PENGERTIAN JIWA DAN ROH
Jiwa, dalam bahasa Arab disebut Nafs, dan dalam bahasa Yunani disebut Psyche yang diterjemahkan dengan jiwa atau Soul dalam bahasa Inggris. Sedangkan Roh biasanya diterjemahkan dengan Nyawa atau Spirit.
Jadi, sebenarnya, sejak manusia mengalami proses kejadian Sampai sempurna menjadi janin dan dilahirkan ke atas dunia, telah ada unsur lain yang bukan fisik material yang ikut menyusun semua peristiwa penciptaan itu. Justru adanya unsur non-fisik inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya sebagai satu kelebihan. Kelebihan ini akhirnya tampak nyata pada norma-norma nafsiyah (psikologis) dengan segala kegiatannya.
Jadi, apa jiwa itu?
Plato (477-347 sM) berpendapat bahwa jiwa itu adalah sesuatu yang immaterial, abstrak dan sudah ada lebih dahulu di alam praserisoris. Kemudian is bersarang di tubuh manusia dan mengambil lokasi di kepala (logition, pikiran), di dada (thumeticon, kehendak) dan di perut (abdomen, perasaan). Pendapat ini kemudian dikenal dengan istilah Trichotomi. Menurut Plato, ketiga unsur inilah yang mendasari seluruh aktivitas manusia. Dengan kata lain, seluruh kegiatan hidup kejiwaan manusia mempunyai dasar yang kuat pada ketiga unsur tersebut. Sejajar dengan trichotominya, Plato mengatakan bahwa manusia akan memiliki sifat Bijaksana (jika pikiran menguasai dirinya) dan Ksatria atau Berani (jika kehendak menguasai dirinya) serta Kesederhanaan (jika perasaannya tunduk pada akalnya). Maka apabila ketiga sifat itu menguasai manusia,berarti ia telah memiliki kesadaran sebagai manusia. Sadar artinya mengerti secara aktif. Dengan kesadaran inilah, manusia selalu cenderung untuk menentukan sendiri bentuk-bentuk aktivitas hidupnya dan tingkah-laku yang diwujudkannya, maupun finalita dalam kehidupannya.
Aristoteles (384-322 sM) berpendapat lain dari gurunya. Menurut dia jiwa itu adalah daya hidup bagi makhluk hidup. Jadi, di mana ada hidup di situlah ada jiwa. Daya kehendak dan mengenal merupakan dua fungsi jiwa manusia. Kemudian pendapatnya ini dikenal dengan istilah dichotomi. Selanjutnya dia menjelaskan, bahwa jiwa sebagai sesuatu yang abstrak (dunia idea) halus menempati atau berada dalam tubuh (dunia materi) menjadi daya hidup yang nyata, (realita). Karena realisasi dari jiwa ini memang merupakan tujuan untuk membentuk sesuatu (tingkah laku) menurut hakikatnya yang sudah ditentukan terlebih dahulu untuk mencapai suatu tujuan, maka ia menjadi. Menjadi di sini berarti kemungkinan untuk berwujud. Artinya, semua potensi yang ada akan menampak nyata (aktual). Jiwa itulah potensi yang ada dalam tubuh sehingga mengaktualisasi dalam bentuk tingkah-laku. Sebelum tingkah laku itu terwujud, ia masih merupakan kemungkinan (potensial) dan setelah terbentuk atau terjadi maka ia disebut Hule. Setiap kejadian (hule) pasti ada yang menjadikan (Murphe) dengan demikian, dalam diri manusia terdapat unsur Hule-Morpheisme.
Rene Descartes (1596-1656 M) berpendapat bahwa jiwa merupakan Zat Rohaniah, dan tubuh adalah Zat Jasmaniah. Dari zat rohaniah inilah munculnya tingkah laku manusia yang disebut tingkah laku rasional. Sedangkan dari zat jasmaniah itu muncul tingkah laku mekanis. Antara dua zat kejiwaan dan zat ketubuhan itu berada dalam perbedaan yang terpisah, tetapi keduanya dihubungkan dengan adanya kelenjar Pinealis, sehingga rangsang-rangsang ketubuhan dapat diteruskan melalui kelenjar ini ke aspek kejiwaan dan sebaliknya. Selanjutnya dia menyatakan bahwa jiwa manusia berpokok pada kesadaran atau akal pikirannya, sedangkan tubuhnya tunduk kepada hukum-hukum alamiah dan terikat kepada nafsu-nafsunya. Paham ini dikenal dengan Dualisme.
Selain Descartes ada sarjana yang berpendapat bahwu untura ketubuhan dan kejiwaan (jiwa dan raga) itu tidak dapat bedakan karena keduanya merupakan kesatuan secara interaksi, dan tidak saling terpisah, tetapi merupakan satu hubungan kausalitas.
Pendapat ini kemudian dikenal dengan teoriMonisme.
Kemudian, apa perbedaan jiwa dengan roh?
Diambil rata, membicarakan masalah roh itu memang kurung menarik perhatian, kecuali beberapa orang tertentu yang memperhatikan dirinya serta ingin memahami fungsi roh pada tubuhnya. Yang mempersoalkan roh pertama kali adalah kaum Yahudi, yang dijawab oleh wahyu:"Katakanlah Muhammad, bahwa roh itu menjadi urusan Tuhanku saja." (QS Al Isra': 85).
Mengapa demikian?
Memang, sampai sekarang masalah roh merupakan ruang kosong dalam analisis dunia sains. Hakikat wujudnya tidak terjaring oleh kemampuan penalaran rasional manusia, apalagi hanya dengan pengamatan mata telanjang. Berpijak pada ayat di atas, para mufassir mencoba memberikan sedikit pengertian tentang roh ini, antara lain:
Ibnu Qayyim al Jauzy menyatakan pendapatnya, bahwa, roh merupakan jisim nurani yang tinggi, hidup bergerak menembusi anggota-anggota tubuh dan menjalar di dalam diri manusia. Kalau tubuh sehat dan menerima bekas-bekas dari jisim halus ini, maka ia akan tetap kekal berjalin dengan tubuh dan menghasilkan beberapa daya atau kemampuan rohaniah. Sebaliknya kalau tubuh itu rusak, maka ia melepaskan diri dan berpisah menuju alam arwah. Akan tetapi ia tidak musnah. Yang mati itu adalah nafs. Jadi, perbedaan antara nafs dan roh adalah perbedaan dalam sifatnya.
Imam Al Gazaly berpendapat bahwa roh itu mempunyai dua pengertian; Roh Jasmaniah dan Roh Rohaniah. Roh jasmaniah ialah zat halus yang berpusat di ruangan hati (jantung)serta menjalar pada semua urat nadi (pembuluh darah) tersebut,- ke seluruh tubuh. Karenanya manusia bisa bergerak (hidup) dan dapat merasakan berbagai perasaan serta bisa berpikir, atau mempunyai kegiatan-kegiatan hidup kejiwaan. Sedangkan roh rohaniah adalah bagian dari yang ghoib. Dengan roh ini manusia dapat mengenal cirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya serta menyadari keberadaan orang lain, (berkepribadian, ber-Ketuhanan dan berperikemanusiaan), serta bertanggung jawab atas segala tingkah-lakunya. Roh inilah yang memegang komando dalam seluruh hidup dan kehidupannya, karena roh ini yang menerima perintah dari Allah dan larangan-Nya. Tetapi ia bukan jisim, bukan nafs, dan bukan sesuatu yang melekat pada lainnya. Ia merupakan substansi yang wujud, berdiri sendiri, diciptakan, oleh karenanya hanya menjadi urusan Penciptanya saja.
Prof. Dr. Syekh Mahmoud Syaltout mengatakan bahwa Roh itu memang sesuatu yang ghoib dan belum dibukakan oleh Allah bagi manusia. Akan tetapi pintu penyelidikan tentang hal-hal yang ghoib masih terbuka karena tidak ada nash agama yang m'enutup kemungkinannya. Selanjutnya dia menegaskan bahwa Roh merupakan sesuatu kekuatan ghoib yang menyebabkan -kehidupan pada makhluk hidup. Roh (faktor X) inilah yang berfungsi sebagai penegak nafs. Dalam Alkuran' (Quran) ada 19 ayat tentang roh dengan konteks pembicaraan yang berbeda-beda. Para ulama pun tidak sampai dengan tegas menyatakan pendapatnya apakah roh itu sama dengan nafs, sesuku dengan tubuh, suatu sifat, substansi atau atom yang terlepas samasekali dengan lainnya. Sedangkan ayat yang menyatakan bahwa setelah penciptaan tubuh fisik ini sempurna kemudian Allah meniupkan roh-Nya (Al Hijr: 29), menurut pendapat yang lebih bersifat psikis adalah, terwujudnya pengaruh roh itu pada jasad sehingga jasad kasar ini berfungsi dan melakukan perannya, baik yang berhubungan dengan aspek kejiwaan maupun aspek ketubuhan.
Mempersoalkan tentang sesuatu yang sifatnya ghaib seperti jiwa itu terasa agak ganjil bagi sementara orang, karena, orang
hanya akan mengira-ngirakan kepada sesuatu yang tidak dapat dipegang, diraba, dilihat, ditimbang, diukur bahkan abstrak secara total. Dugaan itu ada benarnya, tetapi, banyak salahnya. Jiwa sebagai sesuatu yang abstrak, bersifat subjektif, bebas dan pribadi, dapat menimbulkan kesadaran, tapi memerlukan hubungan dengan fisik (tubuh). Karenanya ia dapat dipelajari bagaimananya dan tidak dapat diketahui apanya, kebalikan dari wujud Tuhan yang dapat dipelajari apa (wujud)-nya tetapi tidak bisa diketahui bagaimananya. Berbicara tentang manusia dari kejadiannya, tidak dapat terlepas dari pada hukum-hukum penciptaan keseluruhannya. Setiap insan yang beriman sependapat bahwa manusia merupakan makhluk yang diciptakan, artinya bukan ada dengan sendirinya. Akan tetapi belum semua manusia sependapat bahwa penciptaan atas manusia itu meliputi jasmani-rohani, lahir-batin, jiwa-raganya, atau keseluruhannya secara utuh. Berbeda dengan logika semu yang ditarik-tarik oleh pola pemikiran insani dalam menetapkan adanya Allah sebagai Maha Pencipta, maka Al Quran ,memakai dalil-dalil aksioma (patokan-patokan yang berdasar kenyataan) dengan tekanan-tekanan yang jelas, sederhana dan mudah dicerna oleh segala tingkat pemikiran mulai dari pemikiran kampungan sampai ke pemikiran filosofis. Orang yang berpikir sederhana pun dapat mengetahui dalil-dalil tersebut dalam garis-garis yang pokok karena kesederhanaan, kejelasan dan keaksiomaan yang terkandung di dalam dalil-dalil itu sendiri. Adapun bagi orangorang alim dan cerdik pandai, maka dalil-dalil tersebut dapat diperdalam secara terinci, yang secara keseluruhan dapat membentuk suatu rumusan pikiran yang tersusun, sehingga pengingkaran terhadapnya sama saja dengan mengingkari terhadap 2 x 2 = 4. Tentang kejadian manusia jasmani dan rohani kita dihadapkan kepada kenyataan adanya aktualita Bina Cipta Ilahi yang bersumber pada dalil aksiomatis ini:
a. Dalil Penciptaan (ikhtira')
Tuhan adalah Pencipta Tunggal atas adanya segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tidak (lahir-batin). Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al Mu'min: 62
b. Dalil Pembinaan (al 'inayah)
Tuhan bukan hanya pencipta kemudian setelah jadi lalu dibiarkan begitu saja berjalan tanpa hukum dan aturan-aturan tertentu. Balk makhluk hidup ataupun benda mati, diikat oleh hukum dan aturan tertentu yang dicipta sebagai proses. Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al A'la: 2-3.
c. Dalil Keteraturan (an nidham )
Semua ciptaan Tuhan berada dalam proses (tidak statis), serta berada dalam kadar sebab akibat tertentu. Segala benda itu punya tabiat sendiri-sendiri, berproses secara tetap dan berulang. Kalau keteraturan ini tidak ada, manusia tidak mungkin punya jiwa, dan sebagainya. Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al Furgan: 2.
Adapun penjabaran dan pengembangan proses tentang adanya hukum dan aturan itu, diserahkan kepada kemampuan akal intelek manusia untuk menerjuni selidik sedalam-dalamnya, karena Alkuran memang bukan buku pelajaran yang memuat deretan dalil-dalil fisika, kimia atau biologi, dan bukan pula buku ensiklopedi, juga bukan tujuan Alkuran untuk menuntun manusia kepada ilmu-ilmu pengetahuan melalui pengajaran. Ayat-ayat yang disusun di dalamnya lebih bersifat memberi isyarat akan adanya rangkaian ilmiah yang terdapat di dalam penciptaan alam semesta dan seisinya dan pada diri manusia sendiri, yang sebagian telah berhasil diungkap oleh kemampuan dan potensi psikis manusia, walaupun masih lebih banyak yang belum tergali.
"Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alkuran (Quran) itu adalah benar." (Fushshilat: 53)
Menanggapi ayat seperti ini, orang yang berpikiran seder-liana pun mudah menangkap bahwa apa yang terdapat pada penciptaan alam semesta dan diri manusia itu sendiri merupakan tanda-tanda adanya Kehendak- Kekuasaan- Kebijaksanaan-ilmuKetelitian- Keseimbangan-Kerapian- Kesengajaan- yang semuanya itu menguatkan adanya Penciptaan yang Dahsyat. Untuk mengarahkan dan memelihara pemahaman semacam inilah kepada manusia diberikan kesadaran yang berpusat pada adanya Jiwa (akal pikiran, kehendak-perasaan) yang dengannya pula manusia dilimpahi kepercayaan serta dibebani kewajiban sehingga hubungan manusia dengan Tuhannya menimbulkan tingkah laku bermotivasi, yang dilatarbelakangi nilai-nilai ibadah.
Tentang mengapa Allah memilih manusia sebagai pelaksana dari amanat-Nya itu adalah karena manusia mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. (Baca: Surat Al Isra': 70). Dan kelebihan itu tampak pada adanya normanorma nafsaniyah (psikologis) dengan segala potensi yang mendukungnya, sehingga manusia yang sadar sepenuh jiwanya, akan mengarahkan seluruh kegiatan hidup kejiwaannya itu menuju taqwa.
"Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafsin wahidah dan menciptakan dari padanya jodohnya, dan mengembangbiakkan dari kedua lakilaki dan wanita yang banyak." (An Nisa': 1)
H. Hassan dan Al Jawahir at Thanthawy, menafsirkan Nafsin Wahidah sama dengan Nabi Adam. Jodohnya ialah Hawa, diciptakan dari Adam (padanya). Demikian pula tafsir Alkuran Departemen Agama Republik Indonesia yang diperkuat dengap hadits riwayat Bukhari Muslim. Akan tetapi dinyatakan pula penafsiran lain yang berpendapat bahwa nafsin-wahidah adalah unsur yang serupa, yakni tanah, yang daripadanya Adam diciptakan.
Maulawi Muhammad Ali (Ahmadiyah Lahore) dalam Quran Suci terjemahan Jawa mengulas, pertama, menurut Abu Ishaq bahwa di kalangan orang Arab perkataan nafs dipakai dua macam arti, yaitu seperti Roh atau Jiwa. Kedua, berarti: Kesatuan sesuatu, berserta sarinya, yang dari padanya juga terjadinya jodoh. Jadi, nafs di sini berarti jenis yang berarti sari (sari yang sejenis: an Nahl, 72).
H. Zainuddin Hamidy cs dalam tafsir Qurannya berpendapat, bahwa nafs berarti jenis atau bangsa manusia.
Syekh M. Abduh dalam tafsir Al Manar menerangkan bahwa nafs wahidah itu bukan Adam, buktinya ada ayat wa batstsa min humaa rijalan katsiran wa nisaa an. Kata Sayid Rasyid Ridla, kalau ditafsirkan dengan Adam, tidak ada alasan dari nash ayat melainkan hanya menerima dari masalah bahwa Adam adalah ayah sekalian manusia.
Prof. Hasby .Ash Shiddiqi dalam tafsir An Nur hanya mengatakan diri yang satu yaitu insan yang dari padanya asal keturunan yang lain.
Al Fatkhur Razy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kejadian Adam dan Hawa tidak didapat suatu dalil yang qath'i (pas), bagaimananya dan apanya, sebab Alkuran hanya menerangkan secara global saja. Tentang penafsiran selanjutnya tidak sampai kepada asal kejadian itu.
Terlepas dari bermacam-macamnya penafsiran, kami memilih
kepada apa yang berkaitan dengan pembahasan buku ini, yakni mod kejadian yang sejenis. yang daripadanya manusia pertama beserta jodohnya diciptakan, kemudian dari keduanya ini keturunan-keturunan yang sejenis pula (jenis insan).
Dengan demikian maka isyarat yang dapat ditangkap dari padanya dapat mengantarkan kepada pengenalan dan pengertian
kita dalam bentuk struktural dan fungsional. Sesuatu yang bisa dijelaskan dari isyarat itu dan yang telah dikembangkan bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, bahwa di dalam kerahasiaan nafsin-wahidah ini, dia bersifat Hereditair, Terus-menerus berketurunan pada kesam aan jenisnya, dalam hal Ini jenis insan. (Al A'raf: 189). Tanpa kenyataan ini, maka pertemuan antara sperma dengan ovum hanyalah semata-mata pertemuan antara materi dengan materi. Di sinilah sebenarnya kita mengarahkan sekuat-kuat dugaan. bahwa misteri yang Lerkandung di dalam plasma yang mendasari sel-sel manusia fisik adalah berhubungan erat dengan kerahasiaan nafsin-wahiah ini. Teka-teki ini diperkuat lagi oleh dugaan tentang makna ayat lalu ditetapkan dan ditumpangkan [tempat ketetapan (Sulbi) dan tempat penitipan (Rahim)- Al An'am: 98, Ath Thariq: 4-10]. Dan dugaan semakin bertambah kuat, bahwa apa yang disebut Nuthfah, (sperma, air mani) itu sudah merupakan kesatuan senafas antara nafsin-wahidah dengan materi, yang dengan demikian manusia adalah tersusun dari NafsaniJasmani yang senafas, atau merupakan psiko-fisik yang membentuk pribadi sebagai totalitas. Tentang manusia fisik dari kenyataan materialnya (mani) semua kita dan ilmu kedokteran sudah memberikan pernyataan, bahwa materi yang terpancar dari sulbi laki-laki itu secara anatomis terdiri dari beberapa unsur tertentu. Akan tetapi kalau ditelusuri lebih mendalam lagi, ternyata ada kegiatan-kegiatan interaksi yang sukar diikuti dimana Alkuran memberi tekanan: Maka hendaklah manusia memperhatikan
(QS AthThariq: 5).
dan: Sudahkah kamu perhatikan apa yang kamu pancarkan itu. Al Waqi'ah: 58).
Selanjutnya, sebagaimana kita maklumi bersama bahwa pertumbuhan fisik manusia berlangsung 'secara bertahap menuju kesempurnaannya, (Al Mu'minun: 12-14) dan demikian pula dengan perkembangan nafsin yang penuh kerahasiaan itu mendapatkan bagian dengan caranya sendiri dan tersembunyi untuk menuju kesempurnaannya (As Syams: 7-10).
Demikianlah pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai makhluk psiko-fisik dalam prosesnya yang kemudian menjadi pokok pembahasan psikologi. Setiap nafsani memiliki potensi, kemampuan, kegiatan, derivat (keadaan yang menurun dari satu sumber, berasal) baik ke dalam (in abstrakto) maupun ke luar (in manifesto) yang direalisasikan oleh kegiatan-kegiatan jasmaniah (in konkreto) yang kesemuanya itu, baik yang bersifat intensional atau konsepsional maupun dalam bentuk realisasi, sumbernya adalah satu, yaitu Nafs (jiwa) dalam kedudukannya sebagal individu atau pribadi, yang ditegakkan (dinafasi) oleh kekuatan metafisik yang kemudian disebut dengan Roh (spirit, nyawa) sehingga daripada kesatuan dwi-unsur ini muncullah tingkah-laku manusia yang sekarang diakui sebagai objek dari psikologi. Jadi, psikologi sekarang adalah Ilmu Nafs suatu cabang ilmu yang mempelajari tingkah laku dengan latar belakang nafs (jiwa).
PSIKOLOGI
Apakah psikologi dan apa objeknya? Jawaban pertanyaan di atas sebenarnya terdapat di dalam diri manusia sendiri, sebab bila dua orang bercakap-cakap tentang dirinya, tentang orang lain, dengan tidak disadari sebetulnya mereka telah berpsikologi dalam praktik. Hampir seluruh isi dari pembicaraan kita sehari-hari adalah masalah-masalah psikologi. Sebab, dimana ada manusia di situlah psikologi digunakan. Akan tetapi psikologi yang digunakan itu bersifat intuitif, belum scientific. Baru berdasarkan pengalaman dan belum berdasarkan ilmiah. Misalnya kita secara kebetulan memperoleh kesan-kesan umum mengenai tingkah-laku dan sifat-sifat kepribadian .seseorang, kita sudah berpsikologi intuitif. Akan tetapi untuk disebut berpsikologi ilmiah, kita harus bisa mengumpulkan keterangan mengenai kepribadian orang itu dilengkapi dengan metode-metode yang lebih objektif kemudian disusun secara sistematis
rasional.
Jadi, apa psikologi itu sebenarnya? Ilmu adalah dinamis. Karenanya setiap ilmu mempunyai ciri khas, yaitu terus-menerus mendefinisikan diri. Definisi lama diganti dengan batasan haru sesuai dengan kemajuan zaman dan perubahan jalan pikiran manusia, terutama ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Teryata psikologi juga mengikuti jejak itu.
Psikologi (Psyche dan Logos) diterjemahkan dengan Ilmu Jiwa yang artinya sama yaitu Ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Hanya istilah psikologi merupakah istilah scientific, tetapi Ilmu Jiwa lebih bersifat umum, dan istilah sehari-hari yang sudah banyak dikenal orang. Kemudian, dalam sejarah perkembangannya, arti psikologi menjadi Ilmu yang mempelajari Tingkah laku-manusia. Ini disebabkan oleh jiwa yang mengandung anti yang abstrak itu sukar dipelajari secara objektif. Di samping itu keadaan jiwa seseorang melatarbelakangi timbulnya hampir seluruh tingkah lakunya.
Sekalipun sekarang ini Para sarjana sudah sepakat bahwa, objek dari psikologi adalah tingkah laku, tetapi mengenai tingkah laku yang bagaimana yang dipelajari psikologi, masih terus menjadi bahan penyelidikan dan pembahasan dari ilmu jiwa. Para ahli yang menitikberatkan pembahasannya pada tingkah laku manusia dewasa, normal dan berbudaya, dengan sifat-sifat dan ciri-ciri yang berlaku pada setiap individu manusia umumnya, maka hal ini menjadi pokok bahasan PSIKOLOGI UMUM.
Apabila penyelidikan tingkah laku individu itu dilihat secara lebih mendalam dan dari jarak yang lebih dekat dihubungkan dengan situasinya sehari-hari dan lingkungan serta pengalaman-pengalaman pribadinya, maka sekarang sudah menjadi wewenang PSIKOLOGI KEPRIBADIAN. Dengan psikologi ini kita alcan mengenal watak, karakter, tipe dan kedirian masing-masing individu.
Di sisi lain, kepribadian seseorang tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dan berkembang secara periodik mulai sejak pranatal hingga tua, dan periode masing-masing menunjukkan tingkah laku sendiri-sendiri, sehingga ada tingkah laku anakanak, remaja, dewasa dan orang tua. Pertumbuhan dan perkembangan ini muncul dari dua kekuatan yang mempengaruhi, yaitu kekuatan dari dalam diri dan dari luar diri manusia, atau kekuatan dasar dan ajar. Persoalan ini, menjadi bahasan PSIKOLOGI PERKEMBANGAN.
Segi utama yang juga menjadi pokok bahasan ilmu jiwa modern ialah bahwa manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial. Manusia disebut manusia kalau ia sudah berhubungan dengan manusia lain. Bahkan sejak ia dilahirkan, ia membutuhkan
bergaul dengan orang-orang di sekitarnya, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Dan sejak itulah sebenarnya manusia sudah menerima kontak sosial, kemudian secara lambat laun ia mengalami perkembangan yang bukan hanya segi biologisnya tetapi juga secara psikis.. Bahkan menurut para ahli, apabila manusia tidak ada hubungan psikis antara ia dengan ibunya sejak bayi, perkembangan dan pertumbuhannya akan mengalami
hambatan untuk sekian lamanya. Kemudian, setelah ia mulai bergaul dengan kawan-kawan sebayanya dan mengadakan interaksi dengan lingkungannya, ia tidak lagi hanya menerima kontak sosial melainkan juga dapat memberikan kontak sosial. Dari situ pula ia mulai mengerti bahwa di dalam interaksi sosial itu, di dalam kelompoknya itu terdapat norma-norma yang hams dipatuhi dan memahami pula bahwa dirinya ikut serta membentuk norma-norma dan peraturan tertentu, sehinga ia
pun menyadari keberadaannya dan bahwa dirinya mempunyai
peranan, maka ia hams beradaptasi dan bersosialisasi
dengan cara mengebelakangkan keinginan dan kepentingan
Indlividualnya demi kelompoknya. Masalah ini menjadi pokok
bahasan PSIKOLOGI SOSIAL.
Bahwa manusia merupakan makhluk yang ber-Ketuhanan sebenarnya tidak usah dibuktikan lagi, seperti halnya kehidupan
psikis lainnya yang telah diselidiki dan menjadi pokok
bahasan psikologi itu.
Sebab bagi setiap manusia pada umumnya telah disadari
dan sulit sekali untuk menolak atau mengingkari adanya kepercayaan kepada Tuhan.
Memang, Tuhan itu sulit dibuktikan sem empiris eksperimental oleh mereka yang belum ber-Ketuhanan.
Ini tidak berarti bahwa Tuhan itu tidak ada. Dan bagi mereka yang belum sadar akan segi kemanusiaannya sebagai makhluk yang diciptakan, sukar sekali untuk menerima atau mengakui adanya Tuhan, jadi, berarti sulit sekali baginya untuk menerima hakikat dirinya dari segi kemanusiaannya itu. Kaum
sebenarnya tanpa disadari sudah ber-Ketuhanan walaupun dalam bentuk pertuhanan kepada benda-benda, orang-orang atau gagasan dan ideologi. Sebab hakikatnya mereka adalah orang-orang yang belum menyadari kemanusiaannya. Jadi, dengan begitu secara psikis dapatlah diakui pula bahwa segi manumit* sebagai makhluk ber-Ketuhanan itu dapat dengan sadar atau tidak sadar digerakkan oleh suatu objek yang bukan merupakan Tuhan Yang Mahaesa. Jadi, Tuhan menurut kaum atheis adalah apa yang dipercayai, apa yang mereka akui sebagai Tuhan. kenyataan ini, kesadaran ber-Ketuhanan - selain mempertuhabkab
selain Tuhan Yang Mahaesa — pengalaman beragama
yang merupakan bagian yang hadir dalarn pikiran dan perasaan itu harus dibahas dalam PSIKOLOGI AGAMA.
Lebih jauh psikologi ini mengemukakan hasil penelitiannya tentang
pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang dan bagaimana cara seseorang berpikir, berkehendak dan berperasaan tidak dapat dipisahkan dari kebertuhanannya, sebab kepercayaan kepada Tuhan itu masukke dalam konstruksi kepribadiannya atau mekanisme naluriah yang bekerja dalam dirinya.
"Barang siapa mengenal nafs-nya maka is akan kenal kepada Tuhannya."
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa beberapa aspek kejiwaan ikut menyertai kehidupan beragama. Artinya, bagaimana Pikiran, Perasaan, Kehendak (atau jiwa) seseorang secara individual terhadap Tuhannya (agamanya) dapat dilihat dari pengaruhnya pada tingkah lakunya dan sikap hidupnya. Untuk menyeru, mengajak, memanggil jiwa manusia ini, atau meluruskan, mengubah atau mengarahkan tingkah lakunya dan sikap hidupnya ke jalan Allah, maka tugas ini adalah wewenang Ilmu Dakwah.