*Diantara Salah Satu Obat Syar'i Mengobati Hati adalah Terapi Al-Qur'an Al-Karim*
Allah Ta'ala berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْـقُرْاٰ نِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّـلْمُؤْمِنِيْنَ ۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَا رًا
wa nunazzilu minal-qur`aani maa huwa syifaaa`uw wa rohmatul lil-mu`miniina wa laa yaziiduzh-zhoolimiina illaa khosaaroo
"Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur'an itu) hanya akan menambah kerugian."
(QS. Al-Isra' 17: Ayat 82)
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Asy-Sya'rawi -semoga Allah Ta'ala merahmatinya berkata:
Ayat ini memberikan kepada kita dua tipe orang yang menerima Al-Qur'an. Jika diterima oleh orang Mukmin, Al-Qur'an menjadi obat dan rahmat baginya. Dan jika diterima oleh orang zhalim, Al-Qur'an menjadi kerugian baginya. Al-Qur'an menyebut orang-orang zhalim secara spesifik untuk menjelaskan bahwa kezaliman merekalah yang menyebabkan mereka tidak bisa mengambil manfaat dari Al-Qur'an. Sebab, esensi Al-Qur'an itu kebaikan, bukan kerugian.
Sebelumnya, pernah kita jelaskan bahwa perbuatan itu kadang sama, tetapi orang yang menerima perbuatan itu berbeda-beda, dan pengaruhnya, berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain.
Air putih misalnya. Jika diminum oleh orang sehat, maka dia akan mendapatkan kenikmatan dan kesegaran padanya. Tetapi jika diminum oleh orang sakit, maka dia akan mendapatinya pahit dan berlendir. Airnya sama, tetapi reaksi orang terhadap air itu berbeda-beda. Begitu juga lemak. Jika dimakan oleh orang sehat, maka akan bermanfaat baginya dan menambah kekuatan
serta kebugarannya. Tetapi jika dimakan oleh orang sakit, maka akan memperparah sakitnya dan mendatangkan padanya penyakit baru disamping penyakitnya yang lama.
Sebelumnya pernah kita jelaskan, dalam kisah masuk Islamnya Umaral-Faruq r.a., bahwa ketika menerima al-Qur'an dengan ruh kekufuran dan pembangkangan, dia membenci dan berpaling darinya. Tetapi ketika
dia menerimanya dengan ruh cinta, belas kasih, dan kelembutan kepada adik perempuan yang telah dilukai pada wajahnya, dia merasa kagum dan akhirnya beriman.
Jadi, kebersihan tabiat dan kerusakannya memiliki peran dalam menentukan bagaimana manusia menerima al-Qur'an dan terpengaruh olehnya. Alangkah serupanya masalah ini dengan masalah optimisme
dan pesimisme. Jika di hadapanmu ada sebuah gelas yang berisi air setengah, maka orang yang optimis akan mengarahkan pandangannya pada separuh yang terisi, sementara orang yang pesimis akan mengarahkan pandangannya pada separuh yang kosong. Keduanya benar, tetapi tabiat keduanya berbeda.
Al-Qur'an telah membahas masalah bagaimana manusia menerima al-Qur'an ini dalam firman Allah Ta'ala ,
وَاِ ذَا مَاۤ اُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ اَيُّكُمْ زَا دَتْهُ هٰذِهٖۤ اِيْمَا نًا ۚ فَاَ مَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فَزَا دَتْهُمْ اِيْمَا نًا وَّهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ
wa izaa maaa unzilat suurotun fa min-hum may yaquulu ayyukum zaadat-hu haazihiii iimaanaa, fa ammallaziina aamanuu fa zaadat-hum iimaanaw wa hum yastabsyiruun
"Dan apabila diturunkan suatu surat maka di antara mereka (orang-orang munafik ada yang berkata, Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini? Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya dan mereka merasa gembira."
(QS. At-Taubah 9: Ayat 124)
Allah Ta'ala berfirman:
وَاَ مَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ فَزَا دَتْهُمْ رِجْسًا اِلٰى رِجْسِهِمْ وَمَا تُوْا وَهُمْ كٰفِرُوْنَ
wa ammallaziina fii quluubihim marodhun fa zaadat-hum rijsan ilaa rijsihim wa maatuu wa hum kaafiruun
"Dan adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, maka (dengan surat itu) akan menambah kekafiran mereka yang telah ada dan mereka akan mati dalam keadaan kafir."
(QS. At-Taubah 9: Ayat 125)
Ayatnya sama, tetapi tabiat penerimanya berbeda-beda. Orang mukmin menerimanya dengan tabiat yang bersih, sehingga keimanannya bertambah karenanya. Dan orang kafir menerimanya dengan tabiat yang rusak, sehingga kekufurannya bertambah karenanya. Jadi, problem yang timbul dalam menerima kebenaran terletak pada kemampuan menerima yang rusak.
Dari sini kita katakan: Jika engkau melihat kepada kebenaran, makajanganlah sekali-kali engkau melihatnya, sedangkan dalam jiwamu terdapat kebatilan yang engkau pegangi. Engkau harus mengeluarkan kebatilan yang ada padamu terlebih dahulu. Kemudian bandingkan dan timbanglah perkara-perkara yang ada.
Masalah ini juga muncul dalam firman Allah Ta'ala :
وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّسْتَمِعُ اِلَيْكَ ۚ حَتّٰۤى اِذَا خَرَجُوْا مِنْ عِنْدِكَ قَا لُوْا لِلَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ مَا ذَا قَا لَ اٰنِفًا ۗ اُولٰٓئِكَ الَّذِيْنَ طَبَعَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَ اتَّبَعُوْۤا اَهْوَآءَهُمْ
wa min-hum may yastami'u ilaiik, hattaaa izaa khorojuu min 'indika qooluu lillaziina uutul-'ilma maazaa qoola aanifaa, ulaaa`ikallaziina thoba'allohu 'alaa quluubihim wattaba'uuu ahwaaa`ahum
"Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu (Muhammad), tetapi apabila mereka telah keluar dari sisimu, mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu (sahabat-sahabat Nabi), Apakah yang dikatakannya tadi? Mereka itulah orang-orang yang dikunci hatinya oleh Allah, dan mengikuti keinginannya."
(QS. Muhammad 47: Ayat 16)
Allah Ta'ala berfirman:
وَا لَّذِيْنَ اهْتَدَوْا زَا دَهُمْ هُدًى وَّاٰتٰٮهُمْ تَقْوٰٮهُمْ
wallaziinahtadau zaadahum hudaw wa aataahum taqwaahum
"Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka."
(QS. Muhammad 47: Ayat 17)
Perkataan mereka, "Apa yang dikatakannya tadi?” menunjukkan bahwa mereka tidak memerhatikan al-Qur'an dan menganggapnya sebagai sesuatu
yang tidak penting.
Begitu pula dalam firman Allah Ta'ala:
وَلَوْ جَعَلْنٰهُ قُرْاٰ نًا اَعْجَمِيًّا لَّقَا لُوْا لَوْلَا فُصِّلَتْ اٰيٰتُهٗ ۗ ءَاَعْجَمِيٌّ وَّعَرَبِيٌّ ۗ قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا هُدًى وَشِفَآءٌ ۗ وَ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ فِيْۤ اٰذَا نِهِمْ وَقْرٌ وَّهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۗ اُولٰٓئِكَ يُنَا دَوْنَ مِنْ مَّكَا نٍۢ بَعِيْدٍ
walau ja'alnaahu qur`aanan a'jamiyyal laqooluu lau laa fushshilat aayaatuh, a a'jamiyyuw wa 'arobiyy, qul huwa lillaziina aamanuu hudaw wa syifaaa`, wallaziina laa yu`minuuna fiii aazaanihim waqruw wa huwa 'alaihim 'amaa, ulaaa`ika yunaadauna mim makaanim ba'iid
"Dan sekiranya Al-Qur'an Kami jadikan sebagai bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab niscaya mereka mengatakan, Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya? Apakah patut (Al-Qur'an) dalam bahasa selain bahasa Arab sedang (Rasul), orang Arab? Katakanlah, Al-Qur'an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur'an) itu merupakan kegelapan bagi mereka. Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh."
(QS. Fussilat 41: Ayat 44)
Contoh bagus tidaknya penerimaan dari kehidupan kontemporer kita adalah siaran televisi. Kadang engkau menerimanya di rumahmu dan mendapatinya sangat jelas dalam serial atau acara tertentu, sehingga engkau menikmati apa yang engkau saksikan. Kemudian engkau bertemu dengan seorang sahabat, dan dia mengeluh kepadamu tentang buruknya siaran dan tidak jelasnya gambar. Ini menegaskan bagimu bahwa siaran sebenarnya bagus, hanya saja kerusakan terletak pada alat penerima yang dimilikinya. Maka yang pertama kali harus engkau lakukan adalah memperbaiki alat penerima yang engkau miliki, agar engkau dapat menerima ayat-ayat Allah dengan benar.
Jadi, firman Allah Ta'ala, "Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an sesuatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman," tergantung pada kebersihan tabiat dan bagusnya penerimaan dan pemahaman terhadap firman Allah Ta'ala.
"Obat," artinya: engkau mengobati penyakit yang ada agar sembuh darinya. "Dan rahmat," artinya: engkau membuat sarana-sarana perlindungan yang menjamin agar penyakit itu tidak kembali lagi kepadamu.
Jadi, rahmat itu perlindungan dan obat itu kesembuhan.
Tetapi, apakah obat Al-Qur'an itu obat moril bagi penyakit
hati dan gangguan-gangguan jiwa, untuk membebaskan seorang dari kesedihan, duka cita, dan cemburu, serta mencabut rasa iri, dengki, dan penyakit-penyakit spiritual lainnya yang ada dalam jiwanya? Ataukah ia juga merupakan obat bagi perkara-perkara materiil dan penyakit-penyakit tubuh?
Pendapat yang kuat-bahkan terbukti kebenarannya-yang tidak ada keraguan di dalamnya: Al-Qur'an adalah obat dengan pengertian yang umum dan komprehensif bagi kata ini. Ia adalah obat bagi perkara-perkara materiil, sebagaimana ia adalah obat bagi perkara-perkara moril.
Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri ra bahwa dia keluar memimpin sebuah pasukan. Mereka melewati suatu kaum dan meminta makanan kepada kaum itu, tapi kaum itu menolak untuk
memberikan makanan kepada mereka. Kebetulan pemimpin kaum itu tersengat binatang, dan mereka membutuhkan orang yang bisa meruqyah-
nya. Mereka pun meminta siapa saja yang bisa mengobatinya. Para sahabat berkata, "Kami tidak mau meruqyah kecuali dengan upah." Yang demikian
itu karena para sahabat melihat kebakhilan mereka dan keengganan mereka untuk menghormati para sahabat. Sesuai dengan firman Allah Ta'ala,
فَا نْطَلَقَا ۗ حَتّٰۤى اِذَاۤ اَتَيَاۤ اَهْلَ قَرْيَةِ ٭ِ سْتَطْعَمَاۤ اَهْلَهَا فَاَ بَوْا اَنْ يُّضَيِّفُوْهُمَا فَوَجَدَا فِيْهَا جِدَا رًا يُّرِيْدُ اَنْ يَّـنْقَضَّ فَاَ قَا مَهٗ ۗ قَا لَ لَوْ شِئْتَ لَـتَّخَذْتَ عَلَيْهِ اَجْرًا
fantholaqoo, hattaaa izaaa atayaaa ahla qoryatinistath'amaaa ahlahaa fa abau ay yudhoyyifuuhumaa fa wajadaa fiihaa jidaaroy yuriidu ay yangqodhdho fa aqoomah, qoola lau syi`ta lattakhozta 'alaihi ajroo
"Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu), lalu dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu."
(QS. Al-Kahf 18: Ayat 77)
Ketika mereka telah bersepakat dengan kaum itu atas upah berupa makanan dan kambing, seorang dari mereka meruqyah orang yang tersengat
itu dengan surat Al-Fatihah, hingga dia sembuh. Mereka pun memakan makanan dan meninggalkan kambing. Hingga mereka kembali kepada Rasulullah Saw. dan bertanya tentang kehalalan upah ini. Beliau pun bersabda,
ومن أدراك أنها رقية ؟
“Siapa yang memberi tahu engkau bahwa itu ruqyah?” Artinya: Surat Al-Fâtihah itu ruqyah yang bisa digunakan untuk meruqyah orang sakit, hingga dia sembuh dengan izin Allah. Kemudian beliau bersabda,
"Makanlah upah itu dan berilah aku bagian bersama kalian" (Diriwayatkan oleh Ahmad (III/43) dan Al-Bukhari (5736) dari Abu Said Al-Khudri)
Sembuhnya penyakit-penyakit badan (dengan Al-Qur'an) adalah sesuatu yang disebutkan dalam As-Sunnah. Dan ini bukanlah sesuatu mengherankan. Sebab, ketika engkau membaca kalamullah, maka ketahuila
bahwa yang mengucapkan kalam ini adalah Allah Ta'ala.
Dia adalah Pengatur dan Pemilik segala sesuatu. Dia melakukan apa saja di semesta sesuai kehendak-Nya. Dan dengan kata kun (jadilah), Dia melakukan apa saja yang diinginkan-Nya. Tidaklah mengherankan jika kalamullah (al-Qur'an) memberikan pengaruh pada orang sakit, hingga dia sembuh.
Ketika seorang penentang memperdebatkan masalah ini dengan seorang ulama, dia berkata kepada sang ulama, "Bagaimana mungkin orang sakit disembuhkan dengan kata-kata? Ini tidak masuk akal." Sang ulama berkata kepada penentangnya, “Diam kau, keledai!" Orang itu pun marah. Dia bertekad untuk meninggalkan tempat dengan amarah yang memuncak.
Sang ulama pun melihat kepadanya dan berkata, "Lihatlah bagaimana kata-kata berpengaruh padamu. Bagaimana menurutmu dengan kata-kata yang pengucapnya adalah Allah Ta'ala ?"
Kemudian Allah Ta'ala berfirman, "Dan itu tidak menambah orang-orang yang zhalim selain kerugian." (QS: Al-Isra' [17]: 82).
Sebab, dengan kezhaliman mereka dan penerimaan mereka terhadap anugerah-anugerah langit dengan tabiat-tabiat yang sakit dan perangkat-perangkat yang kacau balau, mereka tidak mengambil manfaat dari al-Qur'an dan memperoleh faedah dari rahmat Allah.
Allah Ta'ala berfirman:
اِنَّ هٰذَا الْقُرْاٰ نَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ وَ يُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا كَبِيْرًا ۙ
inna haazal-qur`aana yahdii lillatii hiya aqwamu wa yubasysyirul-mu`miniinallaziina ya'maluunash-shoolihaati anna lahum ajrong kabiiroo
"Sungguh, Al-Qur'an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar,"
(QS. Al-Isra' 17: Ayat 9)
Islahul Qulub
️Syeikh Mutawali Asy Sya'rawi
Rudi Abu Azka
Pustaka Ruqyah