Tears of
Gaza adalah film dokumenter karya Vibeke Lokkeberg yang harus ditonton
oleh setiap orang Amerika, untuk melihat bagaimana Israel menghabiskan
pajak rakyat Palestina. Begitu juga setiap bangsa Eropa harus menonton
film itu, untuk melihat kekejaman Israel yang sesungguhnya. Film ini
harus dilihat oleh setiap bangsa Arab, untuk mendukung sepenuhnya
perjuangan rakyat Palestina dan tidak membiarkan bangsa rasis menghapus
warga Palestina dan keturunannya dari peta dan sejarah.
Air mata
dan amarah kita akan membuncah, ketika melihat bom Israel jatuh tepat di
atas anak-anak yang sedang tidur lelap, dan kemudian pesawat tempur
Israel menghujani warga sipil Palestina dengan White Phosphorus, zat
kimia yang mematikan atau setidaknya zat itu meninggalkan cacat permanen
karena keganasannya mampu menembus tulang, bahkan melumerkan besi.
Rakyat Palestina itu lari kocar-kacir mencari perlindungan tanpa ada
perlawanan, kecuali harapan dan do’a...yang hanya mampu melawan rasa
takut mereka sendiri.
Tears of
Gaza menghujam jantung kita dengan rekaman nyata kota Gaza yang
tersiksa. Film ini menyibak tabir kebenaran di balik bangsa pengecut dan
media-media pendusta dengan opini yang menggambarkan pembantaian Israel
sebagai "pertahanan diri". Film ini menelanjangi kebiadaban Israel di
jantung kota Gaza melalui jiwa para syuhadaa’ dan senyum getir anak-anak
Gaza tak bernyawa.
Pertama
kali mendengar tentang Tears of Gaza atau Gaza Traer (judul asli dalam
bahasa Norwegia) ketika Bernard Henri-Levi, seorang Jurnalis dan
Philosopher Era Baru berkewarganegaraan Prancis berdarah Yahudi Algeria,
melancarkan serangan terhadap Lokkeberg di media-media internasional.
Pada kenyataannya, film ini adalah karya monumental...yang indah tapi
menyakitkan, yang jujur tapi membuat hati kita hancur.
Vibeke
Lokkeberg menghadirkan nama, wajah, dan kisah 3 anak Gaza biasa tapi
memiliki jiwa dan semangat yang luar biasa. Dan untuknya, itu pun tidak
cukup mewakili gambaran penderitaan anak-anak Gaza lainnya...yang masih
banyak lagi dan jauh lebih tragis lagi.
Amira,
gadis belia seusia anak saya Athira, 14 tahun. Amira yang lugu dan
cantik dengan lukisan nyerinya penderitaan hidup, yang tidak sewajarnya
menghiasi paras gadis seusianya. Masa anak-anak dan remajanya dirusak
oleh kematian dan kehancuran, begitu pula tubuhnya dirusak oleh amunisi
bangsa biadab. Dia bercita-cita ingin menjadi pengacara agar suatu saat
nanti dapat menyeret Israel ke pengadilan atas kejahatan mereka yang
telah dilakukan terhadap tanah airnya, keluarganya, dan dirinya. Ketika
kenangan tentang ayahnya dan saudara-saudaranya terusik kembali oleh
pertanyaan wartawan, dia mengakui...baru saja dia berharap "pergi dengan
mereka".
Yahya,
seorang bocah 12 tahun yang mempunyai cita-cita ingin menjadi dokter,
sehingga ia dapat menyembuhkan orang-orang yang ditembak oleh Israel.
Dalam film ini, dia di atas perahu motor kecil dan sedang diajarkan
mengarahkan transportasi air tersebut, yang seharusnya dia sedang
menikmati masa kanak-kanaknya. Matanya yang indah dan senyumnya yang
polos, yang selama ini mampu menjadi tabir duka baginya, tersibak juga
hingga tak mampu membendung airmatanya ketika ia berbicara tentang
ayahnya tercinta yang telah syahid dan tentang kisah hidupnya yang luar
biasa dan seolah hanya dirinya seorang yang mengerti. Hingga dia
berkata, “Ketika ayah saya meninggal, saya seperti kehilangan seluruh
dunia.”
Rasmia,
sikapnya jauh melampaui usianya yang masih 11 tahun. Ibunya menjelaskan
bahwa ia terkadang membayangkan serangan tiba-tiba tentara Zionis. Hal
ini jelas menunjukkan tanda-tanda pasca-traumatic stress disorder,
dimana dia sering tiba-tiba mengalami kilas balik hidupnya hingga
membuat jiwanya terguncang hebat akibat dari menyaksikan, mendengar dan
merasakan langsung adegan-adegan tragis dan sadis.
Ketiga anak
Palestina ini hanya butuh didengar...dan mungkin, untuk saat ini, yang
mampu kita lakukan untuk mereka pun memang hanya mendengar penderitaan
mereka. Atau mungkin kita hadiahi mereka dengan do’a tulus kita, saat
masih merasakan hancurnya hati kita dan nanarnya mata kita, usai film
Tears of Gaza tersebut.
Tapi,
apakah kita harus menunggu air mata kita kering...emosi kita
mereda...hati kita sembuh...untuk berbuat sesuatu yang nyata di
hadapanAllah swt...sebelum Palestina merdeka?
Jadikan ini
bukan hanya sekedar review, tetapi panggilan nurani untuk
bertindak...semaksimal kita bisa, sesuai kemampuan luar biasa kita
masing-masing...untuk saudara-saudara kita di Palestina, lillahi
ta’alaa...! Sehingga tidak ada lagi yang masih berpendapat “Itu bukan
urusan negara kita, apalagi urusan saya.”
by: Bunda Athira
Film Tears of Gaza
Written By Rudianto on Senin, 06 Mei 2013 | 00.00
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Source replica bags from china check my blog replica ysl click this link here now replica louis vuitton bags
b8y32d4t35 i9k61a9g52 b4s27h6m63 r9u79a3f17 u5a03p6d14 s1v92r2z06
q7w89l3f98 g0f02w1a14 y3a08n4x55 v0j54c2b71 y8e38w9t58 p5u76s5v90
Posting Komentar