’ Syiah menekankan bahwa serial ini telah melakukan tindak kriminal dan menuntut pada pengadilan supaya penayangan serial ini dihentikan. Sementara itu, di Iran, beberapa marja’ Syiah mengharamkan untuk menonton serial ini. Setidaknya ada tiga hal yang mendasari sikap Syiah tersebut:
Pertama; Pengikut Syiah tidak setuju dengan film ini karena kandungannya yang bertentangan dengan keyakinan asasi mereka seperti; Pribadi Abdullah bin Saba’ yang oleh Syiah dianggap sebagai tokoh fiktif dalam sejarah dan film ini ingin menunjukkan bahwa Abdullah bin Saba’ benar ada dan bukan fiktif.
Jika hal ini terbukti maka runtuhlah fondasi Syiah karena golongan Syiah meyakini bahwa Syiah telah muncul semenjak zaman Rasulullah saw. Tetapi kenyataan sejarah menyatakan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah pelopor berdirinya Syiah. Oleh karena itu, dengan menghilangkan figur Abdullah bin Saba, mereka berharap dapat diterima sebagai salah satu mazhab dalam Islam yang tidak ada kaitannya dengan Yahudi.
Kedua; Film serial ini memberikan legitimasi akan keabsahan Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah sepeninggal ayahnya, Muawiyah bin Abu Sufyan yang dibaiat oleh kaum muslimin.
Mengenai pribadi Yazid bin Muawiyah, tidak ada seorang pun dari Ahlus Sunnah yang menganggap dia kafir. Tapi kebanyakan orang mengatakan bahwa ia fasiq. Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata: “Yazid  telah  bersalah  besar  dalam  peristiwa Al  Harrah dengan berpesan kepada pemimpin pasukannya, Muslim     bin  Uqbah untuk membolehkan pasukannya memanfaatkan semua harta   benda, kendaraan, senjata, ataupun makanan penduduk Madinah selama tiga hari. Demikian pula terbunuhnya sejumlah sahabat dan anak-anak mereka dalam peristiwa tersebut. Maka dalam menyikapi Yazid bin Muawiyah, kita serahkan urusannya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.  Hal  ini  sebagaimana  yang  dikatakan oleh Adz-Dzahabi, “Kita tidak mencela Yazid, tapi tidak pula mencintainya”.
Ketiga; Film serial ini berusaha untuk menafikan segala bentuk pertentangan dan kontradiksi antara Ahlul Bait dan Sahabat, mereka senantiasa hidup damai dan berdampingan. Dan memang demikian adanya, saya pernah menulis artikel tentang “Bukti kasih sayang antara Ahlul Bait dan Sahabat Nabi saw” yang bisa anda baca disini.
Demikianlah sikap Sunnah dan Syiah tentang film serial Muawiyah, Hasan dan Husein, dimana sikap Ahlu Sunnah teguh bahwa bermain film sebagai Nabi, Sahabat dan Ahlul Bait adalah haram secara syari’at, sedangkan Syiah menolak serial ini karena isinya yang tidak sesuai dengan faham dan pendirian mereka.
Terakhir, bahwa serial apa saja yang dibuat tidak akan mengubah esensi sejarah, karena untuk mengetahui sejarah, umat islam sudah cukup mempelajarinya langsung dari kitab-kitab sejarah yang menjadi warisan paling berharga seperti kitab Al-Bidayah wan Nihayah, Al-Kamil fit Tarikh, Al-Waafi bil Wafayaat, Murujuz Zahabi dan lainnya.
Walau begitu film Muawiyah, Hasan dan Husain dan film sebelumnya; Yusuf As-Shiddiq dan Khalid bin Walid, sangat bagus, mengajak kita menikmati atmosfir kehidupan pada masa dulu, selain itu bahasa Arabnya yang fasih, membantu kita belajar bahasa Arab yang fushhah. Dan setidaknya tulisan tentang film-film tersebut bisa sebagai lampu hijau bahwa di film tersebut ada hal-hal yang perlu diperhatikan.
Referensi:
Al-Fatawa Al-Islamiyyah Darul Ifta’ Al-Mishriyyah; cet I, tahun 1983 M/ 1404 H
Fiqih Nawazil: Dirasah Ta’shiliyyah Tathbiqiyyah oleh; Dr. Muhammad Husain Al-Jaizarani, cet I, Dar Ibnul Jauzi, 2005 M
Artikel dalam Bahasa Arab yang ditulis oleh Usamah Sahadah di situs www.almoslim.net yang berjudul Haqiqah Hujumu Syiah ala Musalsal “Hasan wal Husain”.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

abdulah bin saba hebat banget org yahudi yg bisa mendirikan " syiah" , tp dlm referensi ternyata bernama ibnu sauda menurut ibnu taimiyah yg hidup 7 abad setelahnya. lha yg goblok itu tentu org2 yg percaya dgn tulisan nya. kenapa tdk cari referensi yg lebih tua atau mendekati pd zamannya. mmg bodoh2 org2 yg bertaklid buta kpd org yg berpendapat jk Allah turun ke langit dunia tiap malam...

Posting Komentar