Ini kisah tentang keikhlasan tingkat tinggi, tentang
loyalitas penuh, tentang kemuliaan diri,
tentang rahasia dahsyatnya doa, cerita
tentang manusia akhirat yang jauh dari hiruk pikuk duniawi. Kisahnya dituturkan sendiri oleh Syekh Muhammad Munkadir, ulama kharismatik Madinah
pada masanya.
Sudah hampir setahun, penduduk Madinah diterpa kekeringan yang panjang. Penduduk kota Nabi itu
keluar ke jalan-jalan melakukan shalat istisqa' untuk meminta hujan, namun hujan tak kunjung menyiram bumi.
Di Masjid Nabi, berdiri tegak sebuah tiang yang
biasa dipakai Syekh Munkadir
untuk bersandar seusai shalat sembari melepas penatnya beribadah.
Malam harinya, seperti biasa, ulama kharismatik
kota Madinah itu shalat isya di
masjid. Ia mendatangi tiang kesukaannya itu lalu bersandar santai padanya.
Di keheningan malam, tiba-tiba lelaki sederhana
berkulit hitam dan berpakaian jubah
datang mendekat. Ia maju ke arah tiang yang ada di hadapan Syekh dan melakukan shalat dua rakaat di situ. Khusyu sekali.
Usai shalat, tangannya tengadah ke langit. Air
matanya tumpah ruah. Lirih sekali
ketika pintanya memecah sunyi, "Ya, Rabbi! Penduduk
tanah suci Nabi-Mu saat ini keluar
memohon hujan, tetapi hujan tak kunjung
mengguyur. Hamba bersumpah kepada
Engkau, turunkanlah hujan untuk kami sekarang
juga!"
Melihat apa yang dilakukan lelaki berkulit hitam
itu, Syekh bergumam, "Ini
gila. Siapa hamba sederhana ini yang memiliki permintaan besar!" Akan
tetapi, sebelum orang itu menurunkan
kembali kedua tangannya dari tengadah, suara guntur tiba-tiba menggelegar memekakkan gendang telinga dan hujan segera turun dengan derasnya.
Setelah merasakan hujan turun, laki-laki
sederhana itu segera memanjatkan puji
kepada Allah, "Wahai, Rabb! Aku bukanlah siapa-siapa dan apalah aku ini sehingga doaku dikabulkan
sebegitu cepat? Akan tetapi, Engkaulah Pemberi kemuliaan
itu."
Tidak lama setelah itu, lelaki berkulit hitam
itu beranjak dari duduknya dan mencampakkan
kainnya lalu terus melakukan shalat
hingga fajar menyapa.
Saat shalat subuh tiba, orang-orang berdatangan
ke masj id dari segala penjuru kota
Madinah. Usai imam membaca salam tanda shalat selesai, lelaki itu buru-buru keluar dan Syekh Munkadir mengikutinya dari belakangnya, tetapi ia
tidak mengetahui ke mana lelaki
itu pergi.
Malam
kedua, Syekh shalat isya di Masjid Nabi seperti biasanya. Ia datang ke tempat tiang walau
sekadar duduk bersandar
padanya. Lelaki sederhana berkulit hitam itu datang kembali dan menggelar kain
selendangnya lalu shalat dan terus larut dalam zikir-zikir indahnya hingga ketika merasa
waktu fajar kian mendekat, ia
shalat witir untuk menutup rangkaian shalat
tahajudnya.
Waktu subuh pun tiba. Orang-orang masuk masj id
dan lelaki berkulit hitam itu
masuk mendekati imam bersamaan dengan
Syekh Munkadir.
Usai shalat subuh, ia segera beranjak pergi dan
Syekh Munkadir mengikutinya lagi
dari belakang hingga sampai di sebuah
gubuk di sudut kota Madinah. Setelah memastikan, Syekh lalu kembali ke masj id hingga waktu dhuha mulai tiba.
Saat senja mulai menyingsing seperti
menyunggingkan senyum hangat, Syekh Munkadir datang kembali ke
gubuk itu untuk mengetahui siapa gerangan
lelaki itu. Ternyata lelaki itu
sedang menjahit kulit, bekerja sebagai tukang sepatu. Kedatangan Syekh Munkadir yang telah ia kenal
disambut hangat dan ia mengira bahwa Syekh akan memesan untuk dibuatkan sepatu.
Setelah duduk, Syekh Munkadir membuka
pembicaraan, "Wahai, sahabat.
Bukankah engkau orang yang aku lihat sejak kita bertemu pada malam pertama di
masj id Nabi?"
Pertanyaan ini membuatnya tiba-tiba marah sejadijadinya. Rona ketidaksukaan begitu jelas di
wajahnya. Dengan wajah sendu, ia balik
bertanya dengan suara keras, "Wahai, Syekh! Apa urusanmu dengan semua ini?!" Syekh Munkadir kemudian berpikir untuk segera pergi dari gubuk
itu.
Malam ketiga, Syekh Munkadir shalat isya di masj id seperti biasanya, tetapi kali ini ia tidak lagi
melihat lelaki sederhana itu. Ia
datang ke tempat tiang untuk duduk bersandar
dan menanti barangkali lelaki yang dikenalnya
sebagai tukang sepatu itu akan datang
seperti biasa.
Pagi-pagi buta, karena penasaran, Syekh Munkadir mendatangi lagi rumah si lelaki tadi dan
ternyata pintunya terbuka lebar. Ketika
Syekh bertanya kepada tetangganya, ia menjawab, "Setelah kedatangan Syekh
Munkadir kemarin, ia tampak marah sekali.
Betul-betul marah. Ia mengemas semua peralatan dan barang-barangnya lalu dibawa keluar. Entah ke mana perginya."
Syekh Munkadir mencarinya dan terus mencari ke
semua sudut rumah di Madinah,
tetapi ia tak juga menemukannya, bahkan hingga hari ini, lelaki sederhana itu tidak diketahui keberadaannya.
(Diangkat dan diadaptasi dari kitab Shifatu shafwah, Ibnul Jauzi)
Manusia akhirat ini mengajari kita
makna ikhlas yang
tidak bertepi, sebuah nilai yang hari-hari ini begitu sulit
ditemukan. Barang langka. Saat ini, semua orang ingin
dikenal, tidak raja kebaikannya, tapi juga keburukan‑
keburukannya. Laki-laki hitam ini betul-betul mulia
di mata Allah. la sadar, ia bukan siapa-siapa. la
menginginkan kebaikan-kebaikannya hanya dia dan
Allah yang mengetahui. Untuk apa mengemis puji
manusia, tetapi jika di mata Allah kau tak memiliki nilai.
Sungguh, ikhlasmu tidak bertepi.
tidak bertepi, sebuah nilai yang hari-hari ini begitu sulit
ditemukan. Barang langka. Saat ini, semua orang ingin
dikenal, tidak raja kebaikannya, tapi juga keburukan‑
keburukannya. Laki-laki hitam ini betul-betul mulia
di mata Allah. la sadar, ia bukan siapa-siapa. la
menginginkan kebaikan-kebaikannya hanya dia dan
Allah yang mengetahui. Untuk apa mengemis puji
manusia, tetapi jika di mata Allah kau tak memiliki nilai.
Sungguh, ikhlasmu tidak bertepi.
0 komentar:
Posting Komentar