Nasyid Rasa Baru
Written By Rudianto on Jumat, 23 Oktober 2009 | 11.27
Nasyid bukan lagi musik kampungan. Juga nggak identik dengan irama ‘gurun pasir’. Nggak percaya? Sederet grup nasyid tampil dengan rasa baru; manis-asem-asin.
soldiers-of-allahRasanya Westlife, F4, Backstreet Boys, atau boysband lainnya kudu mikir-mikir lagi kalo mau bikin lagu. Bukan karena ada Slank atawa Padi, tapi grup-grup nasyid makin seru dan ciamik bawain lagu. Tentunya pasar musik pun bakal rame dengan persaingan. Maklum, maraknya nasyid genre baru ini udah menyita perhatian remaja Islam. Sebab, berbeda dengan nasyid era 80-an, nasyid yang muncul di tahun 90-an punya warna tersendiri. Pokoknya heboh deh.
“Sangat bagus dan menarik. Bagaimanapun juga harus diupayakan agar nasyid menjadi favorit lagu-lagu yang diputar oleh para remaja muslim,” tulis Hadi Susanto salah seorang member mailing list Permata yang lagi menyelesaikan studinya di Belanda. Doi nyempetin kirim e-mail setelah beberapa pertanyaan redaksi di-posting ke mailing list tersebut.
Hal senada juga diungkapkan Luky, arek Surabaya, “Maraknya nasyid, identik dengan kebebasan berekspresi dan juga ada udara kebangkitan Islam yang sedikit bertiup meski nggak kencang”
Tentunya ini berbeda dengan jaman dulu, sebelum kedatangan nasyid di tanah air. Masyarakat cuma kenal seni Islam itu sebatas qasidah dan irama gambus. Itu tuh lagu-lagu yang biasa dibawain band kepret. Disebut band kepret soalnya mereka pakai alat musik yang maininnya dikepret (dipukul) macam rebana atau ketimpring (atau yang dikenal juga sebagai kecrekan). Tau dong lagu macam Perdamaian, Jilbab-Jilbab Putih, Dunia Dalam Berita, atau Suasana di Kota Santri (yang juga pernah dibawain dengen kenes oleh Krisdayanti dan Anang).
Cuma, sampai sekarang ada kesan kalau qasidah itu adalah saudara dekatnya dangdut. Abis acapkali personilnya pada joget. Minimal goyang pinggul lah. Malah pada sejumlah konser ada penyanyi yang banting ’stir’ nyanyiin lagu dangdut. Biasanya atas permintaan penonton. Jadi lagu Islamnya berpadu ama Jandaku, Jatuh Bangun atau Cintaku Terbagi Dua. Kebayang kayak apa kan suasananya.
Lagipula biasanya personil qasidah itu akhwat. Malah kadang-kadang tampil dengan tabarruj; lipstik dipoles di bibir dan make up yang kesannya jadi menor. Maka seni Islam itu kesannya jadi norak bin kampungan dan nggak disukai kalangan remaja yang tinggal di perkotaan. Kasian deh!
Nah, setelah datang nasyid, suasananya jadi berubah. Kesan norak pun pupus berganti trendi. Bagi teman remaja yang suka ngikutin perkembangan nasyid, pastinya udah apal banget dengan nama grup nasyid asal negeri jiran Raihan, Rabbani, Brothers, Hijjaz, dan The Zikr, atau yang domestik macam Suara Persaudaraan, Izzatul Islam atau Snada. Di sekolah atau di kampus hampir tiap kegiatan Islam selalu nampilin selingan nasyid dari grup setempat. Para aktivis yang berani ‘malu’ pada nekat tampil menyenandungkan nasyid. Fals-fals dikit dimaklum. Belum lagi kalau soundsystem-nya ngadat. Namanya juga grup amatiran. Tapi sambutannya bisa dikatakan meriah walau personilnya sendiri sih pada keringet dingin.
Namun jangan salah, nasyid masuk ke tanah air dengan proses yang terbilang lumayan panjang dan sulit, lho. Biasanya remaja doyan nasyid karena sebatas liriknya yang memang reliji dan juga semangat keislaman. Jadi buat yang nggak ngaji rada males denger nasyid. Apalagi di akhir tahun 80-an itu nasyidnya kebanyakan masih berbahasa Arab, jadi makin sulit diterima khalayak.
Nah, waktu itu juga kan lagi seru-serunya perang Afghanistan dan gerakan intifadlah, maka nasyid-nasyid yang menyuarakan perjuangan juga marak. Seperti lagu-lagu yang diusung kelompok nasyid al-Quds yang heroik banget seperti ‘hits’ mereka, al-ardhu wal qudsu lana (Bumi bagi kami, dan al-Quds juga milik kami) dan Baaruudatiy (senjataku). Cuma ya itu tadi konsumsi nasyid masih terbatas. Malah nggak sedikit yang bilang nasyid itu metal-nya Arab (maklum waktu itu musik heavymetal lagi kenceng-kencengnya berkibar).
Banyak disuka
Setelah datang nasyid dari negeri jiran yang dibawa oleh kelompok dakwah al-Arqam, nasyid mulai ramai. Sebut saja kelompok Nada Murni yang beken dengan lagu Munajat yang bisa bikin hati hanyut dalam suasana reliji. Kehadiran nasyid melayu ini disambut meriah, soalnya cengkok dan syair-syairnya cukup pas dengan telinga orang Indonesia.
Beragamnya genre nasyid baru, mulai dari pop, hip-hop, sampe yang kenceng ternyata diminati juga oleh remaja kita di sini. Seperti Musthafa, cowok yang tinggal di Bogor ini berkomentar soal jenis nasyid kesukaannya, “Yang kalem kalo enak boleh juga. Yang keras juga seneng, kayak lagu Intifhada-nya Rabbani, atau lagu-lagunya kelompok nasyid al-Quds.”
Luky yang anak Surabaya itu juga menuliskan dalam e-mailnya bahwa doi seneng banget nasyid yang kenceng. Katanya sih, sesuai seleranya, dan buat tambah semangat. Grup nasyid yang doi suka adalah SOA, Soldiers of Allah.
Anak puteri malah lebih banyak lagi yang seneng nasyid. Gia Muthmainah salah satu contohnya. Ia mengaku senang banget dengan jenis nasyid yang kalem. “Aku suka nasyid yang lembut, liriknya menyentuh, dengan musik sesederhana mungkin,” ujar akhwat dari Serang ini dalam e-mailnya ke Permata.
Kesan nasyid itu masih kaku didobrak oleh ‘gerombolan’ nasyider gelombang ketiga. Mereka mulai kreatif dan tidak sungkan-sungkan mengusung instrumen modern. Bahkan mulai berani memberikan warna musik yang ngepop. Kalau kamu denger lagu Intifadlah-nya Rabbani pasti kamu rasakan kental dengan warna hip hop lengkap dengan decitan piringan hitam ala DJ. Di jalur pop ada Raihan yang lagu-lagunya easylistening. Lagu-lagu macam Senyumlah, Puji-Pujian dan Demi Masa adalah hit-hit mereka yang enak didengar.
Ada juga cerita Snada, grup nasyid negeri sendiri, yang lagi mengubah citra nasyid. Yang tadinya punya kesan sebagai musik ‘kolak’ menjadi musik ‘coca cola’. Wuih apalagi tuh? Disebut musik ‘kolak’ karena biasanya musik-musik Islam itu kan cuma hadir di bulan puasa – kalau puasa sajian buka puasanya kolak kan? –. Nah, Snada pada tahun ini meluncurkan album Neo Shalawat-nya justru di luar bulan puasa. Bukan cuma itu, Snada juga tampil nggak lagi dengan baju koko dan peci, tapi busana casual. “Pasar yang kita jangkau jadi lebih luas, kalo toh misalnya ada temen-temen yang kurang suka, justru sekarang nasyid telah berhasil memperluas segmen pasarnya,” kata Agus Idwar salah satu personilnya. Hasilnya? Album Neo Shalawat hampir nembus angka 50.000 copies.
Di Amerika juga ternyata ada grup “nasyid”. Malah jauh lebih heboh. Empat orang anak muda asal Los Angeles ‘nekat’ mengusung syair Islam lewat jalur rap. Kelompok yang menamakan dirinya Soldier of Allah ini terbilang lebih maju. Selain sudah menelurkan dua album, mereka juga bikin situs dimana kamu bisa men-download lagu-lagu dan lirik yang mereka buat. Yang luar biasa, lirik yang mereka tulis kebanyakan seputar masalah politik, imperialisme kaum kafir, dakwah dan juga soal khilafah Islamiyyah. Kalau soal kemampuan rapnya kayaknya sih nggak kalah seru dibandingin sama Eminem, Beastie Boys atau Limp Bizkit (lengkapnya lihat boks).
Teman pembaca, maraknya nasyid ‘genre’ baru setidaknya bikin ‘panas’ peta kekuatan musik di tanah air. Nggak berlebihan tentunya. Sebab, kalo dilihat dari perkembangannya cukup menggembirakan. Meski kita juga nggak boleh langsung ngasih kesimpulan kalo sekarang Islam udah bangkit. Itu belum cukup, dan memang masih banyak pekerjaan yang kudu kita lakukan, lebih dari sekadar nasyid. So, lebih pantas kalo nasyid hanya kita jadikan sebagai ‘teman’ dalam dakwah kita. Tul nggak? [O. Solihin]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar