Sebetulnya,
kami sekeluarga sepakat untuk tidak menyetel televisi saat sahur,
mengingat betapa mustajabnya doa-doa manusia di sepertiga malam
terakhir. Lebih baik mengisi dengan banyak istighfar atau memanjatkan
doa-doa yag menjadi hajat kepentingan dunia akhirat. Tapi, sejak
menonton serial Umar bin Khathab, anak-anak bersegera bangun sahur dan
meloncat sembari berseru – menyebut dua tayangan film spesial.
“….Siti Maryam….”
“….film Umar bin Khathab, Mi!”
Film
Umar bin Khathab terasa demikian istimewa, bukan hanya karena
ditayangkan saat ramadhan. Bagi yang pernah menonton Ar Risalah ( The
Messenger), Di Bawah Kilatan Pedang; mungkin akan merasa bahwa film yang
satu ini memang 'beda’. Diproduksi secara kolosal, 10.000 figuran,
melibatkan pemain peran dari 10 negara, memakan satu tahun produksi
untuk 31 episode, didukung soundtrack yang cukup mewakili alur cerita;
Umar bin Khathab mejadi salah satu film yang membuat hati terhanyut.
Meski sekarang agak sebal juga, mengingat ratingnya yang semakin tinggi,
iklannya juga semakin panjang. Meski menuai pro dan kontra sejak awal
pembuatannya, - sebagian ulama tak setuju 4 khalifah rasyidin
dipersonifikasikan dengan alasan, pemain perannya sungguh tak mewakili
akhlaq para shabat yang sesungguhnya – film ini mendapat tanggapan
meriah dari sejumlah negara.
Mengapa saya sekeluarga menyukai Umar bin Khathab?
Shiroh
Nabawiyah, 60 Karakteristik Sahabat, buku-buku sejarah Mungkin, otak
kita lebih cepat menangkap sesuatu secara visual, berwarna-warni,
gambar-gambar yang memiliki olah gerak dan gmbar kehidupan nyata. Buku
memang dekat, tetapi dibutuhkan ektra energi untuk membangun imajinasi :
seperti apa perang Badar? Seperti apa perjanjian Hudaibiyah? Kenapa sih
Islam dan Rasulullah Saw begitu dibenci kaum kafir Quraisy, kaum Yahudi
di Madinah? Lewat film, kita menjadi lebih memahami. Sekalipun, sekali
lagi, interpretasi orang bisa sangat berbeda meyikapi segala sesuatu.
Saya dan suami berdebat terkait Hamzah. ”Wah, Hamzah di film Umar kurang
garang,” kata suami. ”Lebih mewakili di ar Risalah.” Meski kami
berdua juga sepakat, belum menemukan pemain peran yang betul-betul bisa
mewakili Hamzah, Singa Allah. Membaca Shirah Nabawiyah atau 60
Karakterisitk Sahabat Nabi, saya sendiri agak kesulitan menghafal nama.
Budaya Arab yang memperhatikan nasab, bahasa yang berbeda, membuat
nama-nama asing terasa sulit diingat.
Apalagi para pemain sejarah yang berawalan kata ”Abu”......wuah, saya angkat tangan. Yang sangat saya hafal tentu Abubakar
dan Abu Lahab! Tetapi Abu Yazid, Abu Bashir, Abu Jandal? Siapa pula
mereka? Di film Umar Alhamdulillah, kembali terbangun secara kokoh
pemahaman hubungan antara tokoh, peristiwa, tempat-tempat bersejarah.
Wahsyi-Bilal- Raihanna. Ikrimah-Khalid bin Walid- Walid bin Walid bin
Mughirah. Abu Sufyan-Suhail bin Amr-Abu Lahab. Dan masih banyak lagi tokoh demi tokoh yang membuat kami memahami.
Ah, Rasulullah. Begitukah kau melalui hidupmu selama ini?
PERAN TOKOH ANTAGONIS
Bahwa
Abu Jahal terkenal sebagai musuh Islam, kita faham. Tapi kejahatan
macam apa yang membuatnya terjatuh dalam jurang kehinaan? Sebagai
manusia, tentu ingin berkaca, jangan sampai terjatuh pula kita pada
lubang yang sama. Memerankan tokoh antagonis, jahat, tentu tidak
seperti sinetron-sinetron biasa yang menggambarkan seorang tokoh jahat
harus bermuka jelek, bengis, berteriak-teriak, berkata kotor, selalu
memaki dan memandang remeh si tokoh protagonis. Dalam sebuah film,
kehidupan realitas dicoba digambarkan demikian dekat. Tokoh jahat tidak
mesti memaki, tetapi dengan senyum dan kalimat halusnya, ia bisa
memutar balikkan fakta. Ia tidak mesti bengis, tapi kita bisa dibuat
gemetar lantaran tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi akal licinnya.
Dalam
film Umar, ada beberapa tokoh antagonis yang dapat membuat kita semakin
memahami arti kedatangan Islam dan Rasulullah Saw :
1.
Abu Jahal ; bangsawan Quraisy ini merupakan tokoh yang disegani. Ia
selalu memimpin sidang paripurna di Aula Pertemuan. Bukan hanya sekedar
punya kedudukan kuat, Abu Jahal sangat brillian memutar balikkan kondisi
Nabi dan para pengikutnya. Kharismatik, provokator ulung. Selalu punya
segudang cara untuk menghasut dan menindas kaum muslimin.
Kedatangan Islam memang meruntuhkan semua paradigma kaum bangsawann :
budak hitam macam Bilal, bisa berbicara setara dengan Abubakar!
Kedudukan Muhammad yang disegani dan dicintai, menggerogoti keyakinan
kaum Quraisy. Hingga perang Badar berlangsung, sungguh kita justru
memahami, pantaslah Nabi dimusuhi para pembesar Quraisy. Belum pernah
terjadi kondisi demikian egaliter.
2. Hindun ; Cantik,
mahir bersyair. Kecantikan dan mulut manisnya mampu merayu Wahsyi agar
bersedia membunuh Hamzah. Syairnya pula mampu menghasut para lelaki, :
”apakah kalian akan duduk-duduk seperti kaum perempuan, sementara
kaum kita dibunuh para budak di perang Badar?” Hindun adalah prototype
masyhur, sebuah peperangan bisa berkobar karena dorongan perempuan.
Pasca Badar Hindun tak henti-henti memprovokasi kaum Quraisy untuk
membuat perhitungan dengan kaum muslimin. Dan, kepada Wahsyi, Hindun
menjanjikan satu hal paling diimpikan seorang budak yang hidupnya habis
bersama kotoran dan kandang kuda : kemerdekaan.
3. Abu
Sufyan ; Abu Sufyan menggantikan posisi Abu Jahal di perang Badar. Sama
kharismatik, provokator ulung. Merancang sekian banyak taktik dan
strategi untuk melawan Nabi Saw. Berbeda dengan Abu Jahal yang ambisi utamanya
menghabisi Nabi, Abu Sufyan agaknya mulai sadar bahwa lambat laun
kekuatan kaum muslimin mulai terhimpun. Di Aula Abu Sufyan memfasilitasi
Ikrimah, Khalid, Suhail untuk mengemukakan strategi terbaik memusuhi
Nabi.
4. Suhail bin Amr, Abu Jahal, Hindun, Abu Sufyan
adalah nama yang familiar. Suhail? Saya pernah mendengarnya beberapa
kali, tapi tak seberapa faham. Di film Umar, Suhail mendapatkan porsi
penting, sebagaimana perkataan Umar. ”Tidaklah suatu kaum mengutus
Suhail bin Amr, kecuali untuk sebuah perjanjian.” Suhail menginisiasi
perjanjian Hudhaibiyah yang kelak, justru akan sangat merugikan kaum
Quraisy.
TOKOH PROTAGONIS
Siapa saja di film
Umar? Hm, check it out! Seberapa jauh kita mengenal sejarah Nabi. Jadi
ingin membuat film-film shahabat dan shahabiyah ya...
1. Umar bin Khatab (terlalu kalau tidak mengenalnya! )
2. Abubakar
3. Ali
4. Utsman
5. Fathimah bin Khatab
6. Bilal
7. Hamzah
8. Abu Bashir
9. Abdullah bin Suhail
10. Abu Jandal
11. Raihana
12. Walid bin Walid bin Mughirah
13. masih banyak lagi....
ADEGAN YANG MENGURAS AIRMATA
Mari
kita menangis bersama , sampai suami berkata, “...persediaan air
matanya banyak banget?” Ya. Hampir tiap episode saya dan anak-anak
menangis. Di adegan mana sajakah itu?
1. Umar & surat Thoha
Umar
di awal begitu antagonis. Tapi kejahatan Umar dan Abu Lahab sangat
berbeda, sebab Umar sejak awal tak suka menidas orang lemah. Berbeda
dengan Abu Lahab yang sangat arogan dan licik. Umar membenci Muhammad
sebab dianggap memecah belah Arab. Kisah yang sangat terkenal adalah
ketika ia menampar Fathimah hingga berdarah, tetapi akhirnya mampu
membaca dengan mata kepala sendiri, ayat-ayat yang dibaca Fathimah.
“Thoha. Ma anzalna alaika Quran litasyqo..” Wajah lelah, marah,
kebingungan Umar campur aduk. Ia belum pernah mendengar sendiri
ayat-ayat Quran. “…inikah yang membuat orang-orang Quraisy murka?”
2. Thola al Badru
Apapun
versi filmnya, peristiwa hijrahnya Rasul dan sambutan orang Madinah tak
dapat dikisahkan lewat kata-kata. Thola al Badru adalah lagu wajib kaum
muslimin, terutama anak-anak untuk menggmabrkan kecintaan yang besar
pada Nabi yang telah menjalankan misi ini dengan segenap penghinaan,
kesakitan, dukalara dan segala macam nestapa yang
hanya sanggup
dipikul seorang Nabi. Jadi, waktu soundtrack Thola al Badru mengalun
bersama unta Nabi memasuki Madinah, airmata kami mengucur deras. Anak
saya sampai berkata, “....kok kita nggak hidup di zaman Nabi aja ya Mi?”
3. Wahsyi yang (tidak) merdeka
Wahsyi
hanya menginginkan kemerdekaan, maka ia menerima perintah Hindun.
Sesaat setelah membunuh Hamzah, Hindun mengumumkan kemerdekaannya dan
memberikan semua perhiasannya kepada Wahsyi. Wahsyi bersorak dan pongah,
Raihanna berkata, ” tunggulah esok hari, Wahsyi, kau akan tau apakah
kemerdekaan itu.” Esok harinya, Wahsyi berdandan ala orang merdeka. Di
jalan ia tersenggol orang , yang serta merta memanggilnya, ” lihat
jalanmu hai Budak!” Wahsyi memasuki aula yang dipimpin Abu Sufyan, semua
pembesar Quraisy mentertawakannya. Tuannya berkata, ” kau urus kudaku
saja!” Maka Wahsyi berlari ke rumahnya dan menangis tersedu. Ia tak
mungkin bergabung dengan kaum muslimin sebagaimana Bilal, sebab kaum
muslimin tentu membencinya. Kemerdekaan yang dijanjikan Hindun, tak
berlaku bagi masyarakat Quraisy. Ia tetap budak! Benar apa yang
diisyaratkan Raihanna, kekasihnya. Bahwa Bilal merdeka karena menjadi
muslim dan sejak itu ia setara dengan seluruh kaum muslimin entah mereka
bangsawan,
pedagang, prajurit. Tetapi Wahsyi, kemerdekaannya adalah semu. Ia tak
akan pernah bebas merdeka sebagaimana harapan Wahsyi akan janji Hindun
kepadanya.
4. Abu Jandal terjebak Hudhaibiyah
Di film Umar, kita akan mengenal 3 tokoh yang mendapat peran penting ;
Suhail
bin Amr- Abdullah- Abu Jandal. Suhail adalah ayah kedua pemuda,
Abdullah & Abu Jandal. Abdullah dan Abu Jandal telah menjadi muslim
yang menentang Suhail. Keduanya ditawan dan dirantai dengan rantai besi,
dikunci di ruang gelap. Dengan akal bulusnya, Abdullah berhasil menipu
Suhail dan hijrah ke Madinah. Abu Jandal tidak ikut. Ia bimbang, antara
kecintaannya pada Nabi Saw dan kecintaannya pada Suhail , sang ayah.
Berkali-kali Abu Jandal berniat kabur, tetapi berhasil tertawan kembali.
Suatu saat, ia berhasil melarikan diri, hingga Madinah. Tepat di
gerbang, ketika pernjanjian Hudhaibiyah baru saja ditandatangai Suhail
dan kaum muslimin ( Nabi, Umar, Abubakar, Ali, Abdullah). Di gerbang
Madinah, Suhail mencengkram lengan Abu Jandal. Umar, Abubakar, Abdullah
hanya menatap pilu. Abu Jandal berteriak pedih, ”Wahai kaum muslimin....
apakah kau akan mengembalikanku pada kaum yang memfitnah agamaku??” Abdullah
menahan tangis. Umar berkata, ”demikianlah perjanjian kami.” Abubakar
menyampaikan pesan dari Nabi Saw yang terkenal,” sabarlah Abu Jandal.
Allah mengetahui kaum mustadhafin (lemah). Bersamamu akan ada kemudahan
dan jalan keluar.”
Kami menangis di babak ini..... Sebab,
bagaimana perjuangan Abu Jandal di tengah tekanan ayahnya Suhail, dan
bagaimana ia mencoba berkali melarikan diri. Di pintu Madinah,
perjanjian Hudhaibiyah yang mengatakan, bila ada orang Mekkah hijrah
tanpa seizin walinya, harus dikembalikan. Dan di gerbang Madinah, Abu
Jandal melihat Abdullah berada dalam barisan kaum muslimin sementara ia
segera diseret ayahnya kembali ke Mekkah.
5. Walid bin Walid bin Mughirah dengan luka di kaki
Walid
bin Walid bin Mughirah adalah saudara satu ayah berbeda ibu dengan
Khalid bin Walid. Kalau Khalid, tentu namanya familiar kan? Walid lebih
dahulu memeluk Islam. Bersama Abu Bashir, Abu Jandal, dan kamu muslimin
yang tidak dapat masuk ke Madinah karena terikat perjanjian Hudhaibiyah;
mereka juga tidak ingin kembali ke Mekkah yang berisi para penindas.
Akhirnya, kelompok yang dimotori Abu Bashir membuat satu koloni baru di
luar Mekkah dan Madinah. Koloni ini mengganggu pedagang Mekkah, hingga
akhirnya perjanjian Hudhaibiyah terpaksa dibatalkan sebab kerugian pihak
Abu Sufyan jauh lebih besar sementara kaum muslimin justru semakin kuat
terhimpun. Ketika perjanjian udhaibiyah dibekukan, Nabi mengirim utusan
ke koloni untuk menjemput kaum muslimin.
Betapa
bahagianya koloni Abu Bashir, sekalipun Abu Bashir tak dapat ke Madinah
karena meninggal . Dalam perjalanan dari wilayah koloni ke Madinah, unta
hanya 3 ekor. Kaum muslimi bergantian. Sang bangsawan Walid berjalan,
Abu Jandal di atas unta. Kaki Walid terluka hingga berlumur darah. Abu
Jandal meneriakinya ”sudah kukatakan agar kau naik unta!” Walid terduduk
sejenak, mengelus kakinya. “....biarlah, kaki ini terluka di jalan
Allah.”
6. Pertemuan Abdullah dan Abu Jandal
Koloni
Abu Bashir tiba di Madinah, disambut hangat Umar dan Abubakar. Abdullah
dan Abu Jandal bertatapan, berpelukan. Setelah perjuangan yang lama,
panjang, berliku, berpisah tempat meski hati bertaut dalam keimanan,
akhirnya Abdullah dan Abu Jandal bertemu kembali. ”Akhiina Abu Jandal,”
gumam Abdullah.
Selain lebih memahami jalannya
sejarah.Lebih memahami tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Siap-siap
terkuras airmata. Di titik ini, rasanya, semua penderitaan, kesedihan
dan pengorbanan kita masih belum apa-apa dibanding para shahabat dulu.
Meski film ini berjudul Umar bin Khatab, perasaan cinta kepada Nabi
Muhammad Saw dan para sahabatnya –kita yang selama ini sudah tercemari
kelelahan mengurus segala tetek bengek perkara duniawai- akan tersemai
kembali.
Andai kita ikut hijrah.
Andai kita ikut membangun Khandaq
Andai kita bisa melihat senyum Rasulullah Saw.
EPILOG SEMENTARA (sebab masih berkelanjutan episodenya)
Pasca
perjanjian Hudhaibiyah, Rasul mengutus sahabat untuk menyampaikan surat
ke Persia, Romawi dll. Kaum Quraisy mengejek kaum muslimin. Abu Sufyan,
Ikrimah, Khalid (semuaya belum muslim) menghina. ”Kalian akan mencoba
merambah Persia dan Romawi, padahal kalian sendiri masih belum dapat
mengalahkan kami?” Lagi-lagi kami menangis.
Nabi yang dihinakan
macam itu, tetap teguh dalam kesabaran dan menatap optimis masa depan.
Tetap mendoakan kebaikan bagi kaumnya.
Nis, anakku berkata
berkali-kali, ”....andaikan kita hidup di zaman Nabi ya Mi.” Aku hanya
bisa berkata, ”.....sanggupkah kita bersabar seperti Abubakar, Umar, Abu
Jandal dan yang lainnya? Sanggupkah kita tetap percaya pada Nabi Saw
seperti mereka –para shahabat- disaat kita dihina dan direndahkan?”
Ramadhan 1433 H kali ini terasa berbeda.
Written By Rudianto on Kamis, 23 Agustus 2012 | 16.22
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar