Meski kita mencarinya, tidak semua nikmat dan lezat yang kita
dapat,kemudian parallel dengan kebaikan, hingga kita selalu
mensyukurinya. Sebab, banyak diantaranya yang palsu dan menipu, yang
karenanya kita harus senantiasa waspada. Sebuah kesadaran akan hakikat
kenikmatan yang membahagiakan dan lama, kini hingga nanti, di akhirat.
Kita harus percaya, ada nikmat dalam dosa dan maksiat, hingga
hamba-hamba yang mabuk syahwat terlena oleh rasa itu, dalam pemahaman
tentang keharamannya ataupun tidak. Membiarkan diri mereka terseret
pusaran waktu dalam kelezatan semu, bahkan memburu tanpa ragu dan rasa
malu seolah mereka tercipta untuk itu ; menjadi budak nafsu.
Mereka lupa, bahwa kenikmatan dosa akan memudar seiring ketidakberdayaan
jiwa melawan ajakannya karena telah tertawan, juga membebaskan diri
dari jeratannya karena telah mengakar dalam. Rasa yang kini menjadi
hampa dan tawar saat mereka sadar bahwa sudah terlalu sulit untuk
berkelit meninggalkannya. Mereka jatuh disebuah titik jenuh dengan peluh
yang telah menguras tenaga dan usia. Hingga tiada lagi yang tersisa
selain sesal dan kecewa, juga sunyi yang mencekam menakutkan.
Inilah hakikat kehinaan dan tanda kebinasaan. Yang terjadi karena
terlepasnya diri dari penjagaan dan perlindungan Allah, penutup pintu
maksiat dan dosa, meski ia tipudaya seluruh penghuni bumi dan angkasa.
Yaitu setelah taufiq dari-Nya tak lagi menyapa sebab nafsu meraja dan
berkuasa, hingga mengeluarkan hamba dari ketaatan kepada-Nya. Saat
itulah Allah menyerahkan hamba itu, beserta seluruh permasalahannya
kepada dirinya sendiri. Melayang tanpa pegangan tangan dan kehilangan
tempat kaki berpijak. Linglung dalam bingung sebab beratnya menghadang
semua serangan maksiat yang luar biasa dahsyat. Hingga ia pasrah dan
menyerah kalah.
Karenanya, merasa senang dalam nikmatnya dosa adalah kejahilan. Tentang
siapa sesungguhnya yang dikhianati, tentang siapa yang sebenarnya
merugi, tentang ancaman bahaya besar yang terlupakan, juga tentang
iradah yang salah. Sebuah ketidaksadaran akut yang membutakan seluruh
akal sehat dan perasaan. Dengan puncaknya adalah perasaan bangga dalam
dosa, serta hebat dalam maksiat. Yang karenanya dia ingin terus
melakukannya lagi, melakukannya lagi, dan lagi, bahkan hingga dia
megajak khalayak ramai untuk mengikuti jejak dirinya. Pada saat itulah,
dia berada dalam bahaya yang lebih besar daripada dosa itu sendiri.
Padahal, dosa adalah luka, yang mestinya menggelisahkan jiwa dan
membuatnya merana tidak bahagia. Jiwa yang suci akan selalu membencinya
dan merasa terbebani, dengan tingkat kebencian yang sebanding kadar
kesuciannya. Hingga saat kegelisahan dalam maksiat yang dia perbuat
menipis, dia mencurigai kualitas iman miliknya. Dan ketika rasa itu
menghilang, dia menangisi hatinya yang telah mati. Bukankah, memang luka
tidak akan menyakitkan bagi si mayit?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar