Allah Ta'ala berfirman; "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur," ( Al Quran surat an-Nahl : 78 ).
Firman Allah Ta'ala itu menegaskan, semua manusia dilahirkan hanya dibekali tiga hal yang sama: pendengaran, penglihatan dan hati. Karenanya, semua orang pada dasarnya punya potensi sama untuk menjadi orang shalih atau tidak. Keshalihan seseorang bergantung pada sejauh mana isa mengoptimalkan modal yang diberikan Allah tersebut.
Begitu juga halnya orang-orang shalih yang dicatat sejarah. Mereka lahir sebagai manusia biasa. Lalu belajar mengenal Allah Ta'ala dan mengimani-Nya. Mereka mendekat pada Allah, dan Allah pun dekat pada mereka. Tentu saja keberhasilan mereka menjadi orang shalih tidak terlepas dari dukungan lingkungan sekitarnya, utamanya keluarga.
Karena orang-orang shalih itu adalah orang-orang biasa, maka tak heran pada banyak hal mereka tak jauh berbeda dengan keadaan orang biasa. Mereka bisa punya masalah keuangan, keluarga, kejenuhan, kelelahan dan seterusnya, Bahkan mereka bisa berbuat kesalahan. Perbedaan orang shalih dengan orang biasa terletak pada bagaimana menyikapi problema yang dihadapi dan kesalahan yang terjadi.
Jika orang biasa cenderung larut dalam problema yang dihadapinya kaum shalih itu mampu keluar dari persoalan yang melilitnya dengan elegan. Begitu juga halnya dalam soal berbuat salah. Berbeda dengan orang biasa yang umumnya terbuai kesalahan dan tak gampang bertaubat, orang-orang shalih amat sensitif terhadap kesalahan dan bersegera bertaubat.
Menyebut orang-orang shalih itu bisa salah, bukan untuk memperkecil kebesaran mereka. Bukan. Tapi, untuk memperbesar harapan kita untuk menjadi seperti mereka: shalih. Kita sama seperti mereka. Sama-sama punya potensi untuk menjadi shalih.
Betapa biasanya orang-orang shalih itu dalam hidup kesehariannya, bisa dilihat pada bebeberapa kisah berikut. Setelah dibaiat sebagai khalifah, Abu Bakar ash-Shiddiq tetap berdagang kain di pasar. Umar bin Khaththab lantas memintanya berhenti. "Lalu, apa yang akan dimakan keluargaku kalau aku tidak berdagang," jawab Abu Bakar. Khalifah pertama pengganti Rasulullah saw itu terus berdagang sampai akhirnya Umar mengusulkan agar ia digaji dari Baitul Mal agar bisa konsentrasi mengurus negara.
Fathimah lecet-lecet telapak tangannya karena mengerjakan sendiri urusan rumah tangga. la sempat meminta pembantu dari ayahnya. Tapi Rasulullah saw menggantinya dengan yang lebih baik: do'a.
Selain masalah nafkah, para salafus shalih juga menerima ujian. Zaid bin Arqam diuji Allah dengan kebutaan. Begitu juga dengan Abdullah bin Ummi Maktum. Kedua orang tua Ammar bin Yasir dibunuh. Ummu Salamah ditinggal mati oleh suami yang sangat ia cintai.
Orang-orang shalih itu pun pernah berbuat "salah". Rasulullah saw menugaskan Khalid bin Walid memimpin ekspedisi perang ke suatu wilayah yang didalamnya ikut Ammar bin Yasir. Sebelum perang Khalid mengutus sejumlah orang untuk menyeru penduduk daerah itu kepada Islam. Tiba-tiba ada seorang laki-laki menemui Ammar dan menyatakan masuk Islam. "Apakah ke-Islamanku bermanfaat jika aku tetap tinggal di kampungku ini?" pinta laki-laki itu. Ammar pun mengiyakan. "Aku yang menjaminmu," tambah Ammar.
Ketika masuk ke kampung itu, Khalid mendapatkan penduduknya sudah melarikan diri, kecuali keluarga laki-laki itu yang segera ditangkapnya. "Mereka sudah masuk Islam, tak ada alasan untuk menangkapnya," Ammar membela.
"Apa urusanmu dengannya? Apakah engkau telah menjaminnya padahal pemimpin pasukan ini aku?" ujar Khalid.
Keduanya sempat terlibat perdebatan panjang. Ketika kembali ke Madinah, keduanya segera menghadap Rasulullah saw dan menceritakan masalah mereka. Rasulullah saw membolehkan tindakan Ammar, tetapi melarangnya untuk mengulangi lagi. Namun antara Khalid dan Ammar tetap terlibat perdebatan. Khalid sempat marah dan berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa ia tetap menghinaku padahal kami berada di depanmu?"
"Cukup wahai Khalid! Siapa yang membenci Ammar, akan dibenci Allah. Siapa yang melaknat Ammar, akan dilaknat Allah," ujar Rasulullah saw.
Ammar keluar. Khalid buru-buru mengikuti. la menarik baju Ammar dan meminta maaf.
Pada kesempatan lain, Umar bin Khaththab pernah mau "melabrak" Amr bin Ash yang kala itu menjadi panglima. Amr bin Ash melarang pasukan menyalakan obor. Padahal keadaan sangat gelap. Umar marah. Antara dua jagoan itu hampir terjadi percekcokan. Abu Bakar yang juga ikut menjadi prajurit segera melerai, "Tahan wahai Umar! Sesungguhnya dia tidak diangkat sebagai panglima kecuali karena keahliannya dalam berperang." Umar pun tenang.
Anas bin Malik pernah melirik dan memperhatikan kecantikan seorang wanita. la pun ditegur khalifah Utsman, "Telah masuk salah seorang di antara kalian yang di matanya ada bekas zina. Tidakkah engkau tahu zina mata adalah pandangan? Segeralah bertaubat. Kalau tidak, aku akan melakukan hukum ta'zir (pengasingan) padamu," ujar Utsman. Anas pun mengaku salah dan bertaubat.
Ada lagi ujian dalam bentuk lain. Rabi' Khaitsam, seorang tabiin ternama pernah digoda seorang wanita suruhan. Wanita itu melakukannya dengan harapan mendapatkan imbalan seribu dirham dari orang yang menyuruhnya. Begitu melihat wanita itu, Rabi' bin Khaitsam segera menasihatinya hingga akhirnya wanita itu bertaubat dan mengakui kesalahannya.
Begitulah. Mereka adalah manusia yang bisa "kalap", emosi dan hampir tak bisa mengendalikan diri. Tapi mereka segera bisa mengatasinya dengan bantuan saudaranya. Mereka segera bertaubat.
Orang-orang shalih juga sibuk luar biasa. Mereka meninggalkan istri, anak dan orang-orang yang dicintai untuk waktu yang lama. Namun, semua itu tak menghalangi mereka memelihara keshalihan. Mereka tetap jadi shalih dalam kondisi sesulit apapun.
Banyak bukti, keshalihan bukan hanya milik orang-orang ternama. Baik AlQuran maupun sunnah Nabi mencatat banyak orang shalih tanpa kita mengenal namanya.
Al-Qur an mengabadikan kisah seorang laki-laki dari ujung kota yang nnembantu Nabi Musa dari kejaran Fir'aun tanpa disebut namanya. Allah Ta'ala berfirman, "Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata, "Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini). Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu," (QS al-Qashash: 20).
Allah Ta'ala juga mengisahkan seorang shalih di masa Fir'aun yang telah lama memendam imannya. Ketika tiba masanya, is muncul dan menyuarakan keimanannya. Allah Ta'ala berfirman, "Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata, "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan, "Tuhanku ialah Allah padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keteranganketerangan dari Tuhanmu.
Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu. Dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu."Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta," (QS. Ghafir: 28).
Nabi Saw pernah melakukan shalat ghaib atas seorang wanita tukang bersih masjid yang meninggal dunia. Di masa Nabi juga banyak kaum dhuafa' yang mendukung dakwah. Nama mereka tak ada dalam catatan sejarah. Mereka tak dikenal. Tapi mereka orang-orang shalih.
Akhirnya, menjadi shalih adalah milik semua orang. Menjadi shalih tak mesti terkenal. Keshalihan bisa dimiliki siapa saja.
Shalih Tak Harus Terkenal
Written By Rudianto on Jumat, 21 Maret 2014 | 08.51
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar