Setiap umat berbangga dengan sejarah masa lalunya untuk menginspirasi
masa depannya. Mereka mengumpulkan manuskrip para pahlawannya, hingga
detail-detailnya untuk kemudian mereka presentasikan ke generasi
mudanya. Oleh karena itu lihatlah di Paris, museum para pahlawan mereka
berderet di setiap pojok kota. Setiap kisah kepahlawanan itu
diintegrasikan ke dalam semua proses pembelajaran generasi muda mereka.
Dengan semua sarana yang mungkin.
Bahkan bagi umat yang tidak
mempunyai sejarah panjang seperti Amerika. Mereka baru berumur tiga
abad. Tidak banyak yang bisa mereka banggakan untuk rakyatnya, tapi
mereka memahami arti penting sejarah yang membangkitkan energi positif.
Maka mereka buat seadanya dari tokoh manapun yang tersisa, hingga
berdiri salah satu museum, yaitu museum ‘Pirate’. Bayangkan, segerombol
perampok lautan mereka pajang karena tidak banyak yang bisa mereka
pajang.
Siapa yang tidak kenal kejayaan masa lalunya maka ia tidak
ada kegemilangannya masa depan yang menantinya. Ini dipahami benar bagi
umat-umat yang sadar kaidah-kaidah revolusi sosial. Maka di abad ini
layar kotak di ruang-ruang tamu kita dibanjiri film-film yang
menggambarkan keagungan pahlawan-pahlawan Barat.
Kejayaan Roma dikembalikan dengan visualisasi yang begitu detail dan memukau dalam serial seperti Rome, Los Borgias.
Caesar menjadi inspirasi para politisi pengagung republik, William
Wallace menjadi simbol sebuah perlawanan Skotlandia melawan penjajahan
Inggris. Henry VIII yang kejam itu dipoles sehalus mungkin di 4 season
serial Tudors-nya yang menjadi inspirasi restorasi keagamaan
Eropa. Dan Raja Arthur yang gemar perempuan itu menjadi begitu bijak
dalam film-film baik Excalibur, King Arthur, ataupun serial Camelot. Ia disimbolkan menjadi tokoh pengembali kejayaan Eropa dari kepingan reruntuhan kerajaan-kerajaan Roma.
Film Alexander, Spartacus, 300, menjadi wakil kegemilangan bangsa Yunani yang pernah menguasai dunia. Atau seperti juga Joan of Arc
yang menjadi wanita pahlawan Kristen Perancis; Napoleon yang
kuda-kudanya pernah menginjak-injak kehormatan Al-Azhar Mesir tidak
hanya digandrungi orang Perancis, tapi oleh umat Islam juga karena
kuatnya efek sugesti kepahlawanan yang disebar, belum lagi kisah heroik Louis IV, raja teragung mereka, dan para pemikir-penulisnya seperti Camus, Victor Hugo, Sade, Voltaire dan Rosseau.
Umat
Timur pun tidak lupa membakar obsesi dan meluaskan cakupan mimpi
generasi mudanya dengan film. Attila adalah tokoh kebanggaan ras Turki,
seperti juga Jengis Khan. Kisah para kesatria Samurai dalam film-film
Jepang benar-benar menjaga kemurnian tradisi asli mereka yang berkhidmah
hanya untuk kaisar. Ada Ghandi, Mao Tse Tung, Bruce Lee, bahkan film G-30S PKI
adalah usaha-usaha untuk menyebar nilai-nilai tertentu bagi generasi
baru. Karena bahasa tulisan tidak memasuki hati seperti bahasa gerakan.
Semua pesan itu masuk sebenar masuk ke dalam pikiran dan hati, salah
atau pun benar.
Apalagi Amerika, film-film yang mereka produksi
itu walau fiksi bukan tanpa bekas bagi jiwa. Jika tanpa sadar anak-anak
kecil kita melakukan gerakan refleks, meniru gerakan beberapa tokoh
seperti Spiderman dan Rambo. Itu bukan kebetulan. Atau
ketika para pemuda yang kepalanya tertunduk saat berbicara persaingan
dengan Amerika itupun bukan kebetulan. Karena setiap saat mata kita
mengkonsumsi semua ‘kegemilangan’ budaya mereka.
Mental manusia
itu bisa melambung tumbuh saat merasakan kebesaran sejarah bangsa
sendiri ataupun menciut kecut saat melihat ketiadaan sejarah dan justru
melihat keagungan umat lain. Itulah yang terjadi saat kecanggihan
militer dan teknologi Amerika kita saksikan di film-film seperti Hulk dan Iron Man, atau keberanian mereka di film Saving Private Ryan, The Patriot, dan serial Band of Brother.
Sedangkan film yang diputar di masyarakat muslim sejak tahun 1977 hanyalah The Message atau ar-Risâlah. Sekali-kali ditambah dengan film Umar Mukhtar,
atau film serial berkualitas rendah, baik dari akting, latar, desain
pakaian dan skenario. Terlebih jika ia film Islam, tidak memperhatikan
validitas data sejarah, bahkan tidak memberi inspirasi malah menciptakan
fitnah seperti serial Hasan dan Husein atau film serial al-Jama’ah yang mendistorsi sejarah kelahiran Ikhwanul Muslimîn dan biografi Hasan al-Banna.
Di
tengah kegersangan ini, saat generasi muda muslim pasca revolusi 2011
membutuhkan inspirasi pemimpin datanglah serial film tentang salah satu
manusia teragung sepanjang sejarah umat manusia: Umar bin Khattab.
Ia
bukanlah film asalan dan berformalitas ‘Islam’. Tapi ia adalah proyek
besar yang Insya Allah diberkahi. Hâtim ‘Ali Sang Produser dari Syria
ini tidak tanggung-tanggung dalam membuatnya. Ia carikan penulis
skenario se-kaliber Dr. Walîd Saif yang telah menulis naskah-naskah
besar seperti ‘Az-Zair as-Sâlim, al-Khansâ, as-Syajaratud Dur, Salahuddîn al-Ayyûbi, Rabi’ Cordoba
dan banyak lagi. Tidak hanya itu, semua skenario serial Umar ini telah
diteliti validitas sejarah hingga ke detail-detailnya oleh sebuah tim
yang terdiri dari ulama-ulama besar seperti: Dr. Yûsuf al-Qaradhâwi, Dr.
Salmân al-‘Audah, Dr. ‘Abdul Wahhâb at-Tharîri, Dr. ‘Ali as-Shallâbi,
Dr. Sa’ad al-‘Atîbi, Dr. Akram Dhiyâul ‘Umari.
Sepanjang sejarah
sinema Arab, belum pernah diproduksi film sebesar ini. Tempat shooting
diambil di berbagai lokasi dari Maroko hingga Syria. Dengan 322 pemeran
dari 5 benua berbeda. Film Umar berhasil membangun ulang suasana kota
Mekah dan Madinah abad ke-7 dengan 29 bangunan internal untuk shooting
dan 89 bangunan eksternal. Yang didesain di pinggiran kota Marakech di
Maroko. Ditambah lagi desain Ka’bah yang persis aslinya di zaman itu
sebesar 12.000 meter persegi.
Kerja terberat adalah visualisasi
perang. Ia membutuhkan 170 hari untuk perang saja. Dan untuk keseluruhan
momen besar itu membutuhkan 20.000 pemeran ekstra dalam perang. Tidak
hanya dalam perang tapi juga dalam momen-momen eksternal seperti Thawaf
di Ka’bah atau Fathu Mekah.
Film produksi MBC ini menyiapkan 1.970
pedang, 650 tongkat, 1.050 perisai, 400 busur dan 4.000 anak panahnya,
170 baju besi untuk perang yang disebut dira’, 15 gendang,
1.600 tembikar, 7.550 sandal, 137 patung, 14.200 meter kain, 39 ahli
desain dan penjahit, 100.000 koin, 1.500 kuda dan 3.800 unta.
Kerja
yang sungguh besar, saat ditanya alasan usaha ini, mereka menjawab,
tokoh sebesar Umar tidak layak dipresentasikan kecuali dalam karya yang
besar pula. Sehingga 299 designer dari 10 negara pun secara khusus
didatangkan.
Film Umar yang menghabiskan 322 hari ini terus
melejit menuju dunia internasional, dimulai dari timur tengah, kemudian
menuju Turki dengan bekerja sama dengan TV terbesar mereka yaitu ATV
Turkuvaz Media Group. Dan di Indonesia bekerja sama dengan MNC TV.
Hingga saat ini penonton film ini sekitar 700 juta, atau setengah
populasi umat Islam. Dan ia akan terus menyebar dengan
terjemahan-terjemahan ke bahasa asing lain. Sekaligus ini menjadikannya
film yang paling banyak disaksikan dalam sejarah perfilman Arab.
Sepanjang
perjalanan tayang di bulan Ramadhan 2012 lalu, film Umar bukan tanpa
tentangan dan makian. Beberapa ulama yang melihat bahwa visualisasi
sahabat haram menyebarkan terus fatwa-fatwanya di berbagai media,
menyeru untuk memboikot film ini.
Namun Dr. Salmân ‘Audah yang
mempunyai pendapat lain tidak melihat pertentangan ini sebagai sesuatu
yang esensial. Karena urusan ini tidak ada aturan dan larangannya dalam
Qur’an maupun Sunnah. Ia hanya berada di domain perbedaan pendapat
ulama soal setuju dan tidak setuju, bukan halal-haram. Tiap ulama
berpikir dan berijtihad sesuai sudut pandang yang diyakini benarnya,
bukan mutlak. Maka ia sangat mungkin berbeda pendapat. Dalam Islam,
perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini tidak berlaku hukum
halal-haram, tapi yang tepat dan tidak tepat. Allah mengganjar yang
tidak tepat dengan satu pahala karena usaha berpikirnya itu, sedang yang
tepat dengan dua pahala karena usaha dan ketepatannya. Maka alangkah
sayangnya jika ulama-ulama umat ini malah semakin memecah umat dengan
fatwa-fatwa kerasnya itu.
Karena perfilman sekarang ini “sedang
berada di medan sengit, jika Anda tidak mengisinya, maka pasti orang
lain yang akan mengambil alih, apalagi dasar semua persoalan ini adalah
‘boleh’” kata Dr. Salmân. “Fatwa-fatwa itu tidak juga
menghentikan orang-orang dari waktu luangnya yang panjang untuk menonton
tayangan-tayangan yang tidak layak, tapi justru fatwa-fatwa itu
menghadang niat tulus orang-orang yang berjuang memberi alternatif
tayangan untuk masyarakat” lanjutnya.
Yang diperlukan
hanyalah pengawasan ketat terhadap film sahabat. Oleh karena itu tim
pengawas yang terdiri dari 6 ulama besar ini memberikan syarat-syarat
yang sangat berat bukan hanya pada skenario, tapi juga pada para
pemainnya. Untuk pemeran Umar misalnya, selain sifat-sifat fisik yang
mendekati Umar, ia harus pemain baru, yang tidak mempunyai reputasi
perfilman sebelumnya, dan ia harus bersedia tidak menerima tawaran
apapun selama 5 tahun terhitung sejak mulai kontrak film Umar.
Pilihan
itu jatuh pada Sâmir Ismâ’îl, seorang mahasiswa Syria yang tidak pernah
mempunyai pengalaman film sebelumnya. Lelaki muslim bertubuh tinggi
bersuara besar yang cocok memerankan Umar ini bahkan mengatakan “setelah
peran ini, saya akan sangat selektif memilih peran, dan menjadi
tanggung jawab saya untuk menampilkan sosok seniman dan aktor yang baik,
dan jauh dari semua yang bisa menodai pribadi Umar yang agung”.
Film
Umar ini benar-benar sebuah inspirasi pasca revolusi. Saat panggung
kepemimpinan negeri-negeri muslim kosong ia hadir memberi paket teladan
kepemimpinan yang adil, bijaksana, toleran, dengan bobot kepahlawanan
yang memanaskan adrenalin para pemuda untuk mengikuti jejak langkahnya.
Juga,
ia berhasil meluruskan sekian banyak persepsi yang salah di
literatur-literatur sejarah palsu sahabat yang bertebaran di pustaka
umat. Seperti pertengkaran Umar dan Ali karena Ali telat membaiat Abu
Bakar, atau ambisi tamak pembesar Anshar untuk kepemimpinan pasca wafat
Rasulullah sebagaimana yang dijelaskan dalam buku Abu Bakar karya
Muhammad Husein Haikal. Semua itu tidak benar jika dirunut di buku-buku
sejarah sahabat yang valid seperti Abu Bakar karya Dr. ‘Ali Muhammad
as-Shallâbi. Semua diskusi dan perselisihan pendapat antar para sahabat
berlangsung dengan sangat santun dan penuh ukhuwah. Dan film ini
mengklarifikasi pikiran jutaan umat Islam yang tidak sempat membaca
detail dan tebalnya buku-buku biografi sahabat Rasul.
Film ini memberi konteks yang benar, adil, proporsional tentang makna syûra, zuhd, qadâ dan qadar, keberanian, tujuan jihad, makna rahmatan lil ‘alamin, universalisme Islam dan banyak lagi nilai Islam yang dipresentasikan sepanjang 31 seri ini.
Dan
yang terutama, film ini memberi umat Islam sebuah model kepahlawanan,
bahwa kisah manusia agung seperti Umar itu bukan mitos tapi pernah ada.
Lalu divisualisasi hingga nyata terasa di darah dan daging penonton. Ia
menjadi model keadilan bagi umat manusia, yang di film itu tersublimasi
dalam kegagapan duta resmi Kaisar Romawi dengan mata terbelalak saat
menemui Umar yang sedang tidur di bawah pohon, tanpa singgasana, tanpa
mahkota, tanpa pengawal istana, hanya beralas kerikil Madinah. “Semua
perkataan orang-orang tentangmu sudah cukup membuatku bingung… dan
sekarang keheranan itu telah berubah menjadi keyakinan, kali ini aku
tidak berkata dari lidah orang lain kecuali lidahku sendiri”. Dengan tergagap ia berkata “Anta
Yâ ‘Umar, ‘Adalta, Fa Aminta, Fa Nimta” [Anda wahai Umar, kau semai
keadilan, maka kau merasa aman, maka kau tidur tenang].
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22495/umar-film-kepahlawanan-pemuda/#ixzz24zP2nbUq
"OMAR" Film Kepahlawanan Pemuda
Written By Rudianto on Kamis, 30 Agustus 2012 | 08.40
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar