Drama televisi Omar, yang diproduksi di negeri Qatar menuai kecaman sekaligus pujian karena cerita mengenai para khalifah dan sahabat Nabi.
Drama berseri yangmengisahkan kehidupan pemimpin Muslim pada abad
ke-7, Khalifah Omar Ibn al-Khattab (juga dikenal sebagai Umar Bin Khatab
di Indonesia), menimbulkan perbedaan pendapat di wilayah Arab atas
keyakinan luas bahwa tokoh-tokoh Islam yang sentral tidak dapat
digambarkan oleh aktor.
Para ulama konservatif mengecam serial yang diputar selama bulan
Ramadan, atau bulan tersibuk dalam hal drama televisi. Para akademisi
melihat tren yang tidak diinginkan dalam pemograman televisi, sementara
menteri luar negeri Uni Emirat Arab secara terang-terangan menolak
menontonnya.
DIPUJI
Namun di meja-meja makan dan media sosial di seluruh wilayah Arab, Omar
mendapatkan pujian dari banyak penonton Muslim, yang mengagumi serial
itu karena menceritakan periode yang penting dalam sejarah Islam.
Sutradara Hatem Ali dari Syria (kanan) dalam syuting film
televisi “Omar”, salah seorang sahabat Nabi Muhammad. (Foto:
Reuters/MBC)
Beberapa pihak menyebutnya membawa pesan bagi dunia Arab, yang
dilanda perubahan politik akibat pemberontakan yang terjadi tahun lalu.
Salam Sarhan, kolumnis di koran Diyar di Lebanon, mengatakan
bahwa acara tersebut merupakan bagian dari tren yang terjadi secara
gradual di dunia Islam untuk melihat kembali warisannya secara lebih
kritis. Ia menambahkan bahwa serial tersebut akan membuka pintu bagi
produksi televisi dan sinema yang menggambarkan tokoh-tokoh sentral
dunia Islam.
“Siapa pun yang berani menggambarkan tokoh-tokoh ini 20 tahun yang
lalu, ia akan dituduh menghujat agama,” tulisnya. “Secara sederhana,
penggambaran tokoh-tokoh yang dipuja-puja dengan segala kesalahan,
keterbatasan, kompetisi, kemarahan, rasa lapar dan dahaga akan mendorong
masyarakat Islam ke suatu fase baru.”
EMPAT KHALIFAH
Dengan sebagian besar syuting dilakukan di Maroko, serial tersebut
didanai oleh MBC Group, konglomerat media swasta yang berbasis di Dubai
namun dimiliki pengusaha Saudi, dan stasiun Qatar TV yang dimiliki
pemerintah.
Serial berisikan 30 episode, dengan biaya puluhan juta dolar menurut
juru bicara MBC, itu disiarkan oleh televisi satelit di seantero wilayah
Arab. Serial ini juga ditayangkan oleh salahsatu teve swasta di
Indonesia.
Acara ini menarik pujian karena set dan kostum yang sangat detil,
serta efek visual dan adegan peperangan yang melibatkan gajah-gajah dan
ratusan pemain figuran.
Namun untuk banyak penonton, nilai produksi tersebut dikesampingkan
oleh fakta bahwa aktor-aktor di serial tersebut memainkan Omar dan tiga
sahabat Nabi Muhammad yang lain, yang merupakan empat khalifah pertama
dari kekaisaran yang berekspansi ke wilayah di luar Semenanjung Arab.
Dalam sejarahnya, cendekiawan Muslim tidak menyarankan penggambaran
tokoh-tokoh yang dihormati dalam karya seni, dan beberapa diantaranya
mengatakan bahwa itu dilarang karena dapat menyesatkan atau mendorong
pada pemujaan.
Itulah sebabnya mengapa mesjid dihiasi pola geometrik atau tumbuh-tumbuhan, bukannya gambar manusia atau binatang.
Meski beberapa sahabat Nabi telah digambarkan dalam film,
produksinya sebagian besar dilakukan oleh kelompok Syiah. Serial Omar
ini diyakini sebagai drama pertama yang menggambarkan keempat khalifah
yang diproduksi oleh kelompok Sunni, yang merupakan mayoritas di daerah
Teluk dan Afrika Selatan dan secara historis menolak penggambaran
tokoh-tokoh tersebut.
“Penggambaran sahabat-sahabat Nabi merupakan kejutan bagi masyarakat
[Arab],” ujar Suaad al-Oraimi, profesor sosiologi di UAE University.
UNIVERSITAS AL AZHAR
Mufti Saudi Arabia, atau otoritas agama tertinggi di negara tersebut,
dengan keras mengkritik acara tersebut dalam sebuah ceramah. Perlawanan
juga datang dari Universitas al-Azhar, lembaga prestisius di Kairo
tempat pembelajaran aliran Sunni.
“Khalifah-khalifah pertama telah dijanjikan surga. Hidup mereka tidak
dapat digambarkan oleh sembarang aktor,” ujar Ahmed al-Haddad, mufti di
Dubai, dalam pernyataan tertulis pada kantor berita Reuters.
Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Sheikh Abdullah bin Zayed adalah
salah satu dari pengkritik paling menonjol dan ia menulis di Twitter:
“Saya tidak akan menonton serial Omar Ibn al-Khattab.” Komentarnya
diteruskan oleh ribuan orang dalam beberapa hari saja.
Sheikh HamadWael al Hanbari, cendekiawan Muslim ternama yang tinggal
di Istanbul, mengatakan ia khawatir reputasi para khalifah tersebut
dapat tercemar.
“Hal ini sama sekali tidak dapat diterima,” ujarnya. “Para aktor ini
dapat memainkan peran-peran lain, di film laga misalnya, namun selamanya
akan diasosiasikan dengan peran khalifah. Ini sangat berbahaya. Citra
para khalifah ini harus dilindungi.”
PARA PENDUKUNG
Namun serial televisi tersebut tidak kekurangan pendukung. Saif
al-Sahabani, kolumnis koran Okaz di Saudi Arabia, menepis ide bahwa
penggambaran sahabat Nabi merupakan hal yang dilarang hukum agama.
“Serial tersebut memperlihatkan kesenjangan dalam nurani kolektif
Arab dan Islam, terutama di antara mereka yang bergantung pada tradisi
daripada pikiran sehat,” tulisnya.
Sahabani mengutip sejumlah dukungan terhadap acara tersebut dari
cendekiawan-cendekiawan Muslim senior, termasuk ulama Mesir yang tinggal
di Qatar, Yousef al-Qaradawi, yang dikenal di dunia Arab lewat program
mingguannya di stasiun televisi Al Jazeera. Qaradawi ada dalam komite
cendekiawan Muslim yang mengulas skenario serial tersebut.
Sejumlah penonton menolak kritikan terhadap acara tersebut karena mereka melihatnya sebagai serangan terhadap kebebasan pribadi.
“Muak dengan pandangan kaum ekstremis.. Siapa kalian yang menghakimi kami karena kami menonton serial Omar?” tulis seseorang dengan nama akun Twitter YasmineMedhat, yang profilnya menyatakan ia adalah seorang Muslim di Mesir.
Hatem Ali, sutradara serial tersebut, mengatakan ia dan timnya sudah
menduga akan ada kontroversi sebelum episode pertama ditayangkan.
“Kami telah bersiap-siap untuk itu,” ujarnya dalam wawancara lewat
telepon dari rumahnya di Syria. “Omar adalah serial televisi pertama
yang memperlihatkan tokoh-tokoh penting tersebut. Jadi orang akan
memiliki pendapat-pendapat yang berbeda dan hal itu dapat dipahami.”
Sebagai sutradara sejumlah drama televisi sejarah, termasuk trilogi
mengenai pemerintahan Islam di Semenanjung Iberia, Ali mengatakan bahwa
serial Omar tidak dihubungkan dengan kebangkitan kekuasaan
kelompok Islamis di Tunisia dan Mesir, dan tidak usah dilihat sebagai
kampanye bagaimana negara Islam seharusnya diperintah.
Namun ia menambahkan bahwa serial tersebut menyentuh isu-isu yang
tetap relevan saat ini, seperti peran perempuan dalam Islam, tata kelola
pemerintahan yang baik dan aplikasi hukum syariah.
“Saya tidak mengkampanyekan pembentukan pemerintahan Islam,” ujarnya.
“Namun Omar adalah contoh seseorang yang mempertimbangkan perubahan dan
ujian-ujian baru yang dihadapi masyarakat.”
Saat ditanya mengenai kontroversi tersebut, juru bicara MBC
mengatakan perusahaannya bertujuan menampilkan sejarah dengan benar.
“Itu adalah tujuan besar kami yang hanya dapat dicapai dengan kejujuran
dan komitmen terhadap peristiwa-peristiwa sejarah.”
Michael Stephens, analis isu politik dan sosial di Royal United
Services Institute di Doha, membandingkan serial tersebut dengan
keputusan pemerintah Saudi Arabia untuk mengijinkan atlet-atlet
perempuan bertanding di Olimpiade untuk pertama kalinya tahun ini.
“Hal ini tidak mengubah dunia namun merupakan satu langkah. Dan
sekali Anda mengambil langkah tersebut, Anda tidak dapat mundur,”
ujarnya.
“Meski mengundang kekesalan, namun orang-orang masih menontonnya. Itulah keanehan yang terjadi.” (
Sumber
Drama Serial ‘Omar’ Memicu Kontroversi di Arab
Written By Rudianto on Jumat, 17 Agustus 2012 | 14.29
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar