Assalamu'alaikum ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  Nurisfm Network
Naskah tentang Ilmu Agama Islam dalam media ini diambil dan disusun dari berbagai sumber. Tidak tercantumnya sumber dan penulis, bermaksud untuk penyajian ilmu yang 'netral' semata. Mudah-mudahan menjadikan amal baik bagi penulisnya dan mendatangkan kebaikan bagi sesama. Kelemahan dan kekurangan serta segala yang kurang berkenan dihati mohon dimaafkan. Apabila ada pihak yang keberatan atau merasa dirugikan dimohonkan menghubungi Admin (Abu Azka). Dan untuk naskah-naskah ilmu pengetahuan umum, Insya Allah akan dicantumkan sumber dan atau penulisnya. Mohon Maaf sebelumnya, sekian dan terima kasih ^-^

Isyarat-isyarat IQ,EQ dan SQ dalam Al-Qur’an

Written By Rudianto on Senin, 14 Maret 2011 | 08.29

Pendahuluan
Asumsi manusia sebagai homo sapiens atau al-hayaw±n al-n±thiq (spesies yang berfikir) ternyata dianggap keliru. Visi baru para ilmuan menemukan bukti porsi intelektualitas manusia hanya merupakan bagian terkecil dari totalitas kecerdasan manusia. Kalangan ilmuan menemukan tiga bentuk kecerdasan dalam diri manusia, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).

IQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas akal yang berpusat di otak, EQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas emosional yang berpusat di dalam jiwa, dan SQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas rohani yang mengambil lokus di sekitar wilayah roh.

Ketiga aktifitas kreatif di atas mengingatkan kita kepada tiga konsep struktur kepribadian Sigmund Freud (1856-1939), yaitu id, ego, dan superego. Id adalah pembawaan sifat-sifat fisik-biologis seseorang sejak lahir. Id ini menjadi inspirator kedua struktur berikutnya. Ego, bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari Id. Ego berusaha mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial. Ego membantu seseorang keluar dari berbagai problem subyektif individual dan memelihara agar bertahan hidup (survival) dalam dunia realitas. Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian, berupaya mewujudkan kesempurnaan hidup, lebih dari sekedar mencari kesenangan dan kepuasan. Superego juga selalu mengingatkan dan mengontrol Ego untuk senantiasa menjalankan fungsi kontrolnya terhadap id.[1]

Meskipun tidak identik, IQ dapat dihubungkan dengan Id, Ego dapat dihubungkan dengan EQ, dan Superego dapat dihubungkan dengan SQ.

Pemilik IQ tinggi bukan jaminan untuk meraih kesuksesan. Seringkali ditemukan pemilik IQ tinggi tetapi gagal meraih sukses; sementara pemilik IQ pas-pasan meraih sukses luar biasa karena didukung oleh EQ. Mekanisme EQ tidak berdiri sendiri di dalam memberikan kontribusinya ke dalam diri manusia tetapi intensitas dan efektifitasnya sangat dipengaruhi oleh unsur kecerdasan ketiga (SQ).

SQ sulit sekali diperoleh tanpa kehadiran EQ, dan EQ tidak dapat diperoleh tanpa IQ. Sinergi ketiga kecerdasan ini biasanya disebut multiple intelligences yang bertujuan untuk melahirkan pribadi utuh (“al-insan al-kamilah). Untuk penyiapan SDM di masa depan, internalisasi ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dapat ditawar lagi.

Di dalam Al-Qur’an, ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dijelaskan secara terperinci. Namun, masih perlu dikaji lebih mendalam beberapa kata kunci yang berhubungan dengan ketiga pusat kecerdasan yang dihubungkan dengan ketiga substansi manusia, yaitu unsur jasad yang membutuhkan IQ, unsur nafsani yang membutuhkan EQ, dan unsur roh yang membutuhkan SP.

Substansi Manusia dalam Al-Qur’an
Substansi manusia dalam Al-Qur’an mempunyai tiga unsur, yaitu unsur jasmani, unsur nafsani, dan unsur rohani. Keterangan seperti ini dapat difahami di dalam beberapa ayat, antara lain Q.S. al-Mu’min­n/23:12-14 sebagai berikut:

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah (12). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (13). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik (14).

Kata dalam ayat ini menurut para mufassir dimaksudkan sebagai unsur rohani setelah unsur jasad dan nyawa (nafs±ni). Hal ini sesuai dengan riwayat Ibn Abbas yang menafsirkan kata dengan (penciptaan roh ke dalam diri Adam)[2] Unsur ketiga ini kemudian disebut unsur ruhani, atau lahut atau malakut. yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Unsur ketiga ini merupakan proses terakhir dan sekaligus merupakan penyempurnaan substansi manusia sebagaimana ditegaskan di dalam beberapa ayat, seperti dalam Q.S. al-Hijr/15:28-29:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud.

Setelah penciptaan unsur ketiga ini selesai maka para makhluk lain termasuk para malaikat dan jin bersujud kepadanya dan alam raya pun ditundukkan (taskhir) kepada Adam. Unsur ketiga ini pulalah yang mendukung kapasitas mamnusia sebagai khalifah (representatif) Tuhan di bumi (Q.S. al-An‘am/6:165) di samping sebagai hamba (Q.S. al-zariyat/51:56).

Meskipun memiliki unsur ketiga, manusia akan tetap menjadi satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan taqwim/Q.S. al-Tin/95:4), ia tidak mustahil akan turun ke derajat “paling rendah” (asfala safilin/Q.S. al-Tin/95:5), bahkan bisa lebih rendah daripada binatang (Q.S. al-A‘raf/7:179). Eksistensi kesempurnaan manusia dapat dicapai manakala ia mampu mensinergikan secara seimbang potensi kecerdasan yang dimilikinya, yaitu kecerdasan unsur jasad (IQ), kecerdasan nafsani (EQ), dan kecerdasan ruhani (SQ).

Kecerdasan Intelektual (IQ)
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa dalam diri kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.

Otak dapat dibagi menjadi otak kiri dan otak kanan. Otak kiri memiliki fungsi analisis dan otak kanan memiliki fungsi kreatif. Meskipun masih banyak ditentang, kalangan imuan mengidentifikasi otak kiri sebagai orak feminin dan otak kanan sebagai otak maskulin. Walaupun terpisah tetapi keduanya saling berhubungan secara fungsional. Kelainan akan terjadi manakala hubungan fungsional itu terganggu.

Wilayah aktifitas otak juga dapat dibedakan antara pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Wilayah pikiran sadar hanya sekitar 12 % dan selebihnya (88%) adalah wilayah pikiran bawah sadar. Di antara kedua wilayah ini, ada garis pemisah yang disebut Reticular Activating System (RAT), yang berfungsi untuk menyaring informasi tidak perlu atau berlebihan supaya kita tetap bisa waras. Di wilayah bawah sadar tersimpan semua ingatan dan kebiasaan, kepribadian dan citra diri kita.

Di dalam sistem otak kita ada suatu bagian yang disebut limbik (otak kecil), terletak di bawah tulang tengkorak di atas tulang belakang. Otak kecil ini ditemukan oleh para ilmuan memiliki tiga fungsi, yaitu mengontrol emosi, mengontrol seksualitas, dan mengontrol pusat-pusat kenikmatan.

Dari sini difahami bahwa otak dan emosi memiliki hubungan yang fungsional yang saling menentukan antara satu dan lainnya. Penelitian Rappaport di tahun 1970-an menyimpulkan bahwa emosi tidak hanya diperlukan dalam penciptaan ingatan, tetapi emosi adalah dasar dari pengaturan memori. Orang tidak akan pernah mencapai kesuksesan dalam bidang apapun kecuali mereka senang menggeluti bidang itu. Jadi untuk mengoptimalkan kecerdasan intelektual yang biasa disebut dengan accelerated learning, tidak dapat dicapai tanpa bantuan aktifitas emosional yang positif.[3]

Di dalam Al-Qur’an, kecerdasan intelektual dapat dihubungkan dengan beberapa kata kunci seperti kata??? (saecara harfiah berarti mengikat) yang terulang sebanyak 49 kali dan tidak pernah digunakan dalam bentuk kata benda (ism) tetapi hanya digunakan dalam bentuk kata kerja (fi’il), yaitu bentuk fi’il madli sekali dan bentuk fi’il mudlari’ 48 kali. Penggunaan kata ‘aql dalam ayat-ayat tersebut pada umumnya digunakan untuk menganalisis fenomena hukum alam (seperti Q.S. al-Baqarah/2:164) dan hukum-hukum perubahan sosial (seperti Q.S. al-‘Ankab­t/29:43).

Selain kata ‘aql juga dapat dihubungkan dengan predikat orang-orang yang mempunyai kecerdasan intelektual seperti kata (orang-orang yang mempunyai pikiran) yang terulang sebanyak 16 kali. Seorang yang mencapai predikat ul­ al-bab belum tentu memiliki kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, karena masih ditemukan beberapa ayat yang menyerukan kepada kaum ul­ al-bab untuk bertakwa kepada Allah Swt (Q.S.al-Maidah/5:100 dan S. al-Thalaq/65:10). Namun, ul­ al-bab juga dapat digunakan bagi pemilik IQ yang sudah menyadari akan adanya kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi di balik kemampuan akal pikiran (Q.S. al-Baqarag/2:269 dan S. al-Zumar/39:9). Dan masih banyak lagi istilah yang mengisyaratkan aktifitas kecerdasan intelektual kesemuanya itu dapat disimpulkan bahwa ontologi akal hanya terbatas pada obyek-obyek yang dapat diindera, kepada obyek-obyek yang bersifat metafisik.

Penguasaan kecerdasan intelektual bukan jaminan untuk memperoleh kualitas iman atau kualitas spiritual yang lebih baik, karena terbukti banyak orang yang cerdas secara intelektual tetapi tetap kufur terhadap Tuhan. Hal ini juga ditegaskan di dalam Q.S.al-Baqarah/2:75:

Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? (Q.S.al-Baqarah/2:75).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa bahwa kecerdasan intelektual terkadang digunakan untuk meligitimasi kekufuran. Padahal, idealnya kecerdasan intelektual digunakan untuk memperoleh kecerdasan-kecerdasan yang lebih tinggi. Seorang ilmuan yang arif tidak berhenti pada level kecerdasan intelektual tetapi melakukan sinergi dengan kecerdasan-kecerdasan yang lebih tinggi. Inilah makna simbol ayat pertama yang diturunkan dalam Al-Qur’an: Iqara’ bi ism Rabbik: “Membaca” harus selalu dikaitkan dengan “nama Tuhan”.


Kecerdasan Emosional[4] (EQ)
Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seseorang dapat melakukan sesuatu dengan didorong oleh emosi, dalam arti bagaimana yang bersangkutan dapat menjadi begitu rasional di suatu saat dan menjadi begitu tidak rasional pada saat yang lain. Dengan demikian, emosi mempunyai nalar dan logikanya sendiri. Tidak setiap orang dapat memberikan respon yang sama terhadap kecenderungan emosinya. Seorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.

Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional. Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Daniel Goleman menggambarkan bahwa otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa keserdasan emosional hanya bisa aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.[5]

Jenis dan sifat emosi dapat dikelompokkan sebagai berikut:

- Amarah: Bringas, mengamuk, benci, marah besar, jenkel, kesal hati, terganggu, berang, tersinggung, bermusuhan, sampai kepada kebencian bersifat patologis.
- Kesediahan: Pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi berat.
- Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, khawatir, waspada, tidak tenang, negeri, kecut, fobia, dan panik.
- Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, dan batas ujungnya mania.
- Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih.
- Terkejut: terkesima, takjub, terpana.
- Jengkel: hina, jijik, muak, mual, dan benci.
- Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, aib, dan hati hancur lebur.[6]

Kelompok-kelompok emosi tersebut di atas menurut Paul Ekman dari Universitas California, akan menampilkan ekspresi wajah yang Universal di hampir seluruh etnik, artinya dari suku dan etnik manapun seorang yang mengalami berbagai jenis emosi di atas akan menampilkan ekspresi raut muka yang sama.[7]

Di dalam Al-Qur’an, aktifitas kecerdasan emosional seringkali dihubungkan dengan kalbu. Oleh karena itu, kata kunci utama EQ di dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri melalui kata kunci (kalbu) dan tentu saja dengan istilah-istilah lain yang mirip dengan fungsi kalbu seperti jiwa (???), intuisi, dan beberapa istilah lainnya.

Jenis-jenis dan sifat-sifat kalbu (qalb) dalam Al-Qur’an dapat sikelompokkan sebagai berikut:

* Kalbu yang positif :
1. Kalbu yang damai (Q.S. al-Syura/26:89).
2. Kalbu yang penuh rasa takut (Q.S.Qafl50:33)
3. Kalbu yang tenang (Q.S. al-Nahl/16:6)
4. Kalbu yang berfikir (Q.S.al-Haj/2:46)
5. Kalbu yang mukmin (Q.S.al-Fath/48:4)

* Kalbu tang Negatif:
1. Kalbu yang sewenang-wenang (Q.S. Gafir/40:35)
2. Kalbu yang sakit (Q.S. al-Ahdzab/33:32)
3. Kalbu yang melampaui batas (Q.S.Yunus/10:74)
4. Kalbu yang berdosa (Q.S.al-Hijr/15:12)
5. Kalbu yang terkunci, tertutup (Q.S.al-Baqarah/2:7)
6. Kalbu yang terpecah-pecah (Q.S.al-Hasyr/59:14)

Kalau qalb di atas dapat diartikan sebagai emosi maka dapat difahami adanya emosi cerdas dan tidak cerdas. Emosi yang cerdas dapat dilihat pada sifat-sifat emosi positif dan emosi yang tidak cerdas pada sifat-sifat emosi negatif.

Eksistensi kecerdasan emosional dijelaskan dengan begitu jelas di dalam beberapa ayat berikut ini:

maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Q.S.al-Haj/22:46)

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Q.S.al-A’raf/5:179)

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Q.S.al-Jatsiyah/45:23)

Ayat-ayat tersebut di atas cukup jelas menggambarkan kepada kita bahwa faktor kecerdasan emosional ikutserta menentukan eksistensi martabat manusia di depan Tuhan. Menurut S.H.Nasr, emosi inilah yang menjadi faktor penting yang menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk eksistensialis, yang bisa turun-naik derajatnya di mata Tuhan. Binatang tidak akan pernah meningkat menjadi manusia dan malaikat tidak akan pernah “turun” menjadi manusia karena mereka tidak memiliki unsur kedua dan unsur ketiga seperti yang dimiliki manusia.[8]

Upaya mendapatkan kecerdasan emosional dalam Islam sangat terkait dengan upaya memperoleh kecerdasan spiritual. Keduanya mempunyai beberapa persamaan metode dan mekanisme, yaitu keduanya menuntut latihan-latihan yang bersifat telaten dan sungguh-sungguh (muj±hadah) dengan melibatkan “kekuatan dalam” (inner power) manusia. Bedanya, mungkin terletak pada sarana dan proses perolehan. Aktifitas kecerdasan emosional seolah-olah masih tetap berada di dalam lingkup diri manusia (sub-conciousnes), sedangkan kecerdasan spiritual sudah melibatkan unsur asing dari diri manusia (supra-conciousnes).

Kecerdasan Spiritual (SQ)
Kecerdasan spiritual menjadi salah satu wacana yang mulai mencuak akhir-akhir ini. Wacana ini muncul seolah-olah kelanjutan dari wacana yang pernah dipopulerkan oleh Daniel Goleman dengan Emotional Intelligence-nya. Kini sudah mulai bermunculan karya-karya baru tentang kecerdasan ketiga ini dengan metode pembahasan yang berbeda-beda. Yang lebih menarik lagi karena buku-buku ini muncul di dunia Barat. Apakah ini pertanda bahwa Barat kini sudah mulai melakukan reorientasi pandangan hidup atau karena sedang terjadi suatu krisis di Barat.

Kalangan ilmuan kini semakin sadar betapa pentingnya manusia kembali berpaling untuk memahami dirinya sendiri lebih mendalam. Sebab hanya dengan mengandalkan kecerdasan intelektual saja manusia tidak akan sampai kepada martabat yang ideal. Atas dasar inilah, Danah Zohar dan Ian Marshal menerbitkan satu buku yang amat menarik yang diberinya judul: SQ Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence. Dalam buku ini diawali dengan tinjauan secara kritis kelemahan-kelemahan dunia Barat dalam kurun waktu terakhir ini karena mengabaikan faktur kecerdasan spiritual ini. Sebaliknya, buku ini memberikan apresiasi yang sangat positif terhadap niulai-nilai humanisme ketimuran yang dikatakannya lebih konstruktif daripada nilai-nilai humanisme yang hidup di Barat.[9]

Kecerdasan spiritual dalam Islam sesungguhnya bukan pembahasan yang baru. Bahkan masalah ini sudah lama diwacanakan oleh para sufi. Kecerdasan spiritual (SQ) berkaitan langsung dengan unsur ketiga manusia. Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa manusia mempunyai substansi ketiga yang disebut dengan roh. Keberadaan roh dalam diri manusia merupakan intervensi langsung Allah Swt tanpa melibatkan pihak-pihak lain, sebagaimana halnya proses penciptaan lainnya. Hal ini dapat difahami melalui penggunaan redaksional ayat sebagai berikut:

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (Q.S.al-Hijr/15:29)

Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”. (Q.S.Shad/38:72).

Ayat tersebut di atas menggunakan kata (dari ruh-Ku) , bukan kata (dari roh Kami) sebagaimana lazimnya pada penciptaan makhluk lain. Ini mengisyaratkan bahwa roh yang ada dalam diri manusia itulah yang menjadi unsur ketiga (???? ???) dan unsur ketiga ini pula yang menyebabkan seluruh makhluk harus sujud kepada Adam. Ini menggambarkan seolah-olah ada obyek sujud lain selain Allah. Unsur ketiga ini pula yang mem-backup manusia sebagai khalifah (representatif) Tuhan di bumi.

Kehadiran roh atau unsur ketiga pada diri seseorang memungkinkannya untuk mengakses kecerdasan spiritual. Namun, upaya untuk mencapai kecerdasan itu tidak sama bagi setiap orang. Seorang Nabi atau wali tentu lebih berpotensi untuk mendapatkan kecerdasan ini, karena ia diberikan kekhususan-kekhususan yang lebih dibanding orang-orang lainnya. Namun tidak berati manusia biasa tidak bisa mendapatkan kecerdasan ini.

Kisah menarik di dalam Al-Qur’an yang menunjukkan adanya seorang anak manusia bernama Khidlir ditunjuk menjadi guru spiritual Nabi Musa. Peristiwa ini terjadi ketika Nabi Musa baru saja mencapai kemenangan dengan tenggelamnya Raja Fir’an ke dasar laut. Seseorang datang bertanya kepada Nabi Musa, apakah masih ada orang yang lebih hebat dari anda? Secara spontanitas Nabi Musa menjawab tidak ada. Seketika itu Allah Swt memerintahkan Nabi Musa untuk berguru kepada seseorang, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Kahfi/17:65 sebagai berikut:

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Ketika Nabi Musa diterima sebagai murid dengan persyaratan Musa harus bersabar dan tidak diperkenangkan untuk bertanya secara logika, maka setelah keduanya tiba di suatu tempat, ditemukan sejumlah perahu nelayang yang ditambatkan di pantai. Sang guru lalu melubangi satu demi satu perahu itu. Nabi musa tergoda untuk bertanya, apa arti perbuatan gurunya, bukankah perahu nelayan ini satusatunya alat mata pencaharian nelayan miskin di desa ini? Khidlir mengingatkan perjanjian yang telah disetujui, Musa belum diperkenankan untuk bertanya, kemudian Musa minta maaf lalu keduanya melanjutkan perjalanan. Ketika sampai di satu tempat, keduanya menjumpai segerombolan anak-anak kecil sedang bermain-main lau salah seorang dari anak-anak itu ditangkap lalu dibunuh oleh sang guru. Nabi Musa kembali mengintrubsi gurunya dengan mengatakan, ini apa artinya? Bukankah anak ini belum mempunyai dosa? Akhirnya Nabi Musa kembali harus meminta maaf atas kelancangannya. Setelah tiba di suatu tempat, keduanya menjumpai tembok tua yang hampir roboh, kemudian keduanya berhari-hari membangun kembali bangunan tembok tua itu. Setelah selesai dipugar, Khidlir mengajak Nabi Musa untuk meninggalkan tepat itu. Musa pun kembali bertanya, ini untuk apa semua dilakukan? Untuk yang ketiga kali ini, Nabi Musa tidak lagi dapat dianggap sabar untuk menjadi murid dan Musa pun sudah tabah untuk tidak lagi melanjutkan pelajaran kepada gurunya. Sebelum keduanya berpisah, sang guru tidak lupa menceritakan pengalaman-pengalaman yang pernah ia lakukan.

Gurunya memberikan penjelasan bahwa para pemilik perahu nelayan itu kini sedang berutang budi terhadap orang yang pernah melubangi peruhunya. Mereka bersyukur karena seandainya perahu tidak dilubangi sudah barang tentu perahu itu ikut dijarah oleh pasukan Raja dlalim yang merayakan hari ulangtahunnya di laut. Anak itu sengaja dibunuh karena Khidlir diberikan ilmu khusus dari Allah Swt bahwa anak itu kalau sudah besar akan menjadi racun di dalam masyarakatm termasuk mengkufurkan kedua orang tuanya, sementara kedua orang tua anak tersebut masih akan dikaruniai anak-anak yang shaleh. Tembok tua itu dipugar karena di bawah tembok itu tersimpan harta karun yang luar biasa besarnya, sementara pemiliknya masih dalam keadaan bayi. Tembok itu akan roboh ketika anak itu sudah besar dan sudah dapat mendayagunakan hartanya[10]

Kisah simbolik ini mengisyaratkan adanya tingkatan-tingkatan kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki Khidlir dapat dikategorikan kecerdasan spiritual. Sementara model kecerdasan yang ditampilkan Nabi Musa adalah kecerdasan intelektual. Kisah ini juga mengisyarakan bahwa kecerdasan spiritual tidak hanya dapat diakses oleh para Nabi tetapi manusia yang buka Nabi pun berpotensi untuk memperolehnya.

Pengalaman Al-Gazali dan Ibn Arabi
Al-Gazali sesungguhnya sudah lama telah memperkenalkan model kecerdasan spiritual ini dengan beberapa sebutan, seperti dapat dilihat dalam konsep muk±syafah dan konsep ma’rifah-nya. Menurut Al-Gazali, kecerdasan spiritual dalam bentuk muasyafah (ungkapan langsung) dapat diperoleh setelah roh terbebas dari berbagai hambatan. Roh tidak lagi terselubung oleh khayalan pikiran dan akal pikiran tidak lagi menutup penglihatan terhadap kenyataan Yang dimaksud hambatan di sini ialah kecenderungan-kecenderungan duniawi dan berbagai penyakit jiwa. Mukasyafah ini juga merupakan sasaran terakhir dari para pencari kebenaran dan mereka yang berkeinginan meletakkan keyakinannya dalam di atas kepastian. Kepastian yang mutlak tentang sebuah kebenaran hanya mungkin ada pada tingkat ini.[11]

Kecerdasan spiritual menurut Al-Gazali dapat diperoleh melalui wahyu dan atau ilham. Wahyu merupakan “kata-kata” yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya dengan maksud supaya disampaikan kepada orang lain sebagai petunjuk_nya. Sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” (mukasyafah) kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Al-Gazali tidak membatasi ilham itu hanya pada wali tetapi diperuntukkan kepada siapapun juga yang diperkenankan oleh Allah.

Menurut Al-Gazali, tidak ada perantara antara manusia dan pencipta-Nya. Ilham diserupakan dengan cahaya yang jatuh di atas hati yang murni dan sejati, bersih, dan lembut. Dari sini Al-Gazali tidak setuju ilham disebut atau diterjemahkan dengan intuisi. Ilham berada di wilayah supra conciousnes sedangkan intuisi hanya merupakan sub-conciousnes. Allah Swt sewaktu-waktu dapat saja mengangkat tabir yang membatasi Dirinya dengan makhluk-Nya. Ilmu yang diperoleh secara langsung dari Allah Swt, itulah yang disebut ‘Ilm al-Ladunny oleh Al-Gazali.[12]

Orang yang tidak dapat mengakses langsung ilmu pengetahuan dari-Nya tidak akan menjadi pandai, karena kepandaian itu dari Allah Swt. Al-Gazali mengukuhkan pendapatnya dengan mengutip Q.S. Al-Baqarah/2:269:

Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).

Al-Gazali mengakui adanya hierarki kecerdasan dan hierarki ini sesuai dengan tingkatan substansi manusia. Namun Al-Gazali hierarki ini disederhanakan menjadi dua bagian, yaitu:

1.Kecerdasan intelektual yang ditentukan oleh akan (al-‘aql)

2.Kecerdasan Spiritual yang diistilahkan dengan kecerdasan ruh±ni, yang ditetapkan dan ditentukan oleh pengalaman sufistik.[13]

Ibn Arabi menganalisis lebih mikro lagi tentang kecerdasan spiritual dengan dihubungkannya kepada tiga sifat ilmu pengetahuan ini, yaitu yaitu pengetahuan kudus (‘ilm al-ladunni), ilmu pengetahuan misteri-misteri (‘ilm al-asr±r) dan ilmu pengetahuan tentang gaib (‘ilm al-gaib).[14] Ketiga jenis ilmu pengetahuan ini tidak dapat diakses oleh kecerdasan intelektual. Tentang kecerdasan intelektual, Ibn ‘Arabi cenderung mengikuti pendapat Al-Hallaj yang menyatakan bahwa intelektualitas manusia tidak mampu memahami realitas-realitas. Hanya dengan kecerdasan spirituallah yang mampu memahami ketiga sifat ilmu pengetahuan tersebut di atas.

Al-Gazali dan Ibn ‘Arabi mempunyai kedekatan pendapat di sekitar aksessibilitas kecerdasan spiritual. Menurut Al-Gazali, jika seseorang mampu mensinergikan berbagai kemampuan dan kecerdasan yang ada pada diri manusia, maka yang bersangkutan dapat “membaca” alam semesta. Kemampuan membaca alam semesta di sini merupakan anak tangga menuju pengetahuan (ma’rifah) tentang pencipta-Nya. Karena alam semesta menurut Al-Gazali merupaka “tulisan” Allah Swt.

Menurut Al-Gazali, hampir seluruh manusia pada dasarnya dilengkapi dengan kemampuan untuk mencapai tingkat kenabian dalam mengetahui kebenaran, antara lain dengan kemampuan membaca alam semesta tadi. Fenomena “kenabian” bukanlah sesuatu yang supernatural, yang tidak memberi peluang bagi manusia dengan sifat-sifatnya untuk “menerimanya”. Dengan pemberian kemampuan dan berbagai kecerdasan kepada manusia, maka “kenabian” menjadi fenomena alami. Keajaiban yang menyertai para Rasul sebelum Nabi Muhammad bukanlah aspek integral dari “kenabian”, tetapi hanyalah alat untuk pelengkap alam mempercepat umat percaya dan meyakini risalah para Rasul itu.

[1]Lips, Hilary M., Sex & Gender an: Introduction, California, London, Toronto: Mayfield Publishing Company, 1993, h. 40.

[2]Lihat misalnya dalam Fakhr al-R±z³, al-Tafs³r al-Kab³r, Juz 8 Libanon: D±r Ihy±’ wa al-Tur±ts al-‘Arabi, 1990., h.265. Lihat pula Sa’³d Hawwa, al-Us±s f³ al-Tafs³r, Juz 7, Mesir: D±r al-Sal±m, 1999, h. 3628-3629.

[3]Lihat Sandy MacGregor, Piece of Mind, Mengaktifkan Kekuatan Pikiran Bawah Sadar untuk Mencapai Tujuan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, h.41.

[4]Kata emosi berasal dari akar kata movere (Latin), berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e” untuk memberi arti bergerak menjauh”. Secara literal emosi diartikan setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.(Lihat Daniel Goleman, Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional Mengapa Lebih Penting daripada IQ), Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 2000, h. 7.) Emosi dalam arti ini dalam bahasa arab dapat disepadankan dengan kata qalb, berasal dari akar kata qalaba yang secara harfiah berarti “merubah, membalikkan, menjauhkan”.

[5]Goleman, op, cit., h. 15.
[6]Ibid, h. 411-422.
[7]Goleman, Op. cit., h. 412.
[8]S.H.Nasr, Ideals and Realities of Islam, London: George Allen & Unwil Ltd, 1975, h. 18-19.
[9]Danah Zohar & Ian Marshal, Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence, London: Bloomsbury, 2000, h.31-32.
[10]Kisah ini disadur dari Kitab Tafsir al-Thabari tentang kisa perjalanan spiritual seorang anak hamba yang bernama Ali AS.
[11]Al-Gazali dalam Muqaddimah Ihy± ‘Ul­m al-D³n.
[12]Al-Gazali, Al-Ris±lah al-Ladunniyyah, (Kumpulan Karangan pendek yang dibukukan), h, 29-30.
[13]Lihat Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Gazali, Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB Bandung, 1981, h, 70-71.
[14]Ibn ‘Arabi, Futuh±t al-Makkiyyah, Juz IV, h. 394. Bandingkan dengan Fush­sh al-Hikam, h. 369.

0 komentar:

Posting Komentar