Assalamu'alaikum ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  Nurisfm Network
Naskah tentang Ilmu Agama Islam dalam media ini diambil dan disusun dari berbagai sumber. Tidak tercantumnya sumber dan penulis, bermaksud untuk penyajian ilmu yang 'netral' semata. Mudah-mudahan menjadikan amal baik bagi penulisnya dan mendatangkan kebaikan bagi sesama. Kelemahan dan kekurangan serta segala yang kurang berkenan dihati mohon dimaafkan. Apabila ada pihak yang keberatan atau merasa dirugikan dimohonkan menghubungi Admin (Abu Azka). Dan untuk naskah-naskah ilmu pengetahuan umum, Insya Allah akan dicantumkan sumber dan atau penulisnya. Mohon Maaf sebelumnya, sekian dan terima kasih ^-^
Tampilkan postingan dengan label Dakwah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dakwah. Tampilkan semua postingan

Dakwah Dengan Bijak

Written By Rudianto on Senin, 04 Desember 2017 | 22.25

Segala puja dan puji hanya milik Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan pengampunan-Nya. Kami berlindung kepada-Nya dari segala kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada yang mampu menyesatkannya: dan barangsiapa disesatkan oleh-Nya, tidak ada yang mampu memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah yang tiada sekutu bagi-Nya; dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya. Firman Allah: 

”Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa; dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan memeluk islam.” (Ali Imran: 102)

”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri. dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain. dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (An Nisaa': 1) 

”Hai orang-orang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab: 70-71) 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala  tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Nya yang Esa dan tidak menyekutukan-Nya. Firman Allah: 

”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembah-Ku.” (Adz Dzaariyat: 56) 

Karena hukum-hukum ibadah tidak dapat dimengerti secara rinci dan jelas, maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala  mengutus para rasul dan menurunkan kepada mereka kitab-kitab untuk menjelaskan kepada makhlukmakhluk-Nya tentang maksud dan tujuan penciptaannya; juga agar melaksanakan ibadah serta kewajiban-kewajiban lainnya dengan dalil dan tuntunan yang sempurna. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala  mengakhiri pengiriman para rasul dengan nabi dan rasul penutup, yang termulia, imam para nabi dan rasul, yakni Muhammad Shalallahu ’alaihi wasalam .. Beliau menyampaikan risalah, menunaikan amanah, membimbing, menasihati umat dengan penuh keikhlasan dan kejujuran, serta berjihad di jalan Allah dengan sepenuhpenuh jihad. Firman Allah: 

”Katakanlah, 'lnilah jalan (agamaku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah. dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik… (Yusuf: 108) 

Inilah jalan yang beliau tempuh dan sunnah yang beliau laksana-kan: mengajak ke jalan Allah dengan logika dan keyakinan yang disertai dalil, bukti, serta syar'i.

Dakwah Dengan Hikmah 

1. Al Qur' anul Karim telah menjelaskan metode, sistem, dan jalan berdakwah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala  Yang paling utama ialah metode hikmah (kebijakan) sebagaimana perintah Allah kepada Rasa), Nya: 

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik; dan bantahlah mereka dengan cara yang baik ....” (An Nahl: 125) 

Hikmah (bisa berarti) perkataan tegas dan benar yang dapat membedakan yang hak dan batil. 

2. Barangsiapa mengikuti sejarah Nabi Shalallahu ’alaihi wasalam ., ia akan mendapatkan kepastian tentang pelaksanaan segala urusan dengan hikmah, khususnya dalam berdakwah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala . Dengan kata lain, karena hikmahlah, manusia (pada zaman Rasul) berbondong-bondong memeluk Islam. Dari Anas r a. disebutkan, Abu Dzar r. a. mengatakan bahwa 

Nabi Shalallahu ’alaihi wasalam bersabda.

”Terjadi celah pada atap rumahku ketika aku di Mekah. Kemudian Jibril turun. lalu dadaku dibedahnya serta dicucinya dengan air zam-zam. Lalu dibawanya baskom dari emas berisi hikmah dan iman; dituangkannya ke dalam dadaku dan ditutupnya kembali. Lalu digandengnya tanganku dan aku dibawanya bermikraj.” (HR Bukhari dan Muslim) 

Peristiwa tersebut membuktikan bahwa hikmah adalah salah satu dari urusan asasi dalam metode dakwah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala . Dada Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasalam . diisi dengan iman dan hikmah yang diletakkan serta dicuci dalam baskom dari emas dengan air zamzam, yakni air paling suci di muka bumi. Semua itu terjadi di Mekah, yakni kota paling suci di dunia. ' Firman Allah: 

"Allah menganugerahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendakl. Dan barangsiapa yang dianugerahi'al hikmah itu. ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al Baqarah: 269) 

“Kebijakan dakwah Rasulullah kemudian diikuti oleh para sahabat beliau, sehingga pada masa kekuasaan mereka (semoga Allah meridhai mereka) berkembanglah dengan pesat Dinul Islam serta masuklah umat manusia yang tidak terbilang jumlahnya ke dalam Islam dengan suka rela.

Begitulah keadaan umat Islam pada tiga abad pertama menempuh jalan ilmu dan iman sehingga Allah memenangkan mereka serta merendahkan kaum kafir dan musyrik. 

3. Ada sementara orang yang berpendapat bahwa hikmah hanyalah terbatas pada tutur kata yang lemah lembut, toleransi, ramah, dan penuh maaf serta sabar. Pendapat ini tentu saja keliru. Hikmah bisa berarti: 

a. bersikap lemah lembut, ramah, toleran, penuh maaf, dan sabar terhadap orang-orang cerdik pandai yang mau menerima hak dan kebenaran serta tidak menentangnya; 

b. bimbingan ajaran yang baik yang meliputi ajakan untuk mengikuti kebenaran dan peringatan terhadap kebatilan; 

c. perdebatan dengan cara yang baik, yakni dengan menggunakan akhlak yang tinggi, ramah, lemah lembut, menggunakan dalil aql dan naql, menolak kebatilan dengan jalan singkat, dan memberi uraian secara tepat. Berdebat di sini bukan bertujuan mencari kemenangan atau keunggulan pribadi, tetapi untuk mengutarakan yang hak dan memberi petunjuk terutama kepada orang orang yang menentang. 

d. penggunaan kekuatan dengan ucapan yang keras atau den pukulan dan hukuman, tindakan hukum yang dijatuhkan oleh para penguasa dan para penegak hukum atau berjihad dijalan Allah dengan kekuatan senjata dibawah pimpinan pasukan waliul amri (penguasa, pemerintah) dengan memperhatikan persyaratan yang ditunjuk oleh Al Qur'an dan As Sunnah. Hikmah dalam arti penggunaan kekuatan ini dijatuhkan kepada para pembangkang, pemberontak, penyimpang yang zhalim, yang melampaui batas, dan yang tetap dalam perbuatannya, tanpa mau insaf atau sadar atas segala kejahatannya. 

4. Hikmah (kebijakan) menjadikan seorang da'i (kepada Allah) melakukan keseimbangan. Ia tidak mengabaikan kepentingan dan kebahagiaan hidup di dunia pada saat manusia (penerima dakwah) membutuhkan kesungguhan dan kerja. Ia tidak mengajak umat Islam untuk menjadi rahib (tidak kawin seperti biarawan), sementara mereka membutuhkan kesiapsiagaan untuk membela aqidah dan tanah air. Ia juga tidak memulai dakwahnya dengan mengajak giat berdagang atau berusaha mencari rizki sementara mereka membutuhkan pemahaman tentang wudhu dan shalat. 

5. Hikmah menjadikan seorang da'i mengamati atau memahami situasi dan kondisi masyarakat penerima dakwah, baik dari segi akhlak, stabilitas, karakter, sarana yang mereka miliki, ataupun batas kemampuan berpikir mereka. Seorang da'i tidak membebani mereka dengan sesuatu (materi dakwah) yang sekiranya memberatkan mereka atau memaksa mereka dengan ketidaksiapan mental mereka. Dalam berdialog atau berkomunikasi dengan mereka, ia menggunakan metode atau cara-cara yang memikat yang sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Ia menyeru mereka dengan ilmu dan bukan dengan cara membodohkan mereka. Ia memulai dakwahnya dengan sesuatu yang dianggap paling penting kemudian yang kurang penting; ia mengajar kaum awam dengan ucapan dan ungkapan yang dapat dipahami mereka, sesuai dengan daya intelektualitas mereka. 

Hikmah menjadikan seorang da'i melihat dengan pandangan islami dan imani. Itulah jalan satu-satunya menuju sukses. jelasnya, segala ucapan, perbuatan, perencanaan, dan pemikiran seorang da'i senantiasa bersumber dari hikmah. Sasaran dan timing dakwahnya selalu tepat. tidak berlebihan atau kekurangan. Seorang da'i bijak selalu gigih mencari manfaat dan kemaslahatan serta senantiasa menempuh jarak terdekat untuk mencapai tujuan. 

Demikianlah, pengkajian hikmah dalam berdakwah -terlebih pengkajian yang jelas, mudah, dan tuntas -merupakan sesuatu yang Penting dan dibutuhkan para da'i. Keberadaannya dapat dimanfaat kan sebagai sarana untuk mempermudah atau memperlancar proses dakwah dalam upaya menjelaskan pengertian Islam kepada umat manusia. 

Semua itu tentu saja membutuhkan pendalaman mengenai pemahaman situasi dan kondisi masyarakat, baik segi aqidah, kejiwaan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, atau hal-hal lain yang dapat dianggap kendala dalam berdakwah. 

Pokok pembahasan seperti itu belum pernah disentuh oleh para peneliti atau dikaji secara khusus, luas, dan menyeluruh yang mencakup seluruh aspek (mengenai dakwah). 

Bertolak dari semua itu dan atas dorongan hasrat saya untuk melayani kebutuhan umat, saya mencoba menyusun risalah ini. Setelah memohon pertolongan Allah, melalui shalat istikharah, serta musyawarah (dengan teman-,teman) saya memutuskan untuk meme buat judul risalah ini dengan Al Hikmah Fii Dakwah Ilallah (dalam edisi Indonesia menjadi "Dakwah Islam Dakwah Bijak"). Saya memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala  semoga mengilhami saya dengan petunjuk-Nya, melindungi saya dari kejahatan nafsu saya, dan memberikan taufik serta petunjuk kebenaran untuk saya dan seluruh umat Islam. 

22.25 | 0 komentar

MANUSIA DAN TINGKAH LAKUNYA

Written By Rudianto on Minggu, 23 Maret 2014 | 18.06

MANUSIA SEBAGAI OBJEK PSIKOLOGI

1. Manusia sebagai objek psikologi adalah makhluk jasmani rohani yang utuh. Meskipun keduanya bisa dipisahkan di dalam pengertian, namun sangat sulit dimengerti hakikat kesatuannya. Untuk membuktikan adanya psyche (jiwa) sebagai sesuatu yang nyata, telah disepakati tidak mungkin.

Jiwa dan tubuh bagaikan dua sesuatu yang digabung menjadi satu keseluruhan, tetapi merupakan bentuk kesatuan yang penuh misteri dan merupakan satu keseluruhan yang tetap unik dari sejak bertemunya sperma laki-laki dengan ovum wanita di dalarn rahim.

Ketidakmengertian kita itu, sama dengan ketidaktahuan kita tentang menyatunya tebu dengan manisnya, garam dengan asinnya. Dengan demikian yang bisa kita simpulkan dalam hipotesis bahwa eksistensi manusia ialah kesatuan bulat psiko-fisik. Jiwa sebagai kekuatan abstrak yang menimbulkan kesadaran, bersifat subjektif, bebas tapi memerlukan hubungan dengan tubuh. Roh adalah kehadiran (presensi) sentuhan getaran Ilahiyah (impuls) yang bersifat metafisik dan menimbulkan efek yang serba-subjektif. Ia merupakan utusan istimewa dari Tuhan bagi makhluk manusia saja. Akan tetapi is bukan sesuatu milik manusia menurut sewajarnya, juga bukan sesuatu yang bersifat instrumentalistis. Energi-energi yang timbul dari padanya merupakan konsep-konsep meta-empiris.

2. Manusia, adalah makhluk yang diciptakan dari dua suku cadang yang merupakan satu nisbah (relasi dan relevansi) dari segi fungsinya. Jadi, tubuh itu dijiwai, dan jiwa itu dirohi kemudian menyatakan diri dalam bentuk tingkah laku, Roh inilah yang hanya menjadi urusan Tuhanku karena roh ini merupakan jalur penghubung antara manusia dengan Tuhannya (vertikal) dan saluran yang menghubungkan manusia dengan sesamanya (horizontal) dan antara manusia dengan alam lingkungannya (diagonal). Karenanya manusia dipilih menjadi kholifah-Nya di atas bumi ini dan diperintah agar senantiasa menyucikan (mempersucikan) jiwanya.

3. Manusia mempunyai berbagai gejala psikis karena ia adalah makhluk kesatuan psiko-fisik secara utuh. Sejak dulu sampai kini telah disepakati bahwa gejala-gejala jiwa manusia yang menyatakan diri dalam bentuk tingkah laku itu, tumbuh dan muncul atas dasar dua kekuatan, yaitu kekuatan yang tumbuh dari dalam diri manusia sendiri yang dibawanya sejak lahir berwujud benih-benih atau potensi-potensi naluriah dan kemampuan-kemampuan dasariah. Sedangkan yang kedua diakui muncul karena adanya rangsangan-rangsangan dan pengaruh-pengaruh dan luar dirinya, faktor lingkungannya dan faktor pendidikannya. Faktor yang manakah yang paling dominan, paling kuat memberi pengaruh dalam din manusia, faktor dasarkah atau faktor ajar? Aliran Nativisme mengatakan faktor dasar. Faham Empirisme berpendapat faktor luar paling berpengaruh dan lebih kuat dominasinya. Kemudian Teori Konvergensi menyatakan bahwa kedua-duanya berpadu dan bersatu, saling mempengaruhi secara dominan. Tentang kekuatan mana yang paling dominan bergantung pada faktor manakah dalam tingkah laku seseorang di saat itu yang lebih banyak mewarnai dan mempengaruhi. Ternyata memang, baik faktor dasar maupun faktor ajar senantiasa ada dan terns berlangsung pada din manusia setiap saat. Untuk menentukan mana yang lebih kuat pengaruhnya sangat sulit dibedakan karena sama-sama subjektifnya. Dan satu hal yang jelas, bahwa manusia itu dicipta di atas satu fithrah ciptaan Allah yang dalam perkembangan selanjutnya kemudian dikenal dengan istilah gejala-gejala jiwa. Gejala-gejala jiwa itu membentuk tingkah laku. Tingkah laku manusia ini akan tetap lurus selama ia masih berada dalam sikap hidup yang sesuai dengan fitrah itu. Fithrah inilah Dienul Islam (peraturan sempurna) dari Allah untuk manusia, melalui Nabi Muhammad saw. yang dituangkan dalam Alkuran dan dijabarkan dalam Al Hadits, dan disampaikan melalui dakwah.
18.06 | 0 komentar

Rahmatan Lil Alamin

Written By Rudianto on Kamis, 24 Januari 2013 | 10.15

Sangat disayangkan masih ada lagi suara sebagian kecil masyarakat yang mempertanyakan sumber hukum mengapa kita memperingati Maulid Nabi. Alasannya bid’ah, pemborosan atau meniru adat agama lain, dsb. (Astagfirullah).

Peringatan Maulidur Rasul SAW bukan bid’ah, bukan pemborosan dan bukan meniru adat agama lain yang negatif.

Yang disebut Bid’ah ialah sesuatu yang tidak ada dasarnya dari Alquran dan Sunnah serta bertentangan kedua sumber tersebut. Ternyata ketika Rasul ditanya sahabatnya, mengapa Rasul selalu puasa hari Senin ?.Dijawab, karena saya lahir hari Senin, maka saya syukuri hari kelahiran saya dengan puasa (HR.Muslim). Berdasarkan hadis tersebut, maka Maulid itu mempunyai dasar yang kuat. Kalau Rasul memperingati sekali sepekan dengan puasa, dan kita memperingati sekali setahun dengan memberi makan sesama muslim, hal itu hukum dan tujuannya sama. Yaitu berbuat baik dan bersyukur serta tidak bertentangan Alquran. Yang berbeda hanyalah kaifiatnya. Sama saja kalau Rasul pergi haji dengan berkendaraan unta dan kita dari Indonesia dengan pesawat, hukum dan tujuannya sama, dan tidak boleh disebut naik haji dengan pesawat itu Bid’ah. Demikian meniru budaya orang lain yang tidak bertentangan Alquran, sah saja. Seperti makan roti setiap pagi untuk kesehatan seperti orang Eropa, boleh saja ditiru.

Tapi penulis sendiri setuju jika kita mencari metode yang lebih efesien dan bermanfaat.

Memperingati Maulid Rasul di Indonesia bervariasi, ada yang menyambutnya dengan cara tradisional seperti pembacaan zikir dan Barzanji, ada pula dengan cara yang modern seperti ceramah. Dan ada juga yang menggabung dua-duanya.

Terlepas adanya perbedaan bentuk, semuanya itu dilaksanakan, dalam rangka “hubburrasul” (mencintai Rasul), dan “rebuild” (pembinaan iman dan akhlak). Dalam rangkaian itulah, demi menyegarkan kembali maka bagaimana makna Muhammad rahmat semesta alam menurut Alquran ?

Dalam Alquran :Dalam Alquran terdapat ll2 ayat tentang rahmat, misalnya “Imaman wa rahmah”, “mawaddah wa rahmah”, “syifa’un wa rahmah “ yang berarti kepemimpinan dan belas kasih, kasih sayang, penawar dan pembawa nikmat. Sedang kalimat yang menyebut “Rahmatan lil’alamin”, hanya ditemukan satu ayat, yakni “WAMA ARSALNAKA ILLA RAHMATAN LIL’ALAMIN “ (Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam) (QS. Al-anbiya’ :lO7).

Jika kita membuka kitab-kitab tafsir, baik tafsir yang konvensional atau yang kontemporer, maka garis besar pengertian ayat tersebut, dapat dibagi tiga penafsiran:

(l) Yang memperoleh rahmat dari Nabi Muhammad SAW “ Lil mu’minina khasshah” ( hanyalah yang mukimin saja), karena merekalah yang meyakini adanya Allah SWT dan meyakini kerasulan Muhammad SAW, sehingga berbuat amal saleh dengan ikhlas yang diperintahkan rasul, maka wajarlah jika mereka akan memperoleh dua kebahagiaan, di dunia dan diakhirat kelak .( Tafsir Al-Qurthubi dan Aysar Tafasir 3 : 448). Mengapa penafsiran Al-Qurtubiy, kelihatan ekstrim ?. Tak lain karena tafsirnya ditulis ketika Islam dihancurkan di Cordova (Qurtubi-Spanyol) oleh orang-orang non muslim, jadi memang tafsir itu sesuai kondisi zamannya.

(2) Yang memperoleh rahmat dari Nabi Muhammad SAW “ Lil-mu’minin wal-kafirin”, (orang mukmin dan orang kafir), yakni bagi kaum mukmin akan memperoleh dua kebahagiaan yakni dunia dan akhirat, sedang bagi kaum kafir hanyalah di dunia saja berupa siksaannya ditunda serta tidak akan memperoleh siksaan dunia yang sangat kejam seperti umat yang sebelumnya, misalnya lantaran kedurhakaannya kepada Tuhan, akhirnya mukanya disunglap menjadi monyet atau babi. Menurut mufasir mengapa kaum kafir tidak memperoleh kasih sayang di akhirat, karena menolak kerasulan dan dakwah Muhammad SAW serta akidahnya tentang Tuhan meleset, yaitu menganggap Tuhan bersyarikat. (Majma’ al-Bayan dan al-Mizan l4:333)

(3) Yang memperoleh rahmat dari Nabi Muhammad, “Lil-‘aqili walighairil ‘aqil (Yang berakal dan yang tidak berakal), yakni termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan. Rahmat nabi kepada hewan sangat jelas yaitu melarang menunggangi hewan dengan lari setan, dilarang menyembelih hewan dengan pisau yang tumpul serta banyak hadis menceriterakan, kaum wanita akan memperoleh siksaan di akhirat, lantaran suka memenjarakan kucing dan tidak memberinya makan sampai mati (HR.Muslim). Demikian rahmat rasul terhadap tumbuh-tumbuhan dengan adanya larangan menebang pohon-pohonan tempat berlindung serta dianjurkannya untuk melestarikan lingkungan hidup.( Safwat Tafasir 2 :277 dan Ibnu Katsir 3 :2Ol).

Dengan garis besar ketiga penafsiran tersebut, maka jelaslah bahwa rasul SAW adalah pembawa rahmat lil’alamin (semesta alam).

Bagaimana pula dalam Sunnah rasul :Dalam sunnah rasul, baik dalam uraian atau praktek, ternyata banyak sekali mutiara kemilau yang dapat disimak, misalnya tentang sabdanya: “Kasihanilah orang yang ada dibumi, niscaya anda akan dikasihi yang ada di langit” (HR.Muslim). Kemudian kasih sayangnya dalam praktek, baik ketika masih berdomisili di Mekah atau Medinah, diantaranya:

I. Terhadap Non Muslim :(l) Ketika berdakwah di Mekah selama l3 tahun, tantangan yang datang kepadanya silih berganti : dicaci maki, diintimidasi, diblokade ekonomi, disiksa pisik dan mentalnya bersama pengikutnya, bahkan diancam dengan pembunuhan, akhirnya terpaksa hijrah ke Thaif, 7O Km dari kota Makkah. Namun, apa yang dialami di Thaif, lebih kejam dari yang dialami di Mekah. Ia diusir, dihina, dicap orang gila, bahkan dilempari batu oleh sekelompok remaja dan pemuda akhirnya “Khudimat biddima’i na’lah”(bercucuran darah sampat ke sepatunya). Saat itu Nabi tinggalkan Thaif bersama seorang pembantunya dalam keadaan merangkak dan mandi darah. Ketika tiba disuatu pohon tempat berlindung sambil mengeringkan keringat dan tetesan darah, lalu menadahkan tangannya ke atas dan berkata: “Ya Allah, ya Tuhanku, akan ke manalagi kubawa diriku ,apakah tetap menghadapi musuh atau akan kembali ke Mekah yang juga menghadapi musuh yang sedang menanti ?. Semuanya itu aku tidak hiraukan selama Engkau tiada benci padaku”.

Dalam kondisi kritis seperti itu tiba-tiba muncul seorang malaikat penjaga gunung menawarkan dirinya, siap membantu dengan cara akan memerintahkan kepada gunung yang dalam kekuasaannya untuk menghancurkan mereka. Tapi Rasul menolak, bahkan mendoakan “ Allahummahdi qawmi fainnahum laya’lamun” (Ya Allah ampunilah umatku, karena mereka berbuat seperti itu lantaran tidak tahu, bahwa kedatangan saya akan menguntungkan mereka sendiri, jika mentaati risalahku).

Jika kita bandingkan dengan rasul lain, yang juga punya kasih sayang, misalnya Nabi Nuh, ternyata nabi itu masih mempunyai batas kesabaran, misalnya karena saking jengkelnya berdakwah ratusan tahun, yang hanya terbilang jari yang mengikutinya, bahkan anak dan isterinya ikut menantangnya, maka ia berdoa “Rabbi la tazar ‘alal ardhi minal kafirin dayyara” (Ya Allah janganlah Engkau sisakan seorangpun kafir di muka bumi ini ! ). Maka tenggelamlah orang-orang kafir pada zamannya, termasuk isteri dan anaknya.

(2) Ketika berada di Medinah dan bertetangga dengan seorang Yahudi yang memusuhinya. Si Yahudi dengan rutin setiap hari mengganggu dan mengotori pintu rumahnya dengan kotoran manusia yang menjijikkan. Namun, suatu waktu si Yahudi alpa, lalu Nabi menyiarahinya, mungkin karena sakit. Ketika Nabi menyiarahinya, si Yahudi kaget dan bertanya kepada Nabi,”apa anda tahu jika saya yang mengotori pintumu setiap pagi ?’. “Ya”, jawab Nabi, kemudian balik bertanya, “ kenapa anda tidak marah ?”. Agama saya mengajarkan, “Wa ahsin ila man asaa ilaika” (Berbuat baiklah kamu kepada orang yang berbuat jahat kepadamu), kata Nabi.

Perlakuan Nabi yang sangat kasih dan bijak terhadap dirinya, menyebabkan si Yahudi terheran-heran, lalu dengan penuh kesadaran atas rahmat Nabi, akhirnya menyatakan diri masuk Islam dengan mengucapkan syahadat “ Asyhadu annaka rasulullah” (Aku bersaksi bahwas Engkau (Muhammad) betul-betul rasul Allah).Itulah kedua contoh rahmat Nabi terhadap non muslim dan masih banyak lagi.

II.Bagaimana pula prilaku Nabi terhadap sesama muslim ?Terhadap sesama muslim kasih sayang itu berlipat ganda. Hal ini diabadikan Alquran : (artinya) : “ Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengannya, tegas terhadap kaum kafir (tapi) sangat kasih sayang terhadap sesamanya “(Asyiddau ‘alal kuffar ruhamau bainahum) (QS.Al-Fath 29).

Menurut mufasir yang dimaksud “Asyiddau ‘alal kuffar “ yaitu terhadap orang kafir sangat tegas terutama masalah akidah dan ibadah, misalnya ketika kafir Quraisy menawarkan lebih baik saling toleransi berganti-ganti menyembah Tuhan Allah dan Tuhan Lata (Tuhan mereka), maka Tuhan sendiri yang mengajarkan kepada Nabi agar menjawab mereka dengan ayat : ”Lakum dinukum waliya din” (Pakailah agamamu dan saya pakai juga agamaku). Artinya masalah akidah dan ibadah, Islam tidak mengenal toleransi, tapi masalah muamalah dan pergaulan justru dianjurkan.

.Adapun yang dimaksud “ruhamau bainahum” (Kasih sayang terhadap sesamanya) ialah jika bertemu sangatlah intim misalnya bersalaman, berjabatan tangan dan berangkulan serta selalu merasakan ”Kaljasadil Wahid” (seperti tubuh yang satu, jika salah satu anggota badan sakit, maka seluruh badan harus merasakan).

Akhirnya makna Rahmat Lil’alamin, bahwa Rasul SAW bukan hanya pembawa rahmat bagi manusia muslim dan non muslim, tapi termasuk hewan,tumbuh-tumbuhan serta lingkungan alam. Tegas masalah akidah, toleransi masalah muamalah. Semoga umatnya meniru. 
 
H. Mochtar Husein
10.15 | 0 komentar

Refleksi Kepemimpinan Islam

Refleksi yaitu gerakan, pantulan dan kemauan sebagai jawaban suatu hal atau kegiatan yang datang dari luar kemauan atau kesadaran. Merefleksikan, artinya mencerminkan kata-kata seseorang, melalui isi hatinya. Misalnya seseorang yang menginjak bara api, dengan gerakan yang spontanitas, sangat cepat akan menarik kakinya dari bara api, agar tidak hangus, disertai ucapan atau teriakan.Yaitu jika kakinya masih normal dan tidak lumpuh.

Refleksi Islam artinya, sekalipun misalnya kakinya sudah tidak normal, tetapi tetap berperanan selama di hati masih ada getaran iman, terutama dari seorang pemimpin sebagai jawaban, terhadap solusi permasalan yang dihadapi rakyat kecil, atau kalau akar akidah terancam. Semisal tindakan Rasul atau Khalifah atau Ulama Tabi’in dalam menghadapi problem yang dihadapi masyarakat.

Ketika Nabi Muhammad SAW diancam oleh Da’tsur, dengan pedang terhunus yang hendak membunuhnya, Da’tsur berkata : “ Siapa yang menghalangi diri saya, kalau saya ayunkan pedang ini ke lehermu, Muhammad ? “ Nabi menjawab : “ Allahu Akbar !, ( hanya Allah Yang Maha Besar ). Dengan teriakan takbir Nabi, pedang terjatuh, lalu dengan refleksi yang lebih cepat, pedang berada di tangan Nabi. Kemudian balik bertanya, “ Siapa yang menghalangi saya, kalau saya ayunkan pedang ini ke lehermu Da’tsur ? “. Dengan mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat memohon ampunan, Da’tsur berkata : “ Hanya Engkau sendiri ya Muhammad. Saya mohon ampunanmu, maafkanlah saya “. Permohonan maaf Da’tsur, diterima Nabi, yang menghasilkan refleksi baru, yaitu Da’tsur memeluk Islam.

Ketika Khalifah Umar mendatangi rakyatnya yang miskin di luar kota,. Ia tertegung melihat seorang perempuan tua menenangkan anaknya yang sedang menangis karena lapar di waktu malam di gubuknya, Sang Khalifah bertanya kepada ibu tua, “ Mengapa Ibu masak terlalu lama ?”. Dengan malu-malu tersipu, ibu tua menjawab, bahwa saya memasak batu yang tidak mungkin masak. Khalifah bertanya lagi, mengapa Ibu memasak batu ?. Ia menjawab, “ sekedar untuk menenangkan anak, karena jika ia kecapekan, akhirnya anak tertidur. “ Astagfirullah ! ”, kata Umar. Kemudian bertanya lagi , apakah Anda tidak pernah memeroleh jatah raskin selama ini ? “Tidak “ , jawab ibu tua yang selanjutnya berkata, penguasa sekarang, tidak pernah mau tahu penderitaan kami. “. Umar denga refleksi iman segera meninggalkan lokasi, lalu segera pergi ke gudang ( Baital mal ) dan mengambilkan sendiri satu karung raskin ( gandum ) dan memikulnya sendiri pada malan itu juga. Ketika penjaga gudang menawarkan, agar dialah yang akan memikul karung itu dipundaknya, Umar berkata : “ Apakah Anda dapat memikul dosa saya di akhirat nanti ?.”. Demikian refleksi Khalifah Umar ketika menjadi kepala negara.

Demikian pula Khalifah Umar bin Abdul Aziz ( cucu Khalifah Umar ) ketika berkeinginan melaksanakan haji, ia bertanya kepada pembantunya, Muzahim : “ Saya ingin pergi haji, apakah kamu mempunyai sesuatu ? “ Muzahim menjawab, : “ Hanya sisa sepuluh dinar “, “ Apa yang aku bisa perbuat dengan itu ?”, jawab Khalifah.

Kemudian Muzahim diam sejenak, setelah itu ia berekata : “ Wahai Amirul Mukminin, bersiaplah ! Baru saya ingat, ada uang Dinar sebanyak l7 ribu , sebagai harta peninggalan Bani Marwan, inilah yang bagus digunakan. Umar menjawab : “ Masukkanlah semua harta itu ke Baitul Mal. Sekiranya dinar itu berasal dari barang yang halal, maka kita mengambilnya sekedar keperluan kita, dan jika dinar itu berasal dari harta yang haram, maka cukuplah bagi kita apa yang menimpa kita, dan bukan menambah deretan haram “.

Tatkala Umar melihat, bahwa Muzahim berat memasukkan uang itu ke Baitul Mal, karena ada kebutuhan yang mendesak, Umar menggertak : “ Celaka Engkau Muzahim, jangan merasa berat berbuat sesuatu untuk Allah, sesungguhnya aku memiliki jiwa yang takwa ingin mencapai surga yang dijanjikan orang bertakwa “.

Dari tiga refleksi iman pemimpin Islam, yaitu Nabi Muhammad sendiri dengan pintu maafnya, kepada yang mau membunuhnya, kemudian seorang sahabat ketika menjadi khalifah yang mencintai rakyat kecil, kemudian seorang tabi’in ( pengikut sahabat ) dari seorang khalifah Bani Umayah, yang tidak menggunakan kekayaan Negara untuk pribadinya sekalipun berhak, teringatlah kepada 3 anggota DPR asal Sulsel yang mengembalikan uang operasionalnya yang dirapel, karena tersentuh imannya dengan penderitaan rakyat yang diwakilinya. Sayang, tidak dikirim langsung ke daerah yang lebih membutuhkan dan bukan sekali ini saja, karena banyaknya penderitaan rakyat di daerah. Dan diharapkan menyusul anggota DPRD yang lain, baik di tingkat propinsi atau kabupaten yang sehari-hari melihat langsung penderitaan.

Syarat utama pemimpin yang diinginkan Al-Quran, disamping yang jujur, kuat dan sabar ( Qawiy-Amin ) seperti Nabi Nuh, Musa, dan Muhammad, yang ahli dan jujur ( Hafizh-Amin ) seperti Nabi Ibrahim dan Yusuf, khalifah Umar menam,bahkan hendaknya pemimpin siap jadi khadam ( Pelayan masyarakat ). Terkenal dalam sejarah, ketika selesai dibai’at ia meminta kepada pemuka masyarakat agar mencarikan tokoh pemimpin untuk membantunya sebagai wazir ( semacam menteri ). Ketika pemuka masyarakat membawa calon yang dijagokan, Umar bertanya kriteria apa kalian sehingga mencalonkan si A misalnya ?. Pemuka masyarakat menjawab, kriteria yang kami pilih, sesuai Al-Quran dan Hadis, yaitu jujur, adil, kuat pisik, takwa, berilmu, berani, sabar, sederhana dan siap menjadi pelayan ( khadam).Dan dibuktikan dalam priode khalifah Umar.Akibatnya, Umar menambah satu kriteria utama, yaitu apakah Anda pernah melihat selama ini ada refleksi dari dirinya, langsung menolong dan membantu orang – orang miskin ?. Kalau ada itulah terbaik, seperti yang Anda pernah saksikan sendiri ketika bertetangga atau ketika bepergian bersama dalam suatu perjalanan.

Berdasarkan kriteria tambahan yang dibutuhkan khalifah Umar yaitu pemimpin yang suka menolong orang-orang kecil, maka sangatlah sukar memeroleh pemimpin yang persis Al-Quran, Sunnah dan sahabat. Tapi ajaran Islam mengajarkan “ Mala yudraku kulluh la yutraku kulluh ” ( Asal tidak meninggalkan seluruh pensyaratan ), terpaksa itulah yang kita pilih, terutama yang jujur, adil dan cepat refleksi imannya menolong orang miskin.

Salam sejahtera:Refleksi Islam yang menganjurkan salam sejahtera setiap saat ( Assalamu Alaikum ) sama yang dicontohkan Isa, ketika bergembira atas kelahirannya. Nabi Isa AS dengan ucapan yang pernah juga diakui Islam, tidaklah merusak akidah, selama pengakuan muslim tetap sama pada jalur yang diabadikan Al-Quran, yaitu :”Salam sejahtera untukku, pada hari kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak “ (QS.Maryam 33). Namun perlu diingat, sebelum Nabi Isa mengucapkan salam sejahtera, diyakini, bahwa beliaui adalah Abdullah (hamba Allah) yang diperintahkan salat, zakat, berbakti kepada ibu, dan dilarang berbuat sombong (QS.19 :32).Inilah cara mengucapkan selamat atas hari kelahiran Isa, menurut Al-Quran.
Ajaran Islam sudah menggariskan hendaknya selalu mendoakan dan memberi salam. Nabi pernah ditanya, amal apakah terbaik ?.Dijawan, amal yang paling afdal ialah suka memberi makan orang, dan suka memberi salam, kepadas orang yang kamu kenal dan belum (HR.Muslim).

Akhirnya, dari uraian singkat diatas dari sekian criteria yang diperlukan seorang pemimpin menurut Al-Quran, Hadis dan sahabat, maka yang paling dibutuhkan dalam memasuki pilkada di daerah, dipilih pemimpin yang bukan hanya jujur, kuat dan adil tapi dipilih terutama seseorang yang sering menyumbang orang miskin ( refleksi spontan ), baik sebelum dicalonkan atau sesdudahnya.Baik didepan camera atau tidak, karena Lillah. ( Wa Allahu a’lam ).
H. Mochtar Husein
09.58 | 0 komentar

Hati yang Lunak

Written By Rudianto on Senin, 21 Januari 2013 | 21.07

Nabi Muhammad SAW sebagai Dai (mubalig) pertama, dalam sejarahnya tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar kepada orang, seperti “ Kamu Kapir, Fasik, Munafik atau Tukang Bid’ah ” .Kepada seseorang.yang non muslim, dipanggilnya dengan lunak , “ Ya ahli Kitab “ ( Hai yang punya kitab suci), “ Ya bani Adam “ ( Hai keturunan Adam), ” (Hai bangsa manusia), dsb..Padahal yang dihadapi, adalah mereka yang terang-terangan menentang Islam. Apalagi kepada sesama muslim. Berbeda sekali yang kita dengarkan dari yang karbitan.

Seluruh ahli dakwah sepakat, bahwa menyampaikan pesan-pesan agama itu, hendaknya lunak, dan menyentuh hati. Definisinya “ Minal qalbi ilal qalbi “ ( Keluar dari hati, menyentuh hati pula)

Dalam Bahasa Arab, hati itu disebut “Qalbu litaqallubih “ (Dinamakan qalbu, karena gampang berubah-ubah ).Sebab itu dalam Tahiyah akhir salat, seorang musalli dianjurkan membaca “ Stabbit qalby ‘ala dinika” (Wahai Tuhan yang dapat mengubah-ubah hati, tetapkanlah hatiku, agar konsisten memegang agamamu ). Artinya, seorang mushalli selalu memohon kepada Allah agar iman itu, jangan sampai berubah-ubah, seperti berubah-ubahnya pengaruh keduniaan.

Banyak ayat dalam Al-Quran yang mengarahkan betapa perlunya hati dan prilaku itu lunak, terutama seorang Imam ( pemimpin ) dan Da’I. Diantaranya “ Ya Muhammad jika kamu berhati keras niscaya mereka akan lari dari sekelilingmu “.(QS.3 :159). Artinya sebaliknya, jika kamu berhati lunak dalam berdakwah, niscaya mereka akan datang mendekatimu dan mempercayaimu. Hal ini dapat dilihat beberapa metode dakwah yang digariskan Al-Quran, misalnya :

(1) “Berdakwah dengan hikmah dan mau’izhah al-hasanah. ( bijaksana dan pelajaran yang baik) dan jika berdiskusi (dialog) dengan cara yang lebih baik (Ahsan ) (QS.al-Nahl : 125).

(2) “ Aku mengajak kalian ke jalan Allah dengan Basirah (keterangan yang nyata )” . (QS. Yusuf :1O8).

Lebih empati: Menurut Doktor Yusul Al-Qardhawi, kedua ayat tersebut menjelaskan, bahwa dalam mengajak orang berbuat baik, hendaknya dilakukan dengan cara yang rasional dan menyentuh hati (Akal dan qalbu).Itu dimaksudkan, bahwa dalam menerangkan masalah akidah dan muamalah, bukan hanya dengan ancaman meninggalkan yang dilarang, tetapi hendaknya disertai dengan solusi. Sehingga terlihat bahwa kebaikan yang hendak dicapai, sedapat mungkin tidak meninggalkan problema baru. Demikian juga dalam berdialog, bukan dengan cara mencederai perasaan sesama manusia, sekalipun kita sedang sedang bersaingan. Artinya, ayat ini mengandung dua metode.

Pertama : dengan cara yang baik.(Bilhikmah wal mauizhah hasanah).

Kedua : dengan berdikusi dan dialog dengan cara yang lebih baik lagi (hiya ahsan). Mengapa harus demikian ?.

Karena dalam berdiskusi itu biasanya ada persaingan, sehingga sebagian orang condong membiasakan dirinya, ingin menjatuhkan lawan, atau mencederai, sehingga berusaha akan tampil jadi pemenang. dalam berdebat. Sebab itu metode Al-Quran, mengantisipasi jauh sebelumnya. Agar jangan sampai kebiasaan itu disandang juga seorang mubalig yang tujuaannya harus lebih empati.

Maka sebab itu “ Hiya ahsan” berarti ( Hendaknya cara yang lebih baik, dan lebih indah). Hal itu telah dipraktekkan Rasul, sehingga umatnya perlu meneladani. Dan sebagai gambaran bahwa Islam itu betul-betul ajaran yang rahmat, indah dan menawan.

Imam Al-Gazali pernah berkata, baik yang mengajak berbuat baik (Da’i) maupun yang yang diajak berbuat baik (Mad’u) keduanya hendaknya sama-sama berhati lunak. Dan diharapkan lebih lunak lagi, disertai kesabaran. jika yang dihadapi, adalah orang yang doyan berbuat kemungkaran (dosa besar).

Hal tersebut dapat dilihat, bagaimana pesan Tuhan kepada Nabi Musa dan Harun, ketika mengahadapi Fir’aun, yang memaklumkan dirinya Tuhan, kata Tuhan “ Berbicaralah kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia sadar atau takut” (QS. Thaha 43).

Menurut sahabat nabi Ibnu Mas’ud, “ Perkataan yang disampaikan jika tidak sesuai otak dan sentuhan kalbu manusia, justru akan menimbulkan pitnah dan kontra.

Syekh Muhammad Abduh, lebih transparan dalam tafsirnya bahwa metode Al-Quran surah Al-Nahal 125, yaitu ada 3 golongan :

(1) Terhadap cendikiawan, hendaknya yang disampaikan, dengan cara pemahaman kritis, rasional dan argumentasi yang kuat.

(2) Terhadap yang awam, dengan nasehat yang baik dengan ajaran yang mudah dipahami serta mempunyai solusi.

(3) Terhadap mereka yang bukan dari keduanya, terutama kepada yang non muslim, hendaknya dengan cara yang lebih baik, sehat dan empati.

Akhirnya, berdasarkan Al-Quran, Sunnah dan ahli Dakwah, maka dakwah Islam itu hendaknya disampaikan dengan lunak dan menyentuh hati yang terdalam. Al-Quran sendiri dengan keindahan bahasa, kelunakan nada dan irama, yang spesifik lagu padang pasir, dapat mengubah hati yang keras, menjadi hati yang lunak, seperti yang dialami oleh Umar bin Khattab.
21.07 | 0 komentar

METODE DAKWAH

Written By Rudianto on Minggu, 20 Januari 2013 | 11.51

Sejak Rasulullah saw., dakwah memang ditetapkan sebagai suatu metode yang khas islami dalam penyebaran agama Islam bagi seluruh umat manusia. Kini masyarakat manusia sudah semakin maju dan problematika hidupnya semakin bertambah kompleks, sementara dakwah hams tetap berjalan, terus berlaku, tetap berfungsi dan terus berperan, tetap berlangsung dan terus berkelanjutan melangkah untuk memberikan insentif-insentif bagi tingkah laku manusia, memberikan respons kuratif dan rispek (respect) preventif, dalam rangka menyelamatkan manusia dari degradasi sosial dan kemanusiaan dari penyakit dehumanisme yang semakin berkembang dan sedang menuju krisis identitas, legalitas krisis penetrasi, partisipasi dan krisis distribusi.

Maka metode dakwah berupaya untuk mengadakan pendekatan-pendekatan, agar dakwah bisa mengatasi, sekurang-kurangnya dapat memecahkan problematikanya dengan memberikan jalan keluar yang terbaik. Kalau kita sudah terjun di medan dakwah berhadapan dengan objek dakwah di lapangan, berarti saat itu juga kita akan berhadapan dan dihadapkan kepada masalah metode dakwah. Berhadapan, karena manusia sebagai sasaran memerlukan penerapan metode yang berbeda-beda. Dihadapkan sebab kita benar-benar menghadapi kenyataan objek yang beraneka ragam yang tentu saja menuntut kita untuk menguji efektivitas metode dengan intensitas materi dakwah atau antara teori dan praktik.

Jadi, masalah metode dakwah berkisar pada masalah bagaimana kemampuan juru dakwah menyesuaikan materi dengan situasi dan kondisi sasaran serta tujuan yang hendak dicapai. Di sinilah dibutuhkan keterampilan dan kecakapan juru dakwah serta motivasi yang kuat dalam keiempatan melaksanakan dakwah yang luas.

Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, merupakan gabungan dan kata meta = melalui, mengikuti, sesudah dan kata hodos = jalan, arah, cara. Jadi, metode artinya suatu cara yang bisa ditempuh.
Selain metode, ada lagi istilah sistem, yang juga berasal dari bahasa Yunani sistema, artinya: Sekumpulan atau keseluruhan cara yang tersusun secara rapi dan baik, yang bergerak menuju suatu tujuan tertentu.
Ada lagi istilah Tech'nique (teknik) yang artinya: Kemahiran membuat atau melakukan sesuatu yang berkenaan dengan seni.

Ketiga istilah tersebut bisa dibedakan dalam pengertian, tetapi sulit dipisahkan dalam praktik karena ketiga-tiganya mengandung arti yang sama, yakni tatacara yang diorganisasi, untuk mencapai tujuan lebih maksimal dan optimal.

Syiar dakwah yang pertama kali dilaksanakan oleh Rasulullah, seluruhnya merupakan lambang metodologis dakwah yang seclikitnya telah mampu mengubah manusia jahiliyah ke dunia barn Islam. Maka metode dakwah sebagai sarana objektif yang bersumber dari ajaran Allah dan Rasul-Nya itu hams mampu dijalankan dan dapat diterapkan untuk segala tingkatan masyarakat sasaran di segala ruang dan waktu.

Oleh karena itu, metode-metode ini hams terus dikembangkan mengikuti lajunya zaman, dan pesatnya ilmu pengetahuan serta canggihnya teknologi, melalui pendekatan-pendekatan dari berbagai disiplin ilmu, agar tetap up-to-date, aktual dan rasional. Artinya, dengan metode itu, juru dakwah hams mampu menjabarkan kebenarankebenaran sesuai dengan keperluan, kebutuhan, permintaan dan tuntutan masyarakat sasaran, dengan tetap berpijak di atas acuan yang bersifat standar universal serta rujukan yang tetap autentik dari Rasulullah saw. sebagai manusia sumber yang tetap diakui keabsahan dan validitasnya, maupun kesolidan dan aktualitasnya sepanjang masa. (Al Ahzab: 21).
Metode klasik yang masih tetap up-to-date itu adalah:
1. Metode sembunyi-sembunyi, pendekatan kepada sanak keluarga terdekat, terang-terangan atau dekralatif.
2. Metode bil lisan, bil qolam, bil hal dan bil 'amal.
3. Metode bil hikmah, mau'izlatil hasanah, mujadalah billati hiya ahsan (disebut juga sistem)
Metode:
Tabsyier wat Tandzier
Targhieb wat Tarhieb
Amar ma'ruf nahi mungkar
Ta'awanu alal birri wat taqwa, wala ta'awanu alal itsmi wal 'udwan
Dana 'ala khairin
Tawashau bil haq wash shobr
Tadzkirah
Taghyier Tabligh Di'ayah Fastabiqul khairat, ilal maghfirah wa jannah
Da'a ilallah (yang disebut juga Teknis).

Di dalam metode-metode tersebut sudah tercakup pengertian metode langsung dan tidak langsung. Kemudian, metode, sistem, dan teknik dakwah tersebut masih bisa dikembangkan lagi menjadi beberapa pola dan cara yang sedang berkembang di dalam masyarakat dengan bermacam-macam istilah baik yang tradisional, formal maupun yang ilmiah.
11.51 | 0 komentar

MATERI DAKWAH

Written By Rudianto on Sabtu, 19 Januari 2013 | 11.09

Pada garis besarnya sebenarnya sudah jelas bahwa materi dakwah adalah seluruh ajaran Islam secara kaffah tidak dipenggal-penggal atau sepotong-sepotong. Ajaran Islam telah tertuang dalam Alkuran dan dijabarkan oleh Nabi dalam Al Hadits, sedangkan pengembangannya kemudian akan mencakup seluruh kultur Islam yang murni yang bersumber dari kedua pokok .

"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlawanan pendapat ten tang sesuatu, maka kembalikanlah is kepada Allah dan Rasul-Nya (Al Qur'an dan As Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada 'Allah dan hari kemudian. Itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya."
(An Nisa': 58).

"Aku tinggalkan untuk kamu dua perkara, yang apabila kamu berpegang teguh dengan keduanya kamu tidak akan ter sesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya."
(HR. Bukhari Muslim)

Materi yang demikian luas dan lengkap itu sudah tentu memerlukan pemilihan-pemilihan dan membuat prioritasprioritas, dengan memperhatikan situasi dan kondisi kemasyarakatan yang ada serta menempuh bermacam-macam metode pendekatan, misalnya pendekatan substansial, situasional dan kondisional, kontekstual, disamping itu karena pesan-pesan dakwah ini haruslah manusiawi yang diharapkan dapat membentuk pengalaman sehari-harinya menurut tatanan agama, maka materi dakwah pun harus meningkatkan kemampuan dan akomodasi manusia pokok, yakni: kemampuan penerima dakwah dan tingkat berikirnya, keperluan masyarakat objek atau atas permintaannya.
Jelasnya, materi dakwah harus tetap fundamental, walaupun harus clisampaikan dengan metode-metode yang bervariasi, sistem yang proporsional dan teknis yang relevan dan ideal.
11.09 | 0 komentar

OBJEK DAKWAH


Sudah jelas kiranya bahwa objek dakwah adalah manusia, mulai dari individu, keluarga, kelompok, golongan, kaum, massa dan umat seluruhnya. Sudah jelas pula bahwa setiap insan yang normal, 'dewasa dan beradab, pada umumnya mempunyai citacita mencapai kebahagiaan hidup. Cita-cita yang luhur itu kemudian dimanifestasikan dalam bentuk keinginan-keinginan yang akhirnya mengarah kepada tujuan hidupnya di dunia ini. Dakwah sudah menggaris bawahi tujuan manusia itu serta memasukkannya ke dalam agenda dan jadwal tugasnya amar ma'ruf — nahi mungkar.

Manusia sebagai objek dakwah dapat digolongkan menurut Manusia sebagai objek dakwah dapat digolongkan menurut klasnya masing-masing serta menurut lapangan kehidupannya. Akan tetapi menurut pendekatan psikologis, manusia hanya bisa didekati dari tiga sisi, yaitu sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk ber-Ketuhanan
Manusia sebagai makhluk individu memiliki tiga macam kebutuhan hidup yang hams dipenuhi secara seimbang, yaitu:
1. Kebutuhan kebendaan (material). Pemenuhan aspek ini akan memberikan kesenangan bagi hidup manusia.
2. Kebutuhan kejiwaan (spiritual). Pemenuhan aspek ini akan memberikan ketenangan, ketenteraman dan kedamaian dalam batinnya, dan
3. Kebutuhan kemasyarakatan (sosial). Pemenuhan aspek ini akan membawa kepuasan bagi hidup manusia.
Sebagai makhluk sosial, manusia hams hidup bersama kelompolcnya, bersatu dan bergaul dengan yang lain.

Dalam kehidupan sosialnya ini manusia terikat dalam sistem hidup tiga dimensi yang disebut:
1. Dimensi Kultural (kebudayaan dan peradaban). Selain memberikan kepuasan bagi hidup manusia, kultur ini pula yang akan memberikan nilai tinggi rendahnya kemanusiaan.
2. Dimensi Struktural (bentuk bangunan hubungan sosial). Di sinilah titik temu (perjumpaan) manusia satu dengan yang lain dalam berbagai kepentingan hidupnya, yang menentukan chaos tidaknya kehidupan.
3. Dimensi Normatif (tatakrama dalam pergaulan hidup sosial). Manusia adalah pelaku dan sekaligus peserta dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Dari sini manusia akan ditentukan baik dan buruknya dalam berperilaku.

Dari dua kelompok tersebut di atas, individual manusia harus difahamkan terlebih dahulu untuk mengerti manusia dan keperluannya secara balk. Selanjutnya memahami dinamika sosialnya. Manusia sebagai makhluk ber-Ketuhanan akan menampakkan sikap, tingkah laku serta keadaan hidupnya sebagai besar kecilnya pengaruh keyakinan agama (kepercayaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa). Dakwah sebagai metode ternyata sangat cocok untuk kemanusiaan. KonseP' hidup dan kemasyarakatan yang disajikan dakwah sangat cocok, gampang dicerna, mudah ditangkap akal, sarat dengan isi dan padat dengan norma, mantap dengan mengena, dan kompak. Konsep yang lahir dari dakwah ini merupakan konsep penyelesaian (problem solving) dari semua persoalan hidup yang dihadapi manusia di dunia ini. Dikatakan kompak karena, antara konsep dengan kenyataan selalu paralel, (sistem fithri) oleh karenanya seluruh pendekatan dakwah secara umum dapat diterima oleh seluruh lapisan manusia, sebab keserasian, kekompakan dan kesesuaian itu diatur oleh Allah swt. seperti dalam firman-Nya:

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Ar Ruum: 30).

Apabila dakwah menghadapi kenyataan objek yang kebanyakan manusia tidak mengetahui, itu berarti manusia yang telah menyimpang dari fitrahnya yang suci. Kepada mereka itulah dakwah dihadapkan, atau merekalah sebenarnya sasaran atau objek dakwah. Hal itu tidak mengherankan, karena dalam stratifikasi spiritual, manusia ada enam tingkatan, yaitu: Ammarah, Musawwilah, Lawwamah, Muthmainnah, Radliyah Mardliyah dan tertinggi adalah Kamilah.

Kemudian, selain itu, cita-cita manusia modern sekarang ini, adalah ingin mewujudkan lima tujuan pokok hidupnya, yaitu:
1. Perkembangan sosial ekonomi yang merata
2. Menciptakan kemerdekaan dan perdamaian yang sesungguhnya, bagi seluruh umat manusia.
3. Menciptakan keadilan sosial atau keseimbangan tanpa membeda-bedakan ras dan keturunan.
4. Mencegah timbulnya pengotoran lingkungan hidup, baik fisik maupun mental spiritual.
5. Menciptakan terwujudnya hak asasi yang sebenarnya dan kemudian moralitas agama akan diresapkan kepada seluruh umat manusia dengan dasar amar ma'ruf nahi mungkar.
Karena sasaran dakwah adalah manusia sebagaf organisme yang hidup dan mempunyai cita-cita yang luhur, maka juru dakwah dituntut untuk pandai menjual ide dan memasarkan materi dakwah ini.

09.54 | 0 komentar

Tergelincirnya Ulama

Written By Rudianto on Rabu, 29 Agustus 2012 | 09.38

Tergelincirnya ulama: jika dia mendapat petunjuk maka jangan jadikan dien kalian taqlid padanya. Jika dia terfitnah maka janganlah kalian putus harapan kalian darinya, karena sesungguhnya orang mukmin itu terfitnah
kemudian bertobat. Ulama yang sholih, yang luas pandangannya, lagi mendapat petunjuk, sekali tergelincir maka akan menjadi fitnah (ujian).

Imam Ibnu Taimiyah mengingatkan bahaya tergelincirnya orang alim, bantahan orang munafik, dan pemimpin-pemimpin yang menyesatkan, dengan mengemukakan atsar dari Umar dan Abu Darda’. Ziyad bin Hudhair berkata, Umar telah berkata: Tiga perkara yang merusak agama adalah tergelincirnya orang alim (ulama),
bantahan orang munafiq dengan Al-Qur’an, dan pemimpin-pemimpin (imam-imam) yang menyesatkan.

Al-Hasan berkata, telah berkata Abu Darda’: “Sesungguhnya di antara hal yang aku khawatirkan atas kamu sekalian adalah tergelincirnya orang alim (ulama), dan bantahan orang munafiq dengan Al-Qur’an... (Ibnu
Taimiyyah, al-Fatawa Al-Kubro, juz 9 halaman 108).

Dari Ziyad bin Hudhair, ia berkata, Umar telah berkata kepadaku: Apakah kamu tahu apa yang  menghancurkan Islam? Ia (Ziyad) berkata, aku berkata: Tidak. Ia (Umar) berkata: yang menghancurkan Islam adalah tergelincirnya orang alim (ulama), bantahan orang munafik dengan al-Qur’an, dan hukum (keputusan) pemimpin-pemimpin yang menyesatkan. (Riwayat ad-Darimi, dan berkata Syaikh Husain Asad:
isnadnya –pertalian riwayatnya—shahih).

Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah menegaskan: Oleh karena itu dikatakan: Awas hati-hati (hindarilah)  tergelincirnya orang alim (ulama), karena sesungguhnya ketika ia tergelincir maka tergelincirlah dunia karena tergelincirnya (ulama itu). (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, juz 4 halaman 296).
***
Lalu bagaimana keadaannya ketika ulama menjadi corong para penguasa durjana, menjadi lisan yang berbicara dengan nama mereka, menjual fatwa dengan kenikmatan dunia dan memberikan ilmu pada orang yang memegang pedang dan emas?

Dia tidak memiliki keinginan kecuali membenarkan perbuatan para penguasa yang telah memenuhi segala kebutuhan hawa nafsunya? Dan memoles hukum dan kekuasaan mereka dengan dalil syar’i. Sementara lisan
mereka sangat tajam menyerang para ulama amilin, ulama mukhlisin, aktifis dan pejuang, mujahidin muwahhidin, yang bersungguh sungguh hendak menegakkan kalimahNya dimuka bumi?

Dia tidak menemukan satu celah kecuali dia luaskan dan tidak pula satu retak kecuali menyebarkannya. Bagaimana keadaan pada hari itu? Lalu akan seperti apa keadaan umat? Kalangan awam mereka telah dipenggal lehernya oleh dunia, selalu berusaha mendapatkannya padahal mereka sudah banyak memilikinya. Para ulama suu' dan syaikh-syaikh mereka memalsukan dienullah ta’ala?

Bagaimana seseorang bisa selamat kala syubhat-syubhat telah merata di setiap lembah?
Musuh-musuh kebenaran dari segala penjuru? Orang Islam yang komitmen dengan keislamannya. Bersungguh sungguh dalam memegang ajaran Islam. Dan terus berupaya melaksanakan kewajibannya dalam menegakkan  dienullah. Bersama dengan penguasa para ulama suu’ itu seringkali menghantam mereka dengan berbagai cara.

Kadang-kadang para ulama suu’ mendatangi dari pintu takwa. Kadang-kadang dari pintu taklid pada beberapa orang. Siapa ulama kalian? Siapa yang menyertai kalian dalam urusan ini? Siapa dari syaikh-syaikh dunia yang menguatkan kalian di atas hal ini? Jika cara-cara ini tidak berhasil maka mereka menakut-nakuti dengan kesempitan hidup di dunia, hilangnya orang-orang yang dicintai, hilangnya harta benda, pengawasan intel-intel, atau terbongkarnya rahasia. Di hadapan semua ini, bagaimana seseorang bisa selamat?
***
Salah seorang mereka berkata: Aku duduk bersama seorang laki-laki yang aku kira dia orang yang baik dalam membantu orang orang yang berjuang menegakkan hukum Allah. Aku terus duduk bersamanya sampai dia mulai lepas dari membantu dan menguatkan mereka. Dia menyebut-nyebut beberapa aib dan kesalahan -menurut anggapannya-. Lalu aku berbicara padanya, maka dia tidak mendapati selain
ucapannya yang dia arahkan pada wajahku: “Hati-hati engkau dari fanatik jamaah!”
***
Tuduhan ta’assub, fanatik, ekstrim, ekslusiv dan sejenisnya adalah tembakan peluru yang tidak asing bagi orang orang Islam yang hendak menegakkan kalimatullah di muka bumi. Istilah-istilah al-haq digunakan melawan untuk memalingkan dari al-haq? Sungguh benar Ali radhiallahu ‘anhu –ketika tahkim al-Qur’an
menuntutnya–, dia mengatakan: Kata-kata al-haq, tapi diinginkan dengan kata-kata itu kebatilan.
Bantahan syubhat tentang mujahidin – menurut orang-orang pandainya– telah dianggap fanatik. Tetap teguh (tsabat) di atas al-haq dan tidak berubah-ubah dianggap fanatik.
***
Adapun seseorang yang tsabat di atas dunia yang menyibukkannya dan memenggal lehernya, seseorang tsabat pada penguasa, tsabat pada hukum buatan manusia, tsabat pada partainya, tsabat pada marga dan keluarganya, tsabat di atas persahabatan dengan ahlul bid’ah dari kalangan para penganut agama demokrasi,
dan tsabat di atas persahabatannya dengan ahlul bid’ah dari segala penjuru, tidak disebut fanatik.

Pada kacamata penguasa dan ulama suu' itu, orang yang mati-matian menyebarluaskan liberalisme, pluralisme, dan berbagai isme isme lain yang nyata nyata telah meruntuhkan akhlak dan moral bangsa, menimbulkan berbagai kekacauan, keresahan dan kejahatan tidak disebut fanatik, ekstrim dll sebagaimana
dituduhkan pada para pejuang dan penegak kalimatullah.

Mencabik cabik ajaran Quran dan sunnah yang murni dan penyelewengan atasnya, disebut sebagai keterbukaan berpikir, kebebebasan, intelek dan berpikiran cemerlang!
Wal ‘iyadzubillah. Allahumma sallimna.

09.38 | 0 komentar

Perjuangan Dalam Berda'wah

Written By Rudianto on Selasa, 24 Juli 2012 | 22.40

Aku selalu tertarik dengan sesuatu yang berbau da'wah entah itu hanya sekedar nasehat ataupun berupa ilmu yang erat kaitannya dengan kehidupan Dunia wal akhirat, ketika ku jumpai suatu tempat dengan pola yang seperti itu maka aku akan selalu mendekati dan berusaha masuk didalamnya. Aku merasa aku sangat miskin dengan ilmu, aku butuh inspirasi dan motivasi yang selalu mendorong aku untuk dapat hijrah dan selalu hijrah hingga lambat laun akupun berharap bisa dipertemukan dengan cahaya itu.

Rupanya hanya untuk mendekati nasehatpun bukan main syetan menyusup dalam sendi2 kehidupan manusia sehingga tak sedikit kerikil2 yang menghalangi, bahkan nyaris kita berjalan ditempat  licinpun terpeleset dan terpental, begitu pandainya syetan bekerja hingga manusia tanpa sadar menjauh dan akhirnya lupa. Bathinku menolak semua itu, tapi demi jalan lurus yang harus aku lalui aku perlu berdiam diri sejenak dan menyusun suatu strategi agar aku bisa mengalahkan syetan2 yang selalu menghalangi jalanku. Aku kuatkan hati dan aku yakin pasti aku bisa...insya'allah dengan kekuatan doa syetan2 pun akan tumbang dan akupun akan jadi pemenang....

Dalam berda'wah kita dituntut bekerja sama untuk saling menopang agar da'wah bisa hidup, jika diperlukan harus ada orang2 yang berada pada posisi yang benar2 membutuhkan ilmu sehingga terjadilah diskusi yang pada akhirnya da'wah bisa berkembang dengan baik. Komunikasi dalam Islam dinilai penting, karena adanya kewajiban berda’wah kepada setiap orang-orang yang beriman sehingga nilai-nilai Al Qur’an dan haditsnya harus selalu dikomunikasikan kepada orang lain, khususnya keluarga guna menghindari siksaan api neraka.

Komunikasi sangat berpengaruh terhadap kelanjutan hidup manusia, baik manusia sebagai hamba, anggota masyarakat, anggota keluarga dan manusia sebagai satu kesatuan yang universal. Seluruh kehidupan manusia tidak bisa lepas dari komunikasi. Dan komunikasi juga sangat berpengaruh terhadap kualitas berhubungan dengan sesama.

Wahai kawan... "jangan pernah berkata dunia membutuhkanmu" Jika kenyataanya, kita hanya memikirkan seseorang yang jelas2 tidak peduli terhadapmu. Jangan pernah berdalih memikirkan ummat, jika dalam benak kita hanya berisi pertanyaan: apa makanan dan minuman kesukaannya? Apa warna kesukaannya? Siapa teman terdekatnya? Berapa ukuran sepatunya? Apa hobinya? Lewat mana dia kalau berangkat pergi? Kemana dan kapan dia membeli kebutuhan bulanannya? Bahkan mencoba selalu menguntit semua kegiatannya! Sadarlah kawan dunia ini bukan sekedar apa yang kau pikirkan tentang dia, carilah yang lain yang lebih penting dari sekedar hanya memikirkan dia..!! Jangan bunuh pikiranmu dengan hal-hal yang tak berguna..!! Dia yang kau pikirkan itu sama sekali tidak akan menjadikanmu sebagai dunianya..!!

Da’wah adalah sesuatu yang suci…
Qod aflaha man zakkaha (Beruntunglah orang yang membersihkan diri)…
Wa qod khoba man dassaha (Dan celakalah orang yang mengotori dirinya)…

Bahwa hubungan ikhwan dan akhwat aktivis da’wah adalah seperti saudara…
Cukup sampai disana…
Kalaupun terjadi gangguan hati yang  merupakan sunnatullah akibat adanya interaksi,
Tidak akan melebihi taraf SIMPATI
Kecuali Allah memberikan kesempatan padanya untuk menyelesaikan setengah agamanya…

Sehingga orang yang berhak dan akan bertahan dalam jalan ini,
Adalah orang yang niat ikhlas membersihkan dirinya…
Dia ikut tarbiyah dengan keikhlasan,Bukan ingin ketenaran…
Dia berda’wah ingin menuju Jannah-Nya,
Bukan ingin mendapatkan jabatan, fans atau lainnya…

Ingat ikhwan wa akhwat fillah

Untuk ikhwan…
Bila kamu istiqomah di jalan da’wah ini,
Bidadari telah menanti kamu di syurga nanti…

Untuk akhwat…
Bila kamu istiqomah di jalan da’wah ini,
Kamu lebih baik dari bidadari yang terbaik yang ada di syurga…

Untuk itu wahai kawan, sudahilah sandiwaramu itu. Gerak gerikmu sudah terbaca, bahasamu sudah terdengar akrab, jangan lagi berfikir orang lain harus berteman dengan siapa..! jangan lagi berfikir orang lain selalu berfikir sama denganmu..! Kau bersembunyipun percuma, karena kau tak lebih dari seorang pengecut yang hanya ingin mengacaukan suasana..! Ingatlah jangan halangi langkah kami, jangan hancurkan misi kami..itu semua tiada berguna lagi.
22.40 | 0 komentar

Penyakit FLU para Kader Dakwah

Written By Rudianto on Senin, 30 April 2012 | 19.03

Anda terkena sakit flu? Biasanya apabila kita banyak melakukan aktivitas tetapi tidak disertai istirahat dan makanan yang menunjang serta kondisi cuaca yang tidak bersahabat dapat membuat seseorang akan mudah mendapatkan penyakit FLU tersebut. Untuk mengobati penyakit tersebut biasanya dokter akan menganjurkan minum obat dan istirahat yang cukup.

Lalu bagaimana seorang ikhwah bisa terkena FLU (Futur, Lesu, Uzlah)? Jawabannya tidak jauh berbeda dengan seroang yang terkena penyakit flu. Adanya beberapa kasus tentang al akh yang kemudian sangat aktif di organisasi dakwah kemudian tiba-tiba enggan untuk aktif kembali, ada juga yang hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban sebagai mutarobbi dengan prinsip “Asal Murobbi Senang” atau “Asal tidak tercatat negatif dalam struktural”.

Penyebab sakit FLU
Untuk mengetahui seorang ikhwah terkena penyakit FLU, maka ada baiknya kita membuka kembali buku yang menjadi acuan aktivis tahun ‘90an yaitu “Terapi Mental Aktivis Harakah” tulisan DR. Sayyid Muhammad Nuh. Penyakit Futur ditempatkan pada bab pertama setelah bab pendahuluan mengenai “penyakit-penyakit di tengah jalan.” Dua hal utama terjadinya futur adalah berlebih-lebihan dalam beragama dan suka menyendiri atau meninggalkan jamaah.

Terjadinya seorang al-akh berlebih-lebihan dalam beragama dikarenakan banyaknya tugas yang diemban oleh ikhwah tersebut dan tidak dibantu dalam sebuah team. Tampaknya sudah menjadi suatu kebiasaan atau rahasia umum dikalangan kita bahwa apabila seorang ikhwah yang mendapatkan amanah sebagai ketua dalam jabatan struktural maka biasanya ketua tersebut yang akan dituntut untuk tugas-tugas yang ada dan ikhwah yang lain sibuk dengan “tugas-tugas luar struktur.”

Hal lainnya adalah suka menyendiri atau meninggalkan jamaah, biasanya seorang ikhwah lebih menyukai kesendirian dikarenakan tidak lagi merasakan manisnya semangat ukhuwah dalam berjamaah serta tidak menemukan adanya nuansa ruhiyah ketika melakukan aktivitas ibadah dalam kesunyian. Dalam kesunyian ini, apabila ada saudaranya yang membiarkannya dalam kondisi tersebut, lambat laun namun pasti akan “menjerumuskan” akh tersebut dalam kelesuan beraktivitas dakwah. Beliau akan lebih suka dalam kemanisan beribadah daripada kesusahan aktivitas dakwah.

Lesu akan menjadi tingkat yang paling berbahaya dalam kondisi futur bagi seorang ikhwah, karena apabila seorang al-akh sudah mengalami kelesuan biasanya lebih suka untuk Uzlah. Uzlah bisa dijadikan alasan seorang ikhwah karena lebih merasakan manisnya nilai ruhiyah daripada berdakwah ke masyarakat. Adapula yang beralasan bahwa dengan bergaul dengan manusia dapat menganggu konsentrasi beribadah dengan melupakan pengertian ibadah yang sebenarnya.

Terapi Penyakit FLU Kader
Untuk mengobatinya tentu saja yang bersangkutan harus dapat memotivasi diri kembali dengan membaca buku-buku yang diperlukan, muhasabah diri pada saat “istirahat”. Tetapi, selain penyembuhan oleh yang bersangkutan maka kondisi lingkungan yang kondusif dalam proses penyembuhan tersebut. Menjenguk dan memberi “oleh-oleh” dari saudaranya bisa menjadi cara untuk mempercepat proses penyembuhan.

Seperti etika dalam menjenguk orang sakit, diusahakan tidak membahas tuntutan tugas dakwah, masalah-masalah dakwah yang harus diselesaikan, tetapi pembicaraan dapat diarahkan mengenai perhatian terhadap dirinya, keluarga dan hal-hal lain mengenai kesulitan prbadi kehidupannya dan akan lebih baik bila menawarkan diri untuk membantunya membantu permasalahan yang dihadapinya.

“Bagaimana kabar antum akhi? Sudah lama tidak pernah kelihatan?” Terdengar lebih baik dan manis daripada teguran “Kemana saja antum? Banyak tugas tuh!” atau “Kemana saja antum? Dimana saja antum bersembunyi antum akan tetap dicari akhi, bahkan bisa jadi catatan kaderisasi untuk tingkatan antum!”.

Atau “Akh, tugas yang kemarin antum dapat ada yang bisa ana Bantu?” juga terasa lebih baik dan melegakan bila dibandingkan “Bagaimana nih kerjaan antum? Kok hasilnya begini?”. Ucapan-ucapan tersebut kelihatan sederhana tetapi sangat berpengaruh dalam dakwah fardiyah, silahkan baca kembali Sentuhan hati penyeru dakwah, panduan berdakwah syabiah tulisan Abbas As-sisi.

19.03 | 0 komentar

BEBERAPA ASPEK DAKWAH

Written By Rudianto on Minggu, 15 April 2012 | 10.40


BEBERAPA ASPEK DAKWAH

PENDAHULUAN

Hidup ini hanyalah masalah pilihan Baik-Buruk yang di dalam Al Quran diilhamkan Allah kepada manusia sebagai pilihan dari nafs dengan sebutan Fujuraha wa Taqwaha (As Syams: 8). Jadi, baik buruk perbuatan dan tingkah laku mau¬pun sikap hidup seseorang yang dilakukan secara sadar, merupakan pilihan dirinya, sebab perbuatan didorong oleh kehendak (kebutuhan, hasrat, keinginan, cita-cita, nafsu, kemauan) yang lahir dalam dirinya sendiri dan terbentuk oleh pribadinya piendiri setelah dipertimbangkan oleh perasaan dan mendapat pengawasan dari pikirannya. Dalam hal demikian, dakwah memberikan kemampuan memilih yang terbaik dan yang benar, yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah, sehingga jalinan hubungan secara vertikal, horizontal mau pun diagonal Letap berlangsung secara harmonis.
Kemampuan memilih ini sering tidak mudah dilakukan oleh manusia karena pertimbangan-pertimbangan material ataupun spiritual. Dakwah adalah saluran petunjuk Tuhan yang benar, sebab dakwah membawa :misi (mission) seluruh ujaran agama-Nya. Agama yang telah diridloi dan sah sebagai agama bagi seluruh manusia adalah Islam. Islam yang mengandung arti:
a. bebas dan bersih dari penyakit lahir dan batin
b. bersih dan selamat dari kecacatan lahir batin
c. perdamaian dan keamanan lahir batin
d. tunduk dan patuh serta menyerah diri kepada Allah
e. lawan dari syirik, kafir dan
f. ikhlas dalam beribadah

adalah hidayah dari Allah ke jalan keutamaan, jalan yang lurus (Al Fatihah : 6). Kemampuan memilih yang telah ada pada diri manusia yang juga merupakan hidayah daripada-Nya kemudian dimotivasi oleh dakwah agar memilih Shirathal Mustaqiem. Pemilihan yang dilakukan manusia itu meliputi tiga masalah pokok; yakni: Perkataan, Perbuatan dan Kehen¬dak. Pemilihan manusia terhadap sesuatu nilai yang ada di de¬pannya berupa tiga unsur pokok tadi, oleh dakwah diberikan kekuatan penggerak (motif) agar menjelma dalam ibadah. Konsep ibadah membentuk motivasi (adanya niat), tingkah laku dan tujuan, yang antara lain berwujud:
1. Ibadah Ritual:
Ibadah ritual ini diikat oleh hukum-hukum baku tertentu yang membentuk disiplin normatif dengan prinsip semtia dilarang kecuali yang diperintahkan. Hukum-hukum baku ini berlaku bagi siapa pun, kapan pun dan di mana pun, mengikat kuat tetapi tidak memaksa. Yang ada adalah ikatan yang timbul dari kesadaran jiwa dari pribadi yang telah me¬nemukan ketenangan diri (muthmainnah).
2. Ibadah Multikondisi:
Setiap aspek kehidupan manusia menimbulkan sikon berbe¬da-beda berdasarkan kelainan tingkat strata kehidupan, dan bukan terletak pada kualitas manusianya. Semua manusia, di hadapan Tuhan sama, hanya taqwanyalah yang mengangkat strata dirinya dan kualitasnya di sisi Allah. Artinya, sikap ibadah seseoranglah yang menghubungkan manusia pada level yang sama. Masing-masing dapat bersaing pada kondisi dan posisinya dalam meningkatkan motivasi ibadah melalui kompetisi fastabiqul khairat. Kompetisi ini, menuntut adanya orientasi kehidupan dengan cara-cara berpikir, berkehen¬dak dan berperasaan serta berbicara dan bertindak yang se suai dengan kehendak Allah dengan prinsip semua dibolehkan kecuali yang dilarang. Ibadah multikondisi memerlukan sikap sabar (keteguhan hati) yaitu kemampuan berekspresi dan mempengaruhi diri sendiri dan orang lain untuk tetap dan terus berpegang pada nilai-nilai agama. Untuk ini diperlukan pengendalian gejolak nafsiah dan tingkah laku pada proporsi iman tanpa penyimpangan-penyimpangan.

Dakwah memberikan kemantapan kepada manusia untuk mampu beribadah, beramal sholih dan berakhlak mulia, untuk mengejar kampung akhirat dengan tidak melupakan bagiannya di dunia, berbuat baik dan tidak melakukan kerusakan di dunia setelah dunia ini dalam keadaan baik. Dan ketaqwaan kepada Allah menjadi urat nadinya. Karena dakwah pada akhirnya harus mampu memberikan petunjuk-petunjuk kepada manusia, maka dakwah harus ampuh dalam teknis operasionalnya dan efektif dalam tugasnya melayani kemanusiaan serta intensif da¬lam seluruh komponen yang mendukung keberhasilannya men¬capai tujuannya.

PENGERTIAN DAKWAH
Arti bahasanya, dakwah adalah menyeru, mengajak, me¬manggil, mengundang, mendoakan yang terkandung di dalam¬nya anti menyampaikan sesuatu kepada orang lain untuk menca¬pai tujuan tertentu.
Menurut istilah, dakwah mempunyai bermacam-macam pengertian, tergantung pada tujuan yang hendak dicapainya, dan cara menyampaikannya.

Dakwah dapat dikatakan sebagai suatu strategi penyampai¬an nilai-nilai Islam kepada umat manusia dewi terwujudnya tata kehidupan yang imani dan realitas hidup yang islami.

Dakwah juga dikatakan sebagai agen mengubah manusia ke arah kehidupan yang lebih baik.

Pengertian yang mencakup dan agak luas adalah suatu sistem kegiatan dari seseorang, sekelompok, segolongan umat Islam sebagai aktualisasi imaniah yang dimanifestasikan dalarn hentuk seruan, ajakan, panggilan, undangan, doa, yang disampaikan dengan ikhlas dan menggunakan metode, sistem dan teknik tertentu agar mampu menyentuh kalbu dan fithrah seseorang, keluarga, kelompok, massa dan masyarakat manusia, supaya dapat mempengaruhi tingkah lakunya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Ketika nabi besar Muhammad saw. diutus ke muka bumi oleh Allah swt. maka terlihat dengan jelas bahwa misi beliau dengan membawa agama Islam itu, untuk kepentingan umat manusia sendiri dan bahkan sebagai rahmatan lil 'alamin.

Kalau kita telusuri sejarah Islam dan memperhatikan rahasia keberhasilan dakwah beliau itu, maka dapat kita simpulkan ke dalam tiga hal pokok, yaitu: Subjek Dakwah, Materi Dakwah dan Metode Dakwah yang menunjukkan betapa pentingnya pelaksanaan dakwah sepanjang masa dalam berhadapan atau menghadapi objek yang selalu berkembang dan semakin bervariasi. Lebih-lebih di zaman kemajuan seperti sekarang ini, maka dakwah tidak hanya makin penting artinya, malahan juga makin dirasa perlu pemekaran meto¬denya sesuai dengan tuntutan zaman. Manusia sebagai objek dakwah, yang mula-mula hanya bermasyarakat primitif kemudian berkembang menjadi agraris, seterusnya menjadi masyarakat industri dan servis tentu memerlukan penanganan khusus karena mereka juga mempunyai ciri-ciri, sifat dan karakteristik yang khusus. Karena pentingnya dakwah, maka Nabi Muhammad saw. menghukuminya dengan wajib (fardlu).

Bagi umat Islam yang memiliki kecakapan, memenuhi persyaratan-per-syaratan baik imani, islami, ilmi dan khuluki, maka berdakwah baginya adalah Fardlu Kifayah dengan predikat Da'in. Sedang. kan predikat kedua dengan hukum Fardlu 'Ain adalah bagi seluruh pribadi muslim dan disebut Ra'in, karena mampu dan bisa.dilaksanakan oleh siapa saja, di mama saja dan kapan pun. Mereka itulah, baik yang berpredikat Da'in maupun dengan sebutan Ra'in, adalah subjek dakwah.

SUBJEK DAKWAH
Bahwa tugas berdakwah itu wajib, sudahlah jelas. Bahwa tujuan dakwah adalah untuk memperbaiki masyarakat dan ingin agar ajaran Islam meresapi kehidupan masyarakat manusia, menjadi anutan dan applied dalam tata kehidupan kemanusiaan, juga tidak perlu dijelaskan lagi. Maka tugas pelaksana dakwah adalah hubungan masyarakat yang berperan sebagai konsultan agama, sebagai pemimpin dan berfungsi sebagai dokter atau psikiater (psychiater), dalam rangka ikut serta memecahkan problema kehidupan masyarakat manusia yang sangat luas dan multikompleks itu. Sikap seorang da'i adalah,
bahwa akan banyak lalat yang bisa ditangkap dengan gula daripada diperangkap dengan racun. Sebab dengan demikian seorang da'i akan mampu memikat pencintanya melalui sistem yang digariskan AlQuran yaitu bilhikmati wa almau'izlatil hasanah. Jenis ini, semacam profil da'i yang dikehendaki oleh dunia modern, yang memahami kondisi dan situasi masyarakat yang menjadi sasarannya melalui pendekatan-pendekatan psikologis, sosiologis, politis, ekonomis, kultural dan sebagainya.

Untuk itu, seorang da'i juga harus diperlengkapi dengan pengetahuan yang cukup luas karena tugasnya sangat berat. Sebab manusia yang berada dalam situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda-beda itulah maka da'i hams mampu berinteraksi dengan alam lingkungan itu. Untuk interaksi ini, manusia perlu ketegasan dalam sikap dan wataknya. Jadi, tugas da'i sebagai psikolog (psycholog) adalah membentuk watak manusia sesuai dengan ajaran Islam. Atau memberikan kemampuan dan kekuatan bagi mereka agar tangguh dalam menghadapi situasi dan kondisi alam lingkungannya, tidak mudah terpengaruh atau terbawa oleh anus dan tetap teguh dengan pendirian agamanya. Tegasnya, seorang da'i hams mampu membentuk manusia yang berwatak dengan moral agama. Bila watak yang demikian itu dapat dibentuk oleh subjek dakwah, maka Insya Allah objek dakwah itu akan dapat dijinakkan, digerakkan dan diarahkan yang pada gilirannya akan dapat dibentuk dan diperbaiki sesuai dengan ajaran agama (tujuan dakwah).

Sebagai Da'i, pelaksana dakwah sekurang-kurangnya harus:
1. sanggup menyelesaikan beban yang ditugaskan kepada diri¬nya, mempertahankan agama sebagai kebenaran mutlak, dan menyebarluaskan nilai-nilai keagamaan sebagai keyakinan dan prinsip hidup yang benar.
2. mampu mengubah hidup manusia ini lebih berharga (bernilai) dan memberi kemampuan kepada mereka untuk menjadikan hidupnya di dunia ini sebagai investasi untuk kehidupannya di akhirat kelak.
3. pribadi atau individu yang selalu eksis dan konsisten terhadap tujuan dakwah, fungsi dan peranannya.

Sebagai Ra'i, pelaksana dakwah harus memperhatikan prinsip-prinsip kepem-impinan yang baik, misalnya:
1. sifat terbuka
2. berani berkorban
3. aktif berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat
4. sanggup menjadi pelopor dan perintis dalam kebajikan
5. mengembangkan sifat-sifat ko-operatif, kemanusiaan dan sikap-sikap toleransi, kebijaksanaan dan keadilan sosial
6. tidak menjadi parasit atau membebani masyarakat
7. percaya diri dan yakin akan kebenaran yang dibawanya
8. optimisme dan tidak mudah putus asa.

Dengan semangat dan jiwa agama yang mantap dalam diri pelaksana (subjek) dakwah, maka baik da'i maupun ra'i akan berani menentukan sikap hidupnya secara agamis sehingga tujuan akhir dakwah sebagai jalan yang terbaik bagi kehidupan umat manusia benar-benar dapat diwujudkan di tengah-tengah masyarakat manusia yang menjadi objeknya.

10.40 | 0 komentar

PENGERTIAN JIWA DAN ROH

Written By Rudianto on Minggu, 25 Maret 2012 | 05.28


PENGERTIAN JIWA DAN ROH
Jiwa, dalam bahasa Arab disebut Nafs, dan dalam bahasa Yunani disebut Psyche yang diterjemahkan dengan jiwa atau Soul dalam bahasa Inggris. Sedangkan Roh biasanya diterjemahkan dengan Nyawa atau Spirit.

Jadi, sebenarnya, sejak manusia mengalami proses kejadian Sampai sempurna menjadi janin dan dilahirkan ke atas dunia, telah ada unsur lain yang bukan fisik material yang ikut menyusun semua peristiwa penciptaan itu. Justru adanya unsur non-fisik inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya sebagai satu kelebihan. Kelebihan ini akhirnya tampak nyata pada norma-norma nafsiyah (psikologis) dengan segala kegiatannya.

Jadi, apa jiwa itu?
Plato (477-347 sM) berpendapat bahwa jiwa itu adalah sesuatu yang immaterial, abstrak dan sudah ada lebih dahulu di alam praserisoris. Kemudian is bersarang di tubuh manusia dan mengambil lokasi di kepala (logition, pikiran), di dada (thumeticon, kehendak) dan di perut (abdomen, perasaan). Pendapat ini kemudian dikenal dengan istilah Trichotomi. Menurut Plato, ketiga unsur inilah yang mendasari seluruh aktivitas manusia. Dengan kata lain, seluruh kegiatan hidup kejiwaan manusia mempunyai dasar yang kuat pada ketiga unsur tersebut. Sejajar dengan trichotominya, Plato mengatakan bahwa manusia akan memiliki sifat Bijaksana (jika pikiran menguasai dirinya) dan Ksatria atau Berani (jika kehendak menguasai dirinya) serta Kesederhanaan (jika perasaannya tunduk pada akalnya). Maka apabila ketiga sifat itu menguasai manusia,berarti ia telah memiliki kesadaran sebagai manusia. Sadar artinya mengerti secara aktif. Dengan kesadaran inilah, manusia selalu cenderung untuk menentukan sendiri bentuk-bentuk aktivitas hidupnya dan tingkah-laku yang diwujudkannya, maupun finalita dalam kehidupannya.

Aristoteles (384-322 sM) berpendapat lain dari gurunya. Menurut dia jiwa itu adalah daya hidup bagi makhluk hidup. Jadi, di mana ada hidup di situlah ada jiwa. Daya kehendak dan mengenal merupakan dua fungsi jiwa manusia. Kemudian pendapatnya ini dikenal dengan istilah dichotomi. Selanjutnya dia menjelaskan, bahwa jiwa sebagai sesuatu yang abstrak (dunia idea) halus menempati atau berada dalam tubuh (dunia materi) menjadi daya hidup yang nyata, (realita). Karena realisasi dari jiwa ini memang merupakan tujuan untuk membentuk sesuatu (tingkah laku) menurut hakikatnya yang sudah ditentukan terlebih dahulu untuk mencapai suatu tujuan, maka ia menjadi. Menjadi di sini berarti kemungkinan untuk berwujud. Artinya, semua potensi yang ada akan menampak nyata (aktual). Jiwa itulah potensi yang ada dalam tubuh sehingga mengaktualisasi dalam bentuk tingkah-laku. Sebelum tingkah laku itu terwujud, ia masih merupakan kemungkinan (potensial) dan setelah terbentuk atau terjadi maka ia disebut Hule. Setiap kejadian (hule) pasti ada yang menjadikan (Murphe) dengan demikian, dalam diri manusia terdapat unsur Hule-Morpheisme.

Rene Descartes (1596-1656 M) berpendapat bahwa jiwa merupakan Zat Rohaniah, dan tubuh adalah Zat Jasmaniah. Dari zat rohaniah inilah munculnya tingkah laku manusia yang disebut tingkah laku rasional. Sedangkan dari zat jasmaniah itu muncul tingkah laku mekanis. Antara dua zat kejiwaan dan zat ketubuhan itu berada dalam perbedaan yang terpisah, tetapi keduanya dihubungkan dengan adanya kelenjar Pinealis, sehingga rangsang-rangsang ketubuhan dapat diteruskan melalui kelenjar ini ke aspek kejiwaan dan sebaliknya. Selanjutnya dia menyatakan bahwa jiwa manusia berpokok pada kesadaran atau akal pikirannya, sedangkan tubuhnya tunduk kepada hukum-hukum alamiah dan terikat kepada nafsu-nafsunya. Paham ini dikenal dengan Dualisme.
Selain Descartes ada sarjana yang berpendapat bahwu untura ketubuhan dan kejiwaan (jiwa dan raga) itu tidak dapat bedakan karena keduanya merupakan kesatuan secara interaksi, dan tidak saling terpisah, tetapi merupakan satu hubungan kausalitas.
Pendapat ini kemudian dikenal dengan teoriMonisme.

Kemudian, apa perbedaan jiwa dengan roh?
Diambil rata, membicarakan masalah roh itu memang kurung menarik perhatian, kecuali beberapa orang tertentu yang memperhatikan dirinya serta ingin memahami fungsi roh pada tubuhnya. Yang mempersoalkan roh pertama kali adalah kaum Yahudi, yang dijawab oleh wahyu:"Katakanlah Muhammad, bahwa roh itu menjadi urusan Tuhanku saja." (QS Al Isra': 85).

Mengapa demikian?
Memang, sampai sekarang masalah roh merupakan ruang kosong dalam analisis dunia sains. Hakikat wujudnya tidak terjaring oleh kemampuan penalaran rasional manusia, apalagi hanya dengan pengamatan mata telanjang. Berpijak pada ayat di atas, para mufassir mencoba memberikan sedikit pengertian tentang roh ini, antara lain:
Ibnu Qayyim al Jauzy menyatakan pendapatnya, bahwa, roh merupakan jisim nurani yang tinggi, hidup bergerak menembusi anggota-anggota tubuh dan menjalar di dalam diri manusia. Kalau tubuh sehat dan menerima bekas-bekas dari jisim halus ini, maka ia akan tetap kekal berjalin dengan tubuh dan menghasilkan beberapa daya atau kemampuan rohaniah. Sebaliknya kalau tubuh itu rusak, maka ia melepaskan diri dan berpisah menuju alam arwah. Akan tetapi ia tidak musnah. Yang mati itu adalah nafs. Jadi, perbedaan antara nafs dan roh adalah perbedaan dalam sifatnya.

Imam Al Gazaly berpendapat bahwa roh itu mempunyai dua pengertian; Roh Jasmaniah dan Roh Rohaniah. Roh jasmaniah ialah zat halus yang berpusat di ruangan hati (jantung)serta menjalar pada semua urat nadi (pembuluh darah) tersebut,- ke seluruh tubuh. Karenanya manusia bisa bergerak (hidup) dan dapat merasakan berbagai perasaan serta bisa berpikir, atau mempunyai kegiatan-kegiatan hidup kejiwaan. Sedangkan roh rohaniah adalah bagian dari yang ghoib. Dengan roh ini manusia dapat mengenal cirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya serta menyadari keberadaan orang lain, (berkepribadian, ber-Ketuhanan dan berperikemanusiaan), serta bertanggung jawab atas segala tingkah-lakunya. Roh inilah yang memegang komando dalam seluruh hidup dan kehidupannya, karena roh ini yang menerima perintah dari Allah dan larangan-Nya. Tetapi ia bukan jisim, bukan nafs, dan bukan sesuatu yang melekat pada lainnya. Ia merupakan substansi yang wujud, berdiri sendiri, diciptakan, oleh karenanya hanya menjadi urusan Penciptanya saja.
Prof. Dr. Syekh Mahmoud Syaltout mengatakan bahwa Roh itu memang sesuatu yang ghoib dan belum dibukakan oleh Allah bagi manusia. Akan tetapi pintu penyelidikan tentang hal-hal yang ghoib masih terbuka karena tidak ada nash agama yang m'enutup kemungkinannya. Selanjutnya dia menegaskan bahwa Roh merupakan sesuatu kekuatan ghoib yang menyebabkan -kehidupan pada makhluk hidup. Roh (faktor X) inilah yang berfungsi sebagai penegak nafs. Dalam Alkuran' (Quran) ada 19 ayat tentang roh dengan konteks pembicaraan yang berbeda-beda. Para ulama pun tidak sampai dengan tegas menyatakan pendapatnya apakah roh itu sama dengan nafs, sesuku dengan tubuh, suatu sifat, substansi atau atom yang terlepas samasekali dengan lainnya. Sedangkan ayat yang menyatakan bahwa setelah penciptaan tubuh fisik ini sempurna kemudian Allah meniupkan roh-Nya (Al Hijr: 29), menurut pendapat yang lebih bersifat psikis adalah, terwujudnya pengaruh roh itu pada jasad sehingga jasad kasar ini berfungsi dan melakukan perannya, baik yang berhubungan dengan aspek kejiwaan maupun aspek ketubuhan.
Mempersoalkan tentang sesuatu yang sifatnya ghaib seperti jiwa itu terasa agak ganjil bagi sementara orang, karena, orang
hanya akan mengira-ngirakan kepada sesuatu yang tidak dapat dipegang, diraba, dilihat, ditimbang, diukur bahkan abstrak secara total. Dugaan itu ada benarnya, tetapi, banyak salahnya. Jiwa sebagai sesuatu yang abstrak, bersifat subjektif, bebas dan pribadi, dapat menimbulkan kesadaran, tapi memerlukan hubungan dengan fisik (tubuh). Karenanya ia dapat dipelajari bagaimananya dan tidak dapat diketahui apanya, kebalikan dari wujud Tuhan yang dapat dipelajari apa (wujud)-nya tetapi tidak bisa diketahui bagaimananya. Berbicara tentang manusia dari kejadiannya, tidak dapat terlepas dari pada hukum-hukum penciptaan keseluruhannya. Setiap insan yang beriman sependapat bahwa manusia merupakan makhluk yang diciptakan, artinya bukan ada dengan sendirinya. Akan tetapi belum semua manusia sependapat bahwa penciptaan atas manusia itu meliputi jasmani-rohani, lahir-batin, jiwa-raganya, atau keseluruhannya secara utuh. Berbeda dengan logika semu yang ditarik-tarik oleh pola pemikiran insani dalam menetapkan adanya Allah sebagai Maha Pencipta, maka Al Quran ,memakai dalil-dalil aksioma (patokan-patokan yang berdasar kenyataan) dengan tekanan-tekanan yang jelas, sederhana dan mudah dicerna oleh segala tingkat pemikiran mulai dari pemikiran kampungan sampai ke pemikiran filosofis. Orang yang berpikir sederhana pun dapat mengetahui dalil-dalil tersebut dalam garis-garis yang pokok karena kesederhanaan, kejelasan dan keaksiomaan yang terkandung di dalam dalil-dalil itu sendiri. Adapun bagi orangorang alim dan cerdik pandai, maka dalil-dalil tersebut dapat diperdalam secara terinci, yang secara keseluruhan dapat membentuk suatu rumusan pikiran yang tersusun, sehingga pengingkaran terhadapnya sama saja dengan mengingkari terhadap 2 x 2 = 4. Tentang kejadian manusia jasmani dan rohani kita dihadapkan kepada kenyataan adanya aktualita Bina Cipta Ilahi yang bersumber pada dalil aksiomatis ini:

a. Dalil Penciptaan (ikhtira')
Tuhan adalah Pencipta Tunggal atas adanya segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tidak (lahir-batin). Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al Mu'min: 62

b. Dalil Pembinaan (al 'inayah)
Tuhan bukan hanya pencipta kemudian setelah jadi lalu dibiarkan begitu saja berjalan tanpa hukum dan aturan-aturan tertentu. Balk makhluk hidup ataupun benda mati, diikat oleh hukum dan aturan tertentu yang dicipta sebagai proses. Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al A'la: 2-3.

c. Dalil Keteraturan (an nidham )
Semua ciptaan Tuhan berada dalam proses (tidak statis), serta berada dalam kadar sebab akibat tertentu. Segala benda itu punya tabiat sendiri-sendiri, berproses secara tetap dan berulang. Kalau keteraturan ini tidak ada, manusia tidak mungkin punya jiwa, dan sebagainya. Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al Furgan: 2.

Adapun penjabaran dan pengembangan proses tentang adanya hukum dan aturan itu, diserahkan kepada kemampuan akal intelek manusia untuk menerjuni selidik sedalam-dalamnya, karena Alkuran memang bukan buku pelajaran yang memuat deretan dalil-dalil fisika, kimia atau biologi, dan bukan pula buku ensiklopedi, juga bukan tujuan Alkuran untuk menuntun manusia kepada ilmu-ilmu pengetahuan melalui pengajaran. Ayat-ayat yang disusun di dalamnya lebih bersifat memberi isyarat akan adanya rangkaian ilmiah yang terdapat di dalam penciptaan alam semesta dan seisinya dan pada diri manusia sendiri, yang sebagian telah berhasil diungkap oleh kemampuan dan potensi psikis manusia, walaupun masih lebih banyak yang belum tergali.
"Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alkuran (Quran) itu adalah benar." (Fushshilat: 53)

Menanggapi ayat seperti ini, orang yang berpikiran seder-liana pun mudah menangkap bahwa apa yang terdapat pada penciptaan alam semesta dan diri manusia itu sendiri merupakan tanda-tanda adanya Kehendak- Kekuasaan- Kebijaksanaan-ilmuKetelitian- Keseimbangan-Kerapian- Kesengajaan- yang semuanya itu menguatkan adanya Penciptaan yang Dahsyat. Untuk mengarahkan dan memelihara pemahaman semacam inilah kepada manusia diberikan kesadaran yang berpusat pada adanya Jiwa (akal pikiran, kehendak-perasaan) yang dengannya pula manusia dilimpahi kepercayaan serta dibebani kewajiban sehingga hubungan manusia dengan Tuhannya menimbulkan tingkah laku bermotivasi, yang dilatarbelakangi nilai-nilai ibadah.

Tentang mengapa Allah memilih manusia sebagai pelaksana dari amanat-Nya itu adalah karena manusia mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. (Baca: Surat Al Isra': 70). Dan kelebihan itu tampak pada adanya normanorma nafsaniyah (psikologis) dengan segala potensi yang mendukungnya, sehingga manusia yang sadar sepenuh jiwanya, akan mengarahkan seluruh kegiatan hidup kejiwaannya itu menuju taqwa.

"Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafsin wahidah dan menciptakan dari padanya jodohnya, dan mengembangbiakkan dari kedua lakilaki dan wanita yang banyak." (An Nisa': 1)
H. Hassan dan Al Jawahir at Thanthawy, menafsirkan Nafsin Wahidah sama dengan Nabi Adam. Jodohnya ialah Hawa, diciptakan dari Adam (padanya). Demikian pula tafsir Alkuran Departemen Agama Republik Indonesia yang diperkuat dengap hadits riwayat Bukhari Muslim. Akan tetapi dinyatakan pula penafsiran lain yang berpendapat bahwa nafsin-wahidah adalah unsur yang serupa, yakni tanah, yang daripadanya Adam diciptakan.
Maulawi Muhammad Ali (Ahmadiyah Lahore) dalam Quran Suci terjemahan Jawa mengulas, pertama, menurut Abu Ishaq bahwa di kalangan orang Arab perkataan nafs dipakai dua macam arti, yaitu seperti Roh atau Jiwa. Kedua, berarti: Kesatuan sesuatu, berserta sarinya, yang dari padanya juga terjadinya jodoh. Jadi, nafs di sini berarti jenis yang berarti sari (sari yang sejenis: an Nahl, 72).
H. Zainuddin Hamidy cs dalam tafsir Qurannya berpendapat, bahwa nafs berarti jenis atau bangsa manusia.
Syekh M. Abduh dalam tafsir Al Manar menerangkan bahwa nafs wahidah itu bukan Adam, buktinya ada ayat wa batstsa min humaa rijalan katsiran wa nisaa an. Kata Sayid Rasyid Ridla, kalau ditafsirkan dengan Adam, tidak ada alasan dari nash ayat melainkan hanya menerima dari masalah bahwa Adam adalah ayah sekalian manusia.
Prof. Hasby .Ash Shiddiqi dalam tafsir An Nur hanya mengatakan diri yang satu yaitu insan yang dari padanya asal keturunan yang lain.
Al Fatkhur Razy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kejadian Adam dan Hawa tidak didapat suatu dalil yang qath'i (pas), bagaimananya dan apanya, sebab Alkuran hanya menerangkan secara global saja. Tentang penafsiran selanjutnya tidak sampai kepada asal kejadian itu.

Terlepas dari bermacam-macamnya penafsiran, kami memilih
kepada apa yang berkaitan dengan pembahasan buku ini, yakni mod kejadian yang sejenis. yang daripadanya manusia pertama beserta jodohnya diciptakan, kemudian dari keduanya ini keturunan-keturunan yang sejenis pula (jenis insan).
Dengan demikian maka isyarat yang dapat ditangkap dari padanya dapat mengantarkan kepada pengenalan dan pengertian
kita dalam bentuk struktural dan fungsional. Sesuatu yang bisa dijelaskan dari isyarat itu dan yang telah dikembangkan bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, bahwa di dalam kerahasiaan nafsin-wahidah ini, dia bersifat Hereditair, Terus-menerus berketurunan pada kesam aan jenisnya, dalam hal Ini jenis insan. (Al A'raf: 189). Tanpa kenyataan ini, maka pertemuan antara sperma dengan ovum hanyalah semata-mata pertemuan antara materi dengan materi. Di sinilah sebenarnya kita mengarahkan sekuat-kuat dugaan. bahwa misteri yang Lerkandung di dalam plasma yang mendasari sel-sel manusia fisik adalah berhubungan erat dengan kerahasiaan nafsin-wahiah ini. Teka-teki ini diperkuat lagi oleh dugaan tentang makna ayat lalu ditetapkan dan ditumpangkan [tempat ketetapan (Sulbi) dan tempat penitipan (Rahim)- Al An'am: 98, Ath Thariq: 4-10]. Dan dugaan semakin bertambah kuat, bahwa apa yang disebut Nuthfah, (sperma, air mani) itu sudah merupakan kesatuan senafas antara nafsin-wahidah dengan materi, yang dengan demikian manusia adalah tersusun dari NafsaniJasmani yang senafas, atau merupakan psiko-fisik yang membentuk pribadi sebagai totalitas. Tentang manusia fisik dari kenyataan materialnya (mani) semua kita dan ilmu kedokteran sudah memberikan pernyataan, bahwa materi yang terpancar dari sulbi laki-laki itu secara anatomis terdiri dari beberapa unsur tertentu. Akan tetapi kalau ditelusuri lebih mendalam lagi, ternyata ada kegiatan-kegiatan interaksi yang sukar diikuti dimana Alkuran memberi tekanan: Maka hendaklah manusia memperhatikan
(QS AthThariq: 5).

dan: Sudahkah kamu perhatikan apa yang kamu pancarkan itu. Al Waqi'ah: 58).
Selanjutnya, sebagaimana kita maklumi bersama bahwa pertumbuhan fisik manusia berlangsung 'secara bertahap menuju kesempurnaannya, (Al Mu'minun: 12-14) dan demikian pula dengan perkembangan nafsin yang penuh kerahasiaan itu mendapatkan bagian dengan caranya sendiri dan tersembunyi untuk menuju kesempurnaannya (As Syams: 7-10).
Demikianlah pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai makhluk psiko-fisik dalam prosesnya yang kemudian menjadi pokok pembahasan psikologi. Setiap nafsani memiliki potensi, kemampuan, kegiatan, derivat (keadaan yang menurun dari satu sumber, berasal) baik ke dalam (in abstrakto) maupun ke luar (in manifesto) yang direalisasikan oleh kegiatan-kegiatan jasmaniah (in konkreto) yang kesemuanya itu, baik yang bersifat intensional atau konsepsional maupun dalam bentuk realisasi, sumbernya adalah satu, yaitu Nafs (jiwa) dalam kedudukannya sebagal individu atau pribadi, yang ditegakkan (dinafasi) oleh kekuatan metafisik yang kemudian disebut dengan Roh (spirit, nyawa) sehingga daripada kesatuan dwi-unsur ini muncullah tingkah-laku manusia yang sekarang diakui sebagai objek dari psikologi. Jadi, psikologi sekarang adalah Ilmu Nafs suatu cabang ilmu yang mempelajari tingkah laku dengan latar belakang nafs (jiwa).

PSIKOLOGI
Apakah psikologi dan apa objeknya? Jawaban pertanyaan di atas sebenarnya terdapat di dalam diri manusia sendiri, sebab bila dua orang bercakap-cakap tentang dirinya, tentang orang lain, dengan tidak disadari sebetulnya mereka telah berpsikologi dalam praktik. Hampir seluruh isi dari pembicaraan kita sehari-hari adalah masalah-masalah psikologi. Sebab, dimana ada manusia di situlah psikologi digunakan. Akan tetapi psikologi yang digunakan itu bersifat intuitif, belum scientific. Baru berdasarkan pengalaman dan belum berdasarkan ilmiah. Misalnya kita secara kebetulan memperoleh kesan-kesan umum mengenai tingkah-laku dan sifat-sifat kepribadian .seseorang, kita sudah berpsikologi intuitif. Akan tetapi untuk disebut berpsikologi ilmiah, kita harus bisa mengumpulkan keterangan mengenai kepribadian orang itu dilengkapi dengan metode-metode yang lebih objektif kemudian disusun secara sistematis
rasional.
Jadi, apa psikologi itu sebenarnya? Ilmu adalah dinamis. Karenanya setiap ilmu mempunyai ciri khas, yaitu terus-menerus mendefinisikan diri. Definisi lama diganti dengan batasan haru sesuai dengan kemajuan zaman dan perubahan jalan pikiran manusia, terutama ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Teryata psikologi juga mengikuti jejak itu.

Psikologi (Psyche dan Logos) diterjemahkan dengan Ilmu Jiwa yang artinya sama yaitu Ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Hanya istilah psikologi merupakah istilah scientific, tetapi Ilmu Jiwa lebih bersifat umum, dan istilah sehari-hari yang sudah banyak dikenal orang. Kemudian, dalam sejarah perkembangannya, arti psikologi menjadi Ilmu yang mempelajari Tingkah laku-manusia. Ini disebabkan oleh jiwa yang mengandung anti yang abstrak itu sukar dipelajari secara objektif. Di samping itu keadaan jiwa seseorang melatarbelakangi timbulnya hampir seluruh tingkah lakunya.

Sekalipun sekarang ini Para sarjana sudah sepakat bahwa, objek dari psikologi adalah tingkah laku, tetapi mengenai tingkah laku yang bagaimana yang dipelajari psikologi, masih terus menjadi bahan penyelidikan dan pembahasan dari ilmu jiwa. Para ahli yang menitikberatkan pembahasannya pada tingkah laku manusia dewasa, normal dan berbudaya, dengan sifat-sifat dan ciri-ciri yang berlaku pada setiap individu manusia umumnya, maka hal ini menjadi pokok bahasan PSIKOLOGI UMUM.

Apabila penyelidikan tingkah laku individu itu dilihat secara lebih mendalam dan dari jarak yang lebih dekat dihubungkan dengan situasinya sehari-hari dan lingkungan serta pengalaman-pengalaman pribadinya, maka sekarang sudah menjadi wewenang PSIKOLOGI KEPRIBADIAN. Dengan psikologi ini kita alcan mengenal watak, karakter, tipe dan kedirian masing-masing individu.
Di sisi lain, kepribadian seseorang tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dan berkembang secara periodik mulai sejak pranatal hingga tua, dan periode masing-masing menunjukkan tingkah laku sendiri-sendiri, sehingga ada tingkah laku anakanak, remaja, dewasa dan orang tua. Pertumbuhan dan perkembangan ini muncul dari dua kekuatan yang mempengaruhi, yaitu kekuatan dari dalam diri dan dari luar diri manusia, atau kekuatan dasar dan ajar. Persoalan ini, menjadi bahasan PSIKOLOGI PERKEMBANGAN.

Segi utama yang juga menjadi pokok bahasan ilmu jiwa modern ialah bahwa manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial. Manusia disebut manusia kalau ia sudah berhubungan dengan manusia lain. Bahkan sejak ia dilahirkan, ia membutuhkan
bergaul dengan orang-orang di sekitarnya, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Dan sejak itulah sebenarnya manusia sudah menerima kontak sosial, kemudian secara lambat laun ia mengalami perkembangan yang bukan hanya segi biologisnya tetapi juga secara psikis.. Bahkan menurut para ahli, apabila manusia tidak ada hubungan psikis antara ia dengan ibunya sejak bayi, perkembangan dan pertumbuhannya akan mengalami
hambatan untuk sekian lamanya. Kemudian, setelah ia mulai bergaul dengan kawan-kawan sebayanya dan mengadakan interaksi dengan lingkungannya, ia tidak lagi hanya menerima kontak sosial melainkan juga dapat memberikan kontak sosial. Dari situ pula ia mulai mengerti bahwa di dalam interaksi sosial itu, di dalam kelompoknya itu terdapat norma-norma yang hams dipatuhi dan memahami pula bahwa dirinya ikut serta membentuk norma-norma dan peraturan tertentu, sehinga ia
pun menyadari keberadaannya dan bahwa dirinya mempunyai
peranan, maka ia hams beradaptasi dan bersosialisasi
dengan cara mengebelakangkan keinginan dan kepentingan
Indlividualnya demi kelompoknya. Masalah ini menjadi pokok
bahasan PSIKOLOGI SOSIAL.

Bahwa manusia merupakan makhluk yang ber-Ketuhanan sebenarnya tidak usah dibuktikan lagi, seperti halnya kehidupan
psikis lainnya yang telah diselidiki dan menjadi pokok
bahasan psikologi itu.

Sebab bagi setiap manusia pada umumnya telah disadari
dan sulit sekali untuk menolak atau mengingkari adanya kepercayaan kepada Tuhan.
Memang, Tuhan itu sulit dibuktikan sem empiris eksperimental oleh mereka yang belum ber-Ketuhanan.
Ini tidak berarti bahwa Tuhan itu tidak ada. Dan bagi mereka yang belum sadar akan segi kemanusiaannya sebagai makhluk yang diciptakan, sukar sekali untuk menerima atau mengakui adanya Tuhan, jadi, berarti sulit sekali baginya untuk menerima hakikat dirinya dari segi kemanusiaannya itu. Kaum
sebenarnya tanpa disadari sudah ber-Ketuhanan walaupun dalam bentuk pertuhanan kepada benda-benda, orang-orang atau gagasan dan ideologi. Sebab hakikatnya mereka adalah orang-orang yang belum menyadari kemanusiaannya. Jadi, dengan begitu secara psikis dapatlah diakui pula bahwa segi manumit* sebagai makhluk ber-Ketuhanan itu dapat dengan sadar atau tidak sadar digerakkan oleh suatu objek yang bukan merupakan Tuhan Yang Mahaesa. Jadi, Tuhan menurut kaum atheis adalah apa yang dipercayai, apa yang mereka akui sebagai Tuhan. kenyataan ini, kesadaran ber-Ketuhanan - selain mempertuhabkab
selain Tuhan Yang Mahaesa — pengalaman beragama
yang merupakan bagian yang hadir dalarn pikiran dan perasaan itu harus dibahas dalam PSIKOLOGI AGAMA.

Lebih jauh psikologi ini mengemukakan hasil penelitiannya tentang
pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang dan bagaimana cara seseorang berpikir, berkehendak dan berperasaan tidak dapat dipisahkan dari kebertuhanannya, sebab kepercayaan kepada Tuhan itu masukke dalam konstruksi kepribadiannya atau mekanisme naluriah yang bekerja dalam dirinya.

"Barang siapa mengenal nafs-nya maka is akan kenal kepada Tuhannya."

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa beberapa aspek kejiwaan ikut menyertai kehidupan beragama. Artinya, bagaimana Pikiran, Perasaan, Kehendak (atau jiwa) seseorang secara individual terhadap Tuhannya (agamanya) dapat dilihat dari pengaruhnya pada tingkah lakunya dan sikap hidupnya. Untuk menyeru, mengajak, memanggil jiwa manusia ini, atau meluruskan, mengubah atau mengarahkan tingkah lakunya dan sikap hidupnya ke jalan Allah, maka tugas ini adalah wewenang Ilmu Dakwah.
05.28 | 4 komentar
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahu. (QS. Al-Baqarah:261)

DONASI

TEBAR DAKWAH FILM ISLAM

Teknik Support Streaming

DJ ONLINE

IP

Visitor

free counters

TAFSIR IBNU KATSIR

NURIS TV

AGENDA TV

STREAMING RADIO RUQO FM

STREAMING RADIO RUQO FM
Radio Dakwah Ruqyah Syariyyah

RUQO FM

Server Luar Negeri

Dengarkan Nurisfm Disini

Total Tayangan Halaman

Pengunjung