Bab mengenai pernikahan selalu menarik dan penting untuk dibahas. Bukan
hanya karena soal romantisme-nya. Sebab pernikahan bukan hanya tentang
bulan madu. Malah, nyatanya, lebih banyak bulan racun daripada bulan
madu. Persoalannya, apakah kita punya penawarnya?
Lebih dari itu, pernikahan–menggunakan istilah
Ustadz Anis Matta, adalah peristiwa peradaban. Keputusan pernikahan
adalah salah satu keputusan paling penting dalam hidup, jauh lebih
penting dari keputusan memilih sekolah terbaik, kampus terbaik, tempat
kerja terbaik, dan seterusnya. Karena, sekali lagi, pernikahan adalah
peristiwa peradaban. Bukan hanya soal mengubah tatanan demografi
masyarakat, tetapi pernikahan membuka pintu untuk
generasi baru, yang bisa jadi, melalui mereka tugas kekhalifahan manusia terlaksana.
Sayangnya, ketika membicarakan pernikahan dan persiapannya, biasanya
kita akan berfokus pada dua hal: harta dan mental. Padahal ada satu hal
yang sangat penting, yang menjadi kunci kesuksesan
pernikahan, yaitu
ilmu. Bukan hanya ilmu mengenai tata cara mengkhitbah atau wawasan
ke-Islamandasar, tetapi juga, yang ditekankan dalam bahasan
sederhana ini, ilmu merekayasa dan memelihara sebuah generasi terbaik.
Sumber Daya Manusia (SDM) terbaik sesungguhnya bukan diciptakan di
kampus-kampus, sekolah-sekolah, atau institusi lain yang kita sebut
“pendidikan”. SDM terbaik lahir dari keluarga. Didikan keluarga adalah
pondasi bagi semua pendidikan lain di luar keluarga. Sebuah riset yang
dilakukan oleh beberapa departemen di FISIP UI bersama KPK menemukan
bahwa para pelaku koruptor (yang telah terbukti bersalah dan ditahan)
memiliki masalah sewaktu dibesarkan dalam keluarganya dulu.
Mengenai SDM terbaik, Rasulullah SAW. pernah bersabda:
“Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku(sahabat), kemudian
orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang
yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)
Salah satu ciri SDM terbaik, jika mengacu pada generasi Rasulullah SAW., adalah usia karakter yang
jauh lebih matang melampaui usia fisiknya. Dan semua ini dihasilkan dari keluarga yang berkualitas.
Sehingga, berbicara visi pernikahan bukanlah sekadar tentang menjadi
suami/istri, tetapi juga menjadi ayah/ibu, dan juga tentang mencari
ayah/ibu terbaik bagi generasi yang kita lahirkan kelak. Tentang
pendidikan anak, kita sering mendengar pepatah Arab, “Ibu adalah
madrasah bagi anaknya.”
Pepatah ini benar, namun sebenarnya masih memiliki lanjutan, yaitu “.. dan ayah adalah kepala
sekolahnya.” Maka, pendidikan anak bukan hanya soal ibu dan anak,
tetapi bahkan ayahlah yang paling bertanggung jawab atas
visi,perencanaan, pelaksanaan juga evaluasi pendidikannya.
Islam sendiri mengangkat tinggi peran ayah dalam pendidikan anak. Dalam
Al-Quran, secara keseluruhan ada 17 dialog tentang pengasuhan, yang
tersebar diantara 9 surat. Terdapat 14 dialog antara ayah dan anak, 2
dialog antara ibu dan anak, dan hanya 1 dialog antara guru dan murid.
Cukup mengejutkan bukan? Di saat hari ini masyarakat kita menganggap
amanah membesarkan anak
“dibebankan” kepada ibu saja, sehingga
menyebabkan banyak perempuan menunda-nunda pernikahan dengan alasan
ingin mengejar cita-cita, karir, dan lain sebagainya sebelum ia harus
berhenti untuk mengurusi anak-anaknya. Paradigma ini juga menimbulkan
kecemburuan bagi kelompok perempuan tertentu terhadap kaum laki-laki,
sehingga mempertanyakan kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki.
Terlepas dari perdebatan mengenai hal tersebut,poin pentingnya adalah
perlunya pelurusan paradigma tanggung jawab mendidik anak. Prinsip
pendidikan ayah dan ibu adalah saling mengisi, tidak berarti bergantung
pada salah satu saja. Namun peran ayah sangat ditinggikan. Seorang bijak
pernah
berkata, “Jika ada anak yang durhaka, perhatikan ayahnya.”
Bahkan, tanggung jawab pendidikan anak pada (calon) ayah sudah ada sebelum anak tersebut
tercipta dalam kandungan, yaitu, sebagaimana Umar bin Khatthab pernah
berkata, “Hak anak atas orang tuanya adalah dipilihkan ibu yang
shalihah.” sementara dua hak anak lainnya terpenuhi manakala anak
tersebut telah lahir, “lalu mengajarkan Al-Qur’an, dan memilihkan nama
yang baik.”
Ketika anak berada dalam kandungan, suami memiliki
kewajiban untuk menyenangkan istrinya. Seorang ibu yang hamil pada
dasarnya hanya memiliki tiga macam aktivitas, sebagaimana yang Allah
kisahkan dalam surah Maryam ketika Maryam mengandung, “
Maka makanlah dan minumlah dan senangkanlah hatimu …” (QS. Maryam: 26).
Ada tradisi Islam yang semakin hilang, yaitu tradisi dimana masyarakat
ikut menjaga, memudahkan, membantu, dan membahagiakan muslimah yang
sedang mengandung, dan ketika kandungannya lahir disambut dengan suka
cita sebagai “bayi ummat ini.”
Kita sepatutnya curiga, jangan-jangan di rahim seorang muslimah, terlebih di rahim istri kita, ada
ulama dan mujaddid (pembaharu) yang Allah titipkan, yang kelak akan
membawa ummat muslim berdiri tegak memimpin dunia dan mensejahterakan
alam.
* *
lanjutan pembahasan ini ditulis oleh Ihsan Baihaqi:
Usia 20 thn-an, kita membentuk keluarga, menikah, punya anak, mendampingi masa balita hingga sekolah dasar. Oh Lucunya mereka….
Usia 30 thn-an, kita menemukan anak-anak ternyata sudah remaja, jatuh
cinta, mulai banyak keluar rumah. Oh, Cantik dan gantengnya mereka….
Usia 40-an, mereka menggapai cita, kuliah, makin jauh dr orangtua,
berasrama, kost, atau di rumah tapi mereka makin banyak keluar rumah.
Allah, jaga mereka…
Usia 50-an. Kita menemukan mereka semakin jauh dari kita, ingin
mandiri, ingin membentuk keluarga sendiri. Lalu mereka hadirkan bayi
lagi di pangkuan tangan kita yg mulai keriput.
Lalu kita
berkata: “Ya Allah…. Betapa singkatnya hidup ini. Jangan jadikan kami
termasuk orang yg sia-siakan kehidupan. Lindungi keluargaku, anak
keturunanku dari siksa dunia dan akhirat.”
Kalau begitu…
Usia hidup kita tak berulang kan?
Kalau begitu usia anak kita pun tak berulang kan? Kalau begitu sangat singkat kita mendampingi anak-anak kita kan?
Kalau begitu jangan pernah ridlo
jika anak kita bisa mengenal huruf-huruf Al-Quran, bisa membacanya,
bisa mempelajarinya hasil dari tangan orang lain dari outsourcing orang
lain
Kalau begitu, cemburu rasanya
jika anak kita hanya mau belajar sama guru di sekolahnya tapi tak mau sama kita otangtuanya
Kalau begitu, harus tdk nyamanlah hati kita jika anak kita disuruh ngerjain PR dengan guru lesnya
bukan dgn kita orangtuanya
Kalau begitu, harus “sakit” hatilah kita jika anak kita menceritakan lawan jenis yang disukainya
pada teman sebangkunya
tapi tidak kepada kita orangtuanya
mengapakah mereka begitu percaya pada temannya, tapi tidak pada kita orangtuanya?
Kalau begitu, saat tubuh kita terbujur kaku jangan marah ya jika anak
kita me-outsourcing-kan sholat jenazah hanya pada ustadz dan ustadzah
sedangkan mereka sendiri tak bisa bacaannya
Jika tidak, ayolah beri manfaat waktu kita sedikit saja untuk anak kita
Bukan sekadar uang jajanan atau Mainan semata Itu semua penting
Tapi kesungguhan kita jadi orangtua
akan memberikan dampak berbeda untuk anak-anak kita.
Oleh :(Ustadz Bendri Jaisyurrahman)
Alumni Gathering PPSDMS Nurul Fikri, Sabtu 25 Mei 2013
Dinotulensikan oleh @yasirmukhtar, dengan beberapa penyesuaian.